ETOS TEPO SELIRO (Polemik Unitarisme Bangsa)

  • Whatsapp
banner 468x60

Tema : Persatuan dan Kerukunan Bangsa

Penulis : Fridolynus Belly Sada

ETOS TEPO SELIRO
(Polemik Unitarisme Bangsa)

“Agama mu, agama ku”. Sebuah pernyataan klasik yang bergaung dan bernaung dalam eksistensi keberagaman manusia, yang sejatinya bahwa kita tetap menjadi sebuah kesatuan yang bersifat mengikat (uni religi). Berbeda keyakinan bukan berarti “aku benar dan kamu salah”, melainkan menuju pada dasarnya bahwa sesungguhnya kita semua adalah sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Secara pribadi, saya menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara yang belum tuntas. Negara yang masih di huni oleh beberapa kelompok atau yang mengatasnamakan organisasi tertentu yang tabiatnya sombong, angkuh dan bejat ; bahkan sampai saat ini masih merasa puas dan menang dengan segala hal yang bersifat intoleransi, lebih berstatus “waspada” dan menghancurkan leburkan semua sisi dinamika kehidupan bangsa ini.

Masalah moral yang berkecamuk seakan sudah sampai pada titik nadir.
Dalam konteks pluralisme (plural dan isme), agama merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Ini merupakan hal yang realitas (pluralisme).

Menurut pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami dengan benar, maka pluralisme agama akan menimbulkan kesan negatif, sebuah dampak yang sangat fatal antar umat beragama serta konflik-konflik sosial yang menimbulkan disintegrasi bangsa.

Bagaimana sikap Pemerintahan kita, para tokoh agama dalam membenahi serta mengubah pola pikir serta menemukan jalan terbaik demi keutuhan persatuan dan kerukunan bangsa, secara khusus di pandang dalam konteks keagamaan manusia serta masalah separatisme saat ini ?
Tak perlu kita menjadi seorang “ksatria”, bilamana ada kejadian atau peristiwa memilukan, begitu tragisnya yang sedang terjadi pada negara yang berbeda, adanya kerusuhan agama, bakar membakar fasilitas rumah-rumah ibadah, penghinaan agama yang tak berperikemanusiaan hingga berjatuhan nyawa yang tak tahu menahu. Semua ini tak ada bedanya dengan yang terjadi pada bangsa kita saat ini.

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, bahwa Indonesia sebagai negara yang belum tuntas dalam menciptakan sebuah sistem yang lebih menitik beratkan pada keberagaman serta perbedaan suatu bangsa dalam konteks agama sebagai syarat yang patut diperjuangkan.

Hukum di negara ini sepatutnya lebih bersifat adil (fair), seimbang (balanced), atau tidak memihak tanpa ada pengurangan, tanpa ada aniaya, tanpa ada yang harus ditakuti, kecuali terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Maraknya penistaan agama secara khusus dalam peradaban bangsa kita sendiri, mencerminkan sebuah prinsip hancurnya integritas serta moral bangsa itu sendiri. Berbagai gejolak di tanah air, seperti yang terjadi pada Papua saat ini, sejumlah bangunan dan kendaraan rusak terbakar saat melakukan unjuk rasa. Semua di picu dengan paham separatisme.
Adapun perdebatan para tokoh agama yang saling “menggigit”, seolah agama sebagai sebuah ikon untuk dijadikan penistaan yang bertubi-tubi sampai pada titik yang sangat vital.

Semua contoh diatas tidak akan terealisasikan dengan baik apabila masih ada “kerikil-kerikil kecil nan tajam”, yang masih melekat pada nurani kita masing-masing.

Agama manakah yang mengajarkan kejelekkan?
Agama mana yang menyuruh umatnya untuk membenci agama yang lain?
Pada hakekatnya agama mengajarkan kebaikan, kejujuran serta toleransi yang tinggi. Apabila ada pihak-pihak yang masih berambisi untuk menghancurkan keutuhan bangsa ini, yang secara nyata memang belum benar-benar utuh, baik dari segi pembangunan, pemerataan penduduk, secara khusus lebih kepada sikap toleransi dalam umat beragama.
Hidup dan menetap di bumi pertiwi ini, hendaknya menjadikan Indonesia lebih memahami akan adanya perbedaan tersebut.
Sayangnya, lagi-lagi agama menjadi sasaran empuk dalam mempersatukan sebuah bangsa yang telah berlandaskan pada hukum, pancasila serta undang-undang yang mengatur segala hidup kestabilan bangsa ini.

