Merasa Ditelantarkan UPG 1945, Dua Doktor Ini Siap Tempuh Jalur Hukum

  • Whatsapp
banner 468x60

PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Sungguh miris nasib dua anak NTT yang diterlantarkan oleh pihak Yayasan dan Universitas Pendidikan Guru 1945 (UPG 1945).

Mereka adalah Dr. Lani Koroh (Doktor linguistik) dan Ma (Doktor Bimbingan Konseling) yang tercatat sebagai dosen pada Universitas Pendidikan Guru 1945, namun tak pernah digaji sepeserpun oleh pihak yayasan.

Bahkan yang lebih fatal, ketika Dr. Lany Koroh meminta dirinya diberhentikan dari UPG 1945 saja tidak pernah dipenuhi. Malahan sang doktor harus di over ke sana kemari ibarat bola pimpong yang dimainkan oleh Rektor UPG 1945, David Selan dan ketua yayasan UPG 1945, Samuel Haning.

Kondisi ini memang sangat memprihatinkan di saat pemerintah provinsi NTT lagi gencar-gencarnya mengemakan NTT bangkit NTT sejahtera dan pihak universitas sebagai lembaga penghasil kaum intelektual malah mengabaikan nasib para dosennya, apalagi seorang perempuan.

Sungguh tak dapat dibayangkan dengan nasib para guru honorer yang rela mengabdikan dirinya dengan upah yang jauh dari rasa kemanusiaan.

Kalau pemerintah tidak mampu membawa angin segar bagi perubahan nasib mereka, lantas siapa lagi yang harus peduli pada nasib mereka?

Mungkin saja kasus dua doktor ini hanya sebagian episode yang nampak ke panggung publik sementara ada kasus lain yang jauh dari perhatian karena keengganan atau ketakutan mungkin telah merasuki pihak-pihak yang sebenarnya korban tapi takut berjuang karena ketiadaan keberanian dan dihimpit ketakutan yang mencekam.

Inilah realita yang sedang terjadi di provinsi yang masuk kategori miskin ketiga di Indonesia ini.

Dr. Lany Koroh dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Academia Nusa Tenggara Timur di Kantor Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang, Senin, (10/02/2020) sore mengaku dirinya kehabisan cara sampai-sampai ia nekat mencurahkan jeritan hatinya melalui media sosial Facebook.

“JuJur beta sumpah beta su snde bisa lagi lawan dia, karena beta tau dan semua teman sudah omong kalau dia orang dekanya Victor (Gubernur NTT) dia orang dekatnya Wakapolda, mau sampai mana juga akan stop di itu juga. Jadi apa yang beta tulis di facebook itu adalah ini apa suh beta pu pasrah, ini beta su teman-teman beta sampai berjuang dimanapun sonde akan dapat karena selain Victor Laiskodat dia orangnya wakapolda, itu ju su berapa banyak orang yang beri warning bagi beta,” ungkap perempuan berdarah Sabu ini seolah-olah sungguh menyiksa persoalan yang Dihadapinya.

Sang doktor menyadari berbagai upaya yang di tempuh telah dilakukan namun sia-sia belaka ibarat mengarami air laut. Sehingga berkat dukungan dari sejumlah orang terdekat, dia berkeinginan menyelesaikan persoalan ini melalui jalur hukum demi mendapatkan keadilan.

Dr. Lany telah siap mengahadapi ketua yayasan sang mantan petinju itu bersama Rektor David.

“Jadi yang beta jalan saat ini jujur adalah kekuatan baru dari Om Winston (mantan ketua komisi V DPRD NTT) dan teman-teman, kalau sonde beta ju mengalah, semua cara beta su buat, sampai ini beta harus omong teman-teman, ini Sam Haning beta harus pendekatan dengan apa, kalau beta terlalu rendah dengan dia ni, beta harus pi jual diri dengan dia ko atau beta harus buat apa, sampai beta su sonde habis pikir pendekatan, Karena setiap kali beta pi di dia, selalu dia bilang aman ko sayang, aman ko?, tapi begitu pi di Rektor, Rektor akan bolak balik beta lagi, segala cara beta su buat teman-teman sampai beta su jenuh, sampai beta berpikir yang terakhir beta pu Doktor ini hanya jadi label sa, sampai beta sonde bisa pergunakan di perguruan tinggi,” jelas Lanny.