Ujaran kebencian bukanlah hal yang baru. Media sosial menjadi sasaran empuk saling menghina dan di hina, rentetan demi rentetan ujaran “panas” meraung tanpa berperikemanusiaan. Harga diri seolah di perjual belikan dengan gratis.
Mas Pemerintahan kita sampai dengan saat inipun, masih belum fix, belum cukup kuat dalam mencari jalur-jalur yang tepat sasaran, jalur-jalur yang harus ditempuh, bukan mengubah jalan yang telah ditetapkan, menjadi jalur pribadi (hegemoni).

Mempersatukan bangsa dalam era sekarang ini, di istilahkan sebagai secarik kertas yang mudah di sobek. Wacana tinggal wacana, dibaca tanpa ada action. Sedikit action berjuta antonim yang mimiknya meng-isyaratkan sarkasme. Sembilu.
Mirisnya persatuan serta kerukunan bangsa ini, bisa rusak hanya karena hal-hal kecil yang terkesan sepele dan sering kita abaikan ; fanatisme yang menutup mata hati, bahwa Anda dan saya pun tampaknya berada dalam dilema menyedihkan ini.
satu pihak, hanya untuk lebih menolong pihak lain, lebih bersikap menghindar agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar.
Kesalahan yang paling sederhana adalah kita merasa terdesak, terprovokasi untuk menyebarkan isu belum tentu kebenarannya.

“mengontrol diri, skeptis terhadap isu negatif, akan menjadi awal yang baik, karena bermula dari mindset individu itu sendiri”

Etos kerja sebagai moral kemanusiaan

Pengertian kamus ; Etos berasal dari bahasa Yunani yang bermakna watak atau karakter. Maka secara detail, etos merupakan karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan yang bersifat khusus dan berkembang menurut pandangan bangsa tentang yang baik dan yang buruk, yakni etikanya.

“kecerdasaan ruhaniah bertumpu pada ajaran cinta bukan komoditas tetapi sebuah kepeduliaan yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan” (Toto Tasmara).

Setiap ada masalah di negeri ini, sangatlah mudah bagi masyarakat (bangsa) ini, tersulut api amarah untuk menghancurkan estetika “rumah kita” Indonesia yang majemuk ini. Prinsip Bhineka Tunggal Ika “berbeda-beda tetapi tetap satu”, seolah-olah tak ada bedanya lagi, tak ada alas atau dasar yang kokoh lagi, membentuk sebuah “segitiga beracun” yang berlabel kelicikkan, kemunafikkan, penghasut sebagai “orang ketiga”, biang keladinya.

Etos suatu bangsa (Clifford Geertz : The Interpretation of Cultures, 1974),
merupakan sifat, watak, dan kualitas hidup mereka, moral dan gaya estetis dalam suasana hati mereka. Dengan kata lain, agama bagi pemeluknya merupakan sistem nilai yang mendasari suatu etos kerjanya sebagai bentuk realisasi dan ajaran agamanya.

Tepo seliro melawan separatisme

Secara tirmonologi, ”tepo seliro” (tenggang rasa), berasal dari bahasa Jawa yang merupakan perwujudan kata mawas diri. Sikap ini mencerminkan penghargaan seseorang kepada orang lain atas tata kata, perbuatan dan tindakan. Peranan tenggang rasa dalam bangsa ini menjadi simbol bahwa kehidupan di atur sedemikian harmonis dalam mengerjakan tindakkan keseharian, sehingga peranannya dapat di manfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Menyimak berbagai isu yang tengah memanas di tanah air kita, secara spontanitas menggetarkan nalar kita akan sebuah sistem Pemerintahan yang belum stabil. Negara kesatuan (unitaris) adalah negara yang bersusun tunggal, dimana Pemerintahan pusat memegang kekuasaan untuk menjalankan urusan Pemerintahan dari pusat hingga daerah. Satu negara, satu Pemerintahan, satu undang-undang dasar dan satu lembaga.

Konsep negara kesatuan, menurut C. F Strong dalam bukunya A History of Modern Political Constitution (1963:84), negara kesatuan merupakan bentuk negara yang kekuasaannya di pegang oleh Pemerintahan pusat.
Pemerintahan pusat bisa menyerahkan sebagian dari kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi dengan kekuasaan tetap berada dan dipegang oleh Pemerintahan pusat.

“Kita hanya memerlukan negara yang bersifat unitarisme dan wujud negara Indonesia tidak lain tidak bukan adalah berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI )”, Prof. Mr.Mohammad Yamin, S.H.

Apa yang bisa kita lakukan pada bangsa ini selain saling menghargai, bertenggang rasa, dan segala bentuk sikap hormat, menjunjung tingggi nilai moralitas serta hukum yang berlaku?

Papua dan permasalahannya saat ini menjadi sentral di berbagai media serta opini masyarakat saat ini. Gerakan separatisme masih menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam sebuah pemberitaan, menyatakan bahwa Istana Kepresidenan akan di bangun di Jayapura, Papua yang akan dimulai pada tahun 2020 mendatang. “saya merasa sedikit ada kejanggalan” dalam hal ini ;
oleh karena bangsa yang saat ini dalam bentuk proses penyelesaian berbagai masalah, sepertinya enggan bahkan terkesan “kurang fokus” pada titik penyelesaian masalah yang sesungguhnya.

Berbagai sumber media yang ada sangat menyayangkan hal tersebut. Pihak-pihak yang diundang dalam dialog Jokowi dengan para tokoh Papua, “tidak menyentuh” persoalan yang bergejolak di Papua saat ini.

Tenggang rasa bermotif “hadiah”. Hadiah yang seolah-olah dihiasi dalam bentuk “kado”, yang terkesan “dipaksakan” oleh sebab tidak ada pilihan “hadiah yang lain” yang nota benenya lebih “menarik”.

Urusan perdamaian mengenai konflik-konflik di Papua; Apakah Anda dan saya sudah merasa puas?
Apakah penyelesaian rasisme yang terjadi pada mahasiswa Papua, sebuah diskriminasi yang berlabel “monyet”, sudah di selesaikan secara hukum atau sekedar abal-abal kelabu?
Inilah sekelumit pertanyaan dari sekian telinga yang butuh keadilan, dari seribu pilu yang masih menyembunyikan jawaban “nurani yang hakiki”.

Pemimpin bangsa ini diharapkan jangan terlalu cepat mengambil kebijakkan atau keputusan, hanya untuk membangun sebuah Istana Kepresidenan, khususnya di tanah Papua. Selesaikan dahulu “perkakas dapur” yang masih kotor, yang berbau amis, biar “bersih” dan mengharumkan nama bangsa kita ini.

Kepemimpinan janganlah bersikap ramah terhadap separatisme yang bukan merupakan semangat baru yang di teriakkan kemarin. Diakui atau tidak, masih ada semangat memisahkan diri untuk Papua itu sendiri. Sensitifnya isu separatisme, jika tidak dikelola dengan baik, masalah ini akan semakin berkepanjangan.

“Jika GAM yang dahulu mampu diberantaskan, mengapa yang terjadi di Papua saat ini seolah terkesan “tambal sulam” ?

Apabila Indonesia sebagai bangsa yang besar ingin menjadi sebuah negara dengan kepemimpinan yang luar biasa, maka perlu sikap saling mendukung dalam memebentuk sebuah gerakkan guna membasmi dan menyelesaikan polemik bangsa ini sampai ke akar-akarnya ;
– Lakukan pendekatan dalam hal kesejahteraan dan keadilan dalam konteks otonomi daerah.
– Pendekatan hukum dalam konteks demokrasi.
– Bagi gerakkan separatisme yang menggunakan senjata harus di tumpas habis oleh para penegak hukum. Tak ada kompromi dalam hal ini, mengingat NKRI harga mati.
– Membangun kembali tempat atau rumah-rumah ibadah serta fasilitas pembangunan lainnya yang berwujud pendekatan toleransi, membentuk sikap tenggang rasa bersama para tokoh agama serta tokoh adat setempat.

Intinya, Pemimpin bangsa serta para tokoh-tokoh yang terlibat dalam hal ini, jangan hanya sekedar membentuk sebuah wadah pertemuan, membahas ini dan itu, kurang mengambil jalan atau tindakkan yang lebih tegas lagi terhadap penyelesaian masalah bangsa ini, baik dalam hal agama, diskriminasi dan separatisme yang kurang jelas penyelesaiannya.

Masyarakat makin dibuat resah oleh statement Kepemimpinan kita yang menyetujui pemindahan Istana Kepresidenan ke wilayah Papua.
Apa hubungannya dengan persatuan dan kesatuan bangsa ini, jika Papua dengan segala “atributnya” belum terselesaikan dengan akurat sesuai hukum dan undang-undang negara ini.

“Ibu kota menuju Kalimantan,
Istana Kepresidenan bertakhta di Papua,
Rasisme tinggallah kenangan,
Terorisme masih terus merajalela,
Masihkah kita di sebut sebagai negara kesatuan?

“Tebaslah” dengan tuntas persoalan yang masih menghimpit bangsa ini. Sebuah persatuan dan kerukunan bangsa adalah sikap hidup yang aman dan damai serta kuat dalam menghargai segala perbedaan (norma agama),
tanpa ada satu pun pihak yang bebas berbuat keji (meneror, menghancurkan, serta ingin merdeka sendiri).

Kami hanya butuh Kepemimpinan yang tangguh dengan segala bentuk peraturan yang sehat, tegas, adil serta cekatan dalam menyelesaikan perbedaan, polemik, sehingga terciptalah persatuan yang kokoh demi indahnya sebuah kerukunan dalam bangsa yang MERDEKA ini.

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60