Hal senada disampaikan Dr. Hendrik Lao, yang merasa diterlantarkan pihak UPG 1945. Diakuinya semenjak masuk jadi dosen di tahun 2012 silam. Selanjutnya ketika ia memutuskan untuk melanjutkan studi s3 melalui jalur beasiswa dikti tahun 2015.

“Bulan Juli 2015 saya melanjutkan studi s3 di Universitas Negeri Semarang dengan mendapatkan tugas belajar dari PGRI NTT waktu itu. Hingga detik ini saya tidak digaji dan kalau tidak salah ingat bulan April 2015, saya terima gaji Rp 1.000.000, karena pada saat itu gaji mulai macet-macet,” ungkap Dr. Hendrik.

Hendrik mengakui pernah mengajukan bantuan biaya studi lanjutan tapi respon Rektor waktu itu, Samuel Haning dan kepala Karo BUK, pak David Selan mengatakan bahwa tidak ada dana untuk membantu biaya studi s3 nya.

“Setelah itu saya tahu PGRI akhirnya ditutup dan dibuka dua universitas baru yaitu Unasdem dan UPG 1945. Berdasarkan peraturan menteri pendidikan mereka dapat ijin operasional baru dan nomenklatur yang baru yaitu UPG 1945. Jadi status kami sebenarnya ketika dibekukan maka kami adalah dosen PGRI NTT bukan UPG 1945. Tapi nama kami ada dalam korlap dikti UPG 1945 dan kami tidak pernah terima SK,” jelas Dr. Hendrik.

Pius Rengka saat menyampaikan pendapatnya dalam forum diskusi.

Salah satu peserta diskusi, Pius Rengka, dalam diskusi tersebut mengatakan kasus yang dihadapi oleh dua Dosen ini harus ditempuh juga dengan jalur mediasi, sehingga penyelesaian ini bisa berujung pada suatu kepastian, sehingga sudah seharusnya ada Negosiasi yang dibangun oleh Dr. Lanny maupun Dr. Hendrik.

“Kalau menurut saya langsung kepada VBL, Tujuan kita adalah bahwa persoalan selesai, tetapi inikan persoalan sudah banyak tersebar dalam media sosial, dan saya lihat Pak Sam itu tidak banyak berkomentar, mungkin menurut saya bukan karena dia tidak mau berkomentar tetapi tema yang mau dikomentari terlalu ringan buat dia, jadi jangan salahkan dia juga,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa, saat ini pihak yang dihadapi yakni seorang Rektor UPG 1945 Dr, David Selan dan Ketua Yayasan PGRI NTT Dr. Sam Haning, mereka adalah citera pendidikan NTT, maka dari hal tersebutlah Gubernur Victor memiliki peran agar dapat menempuh jalur damai. Pasalnya tuntutan Dr, Lanny hanya ingin diberhentikan dan keluar dari Dosen UPG 45.

“Jadi mereka ( Rektor Dr. David Selan dan Ketua Yayasan PGRI NTT Dr, Sam Haning) inikan kawan baik begitu, dua kawan baik ini bersekutu untuk melawan Lanny dan Hendrik ini, kita mau untuk memediasi ini perlu untuk mencari pihak ketiga menurut saya punya perasaan ini pihak ketiga adalah hanyalah VBL. Terserah mau duduk dimana, pokoknya selesai, karena saya melihat bahwa ini cara yang dilakukan adalah cara damai,” pikirnya.

Sesuai pantauan media ini, pada diskusi yang dimoderatori oleh Rudy Rohi, menghadirkan Dr. Lanny Koroh, Dr. Hendrik Lao, Anggota Komisi V DPRD NTT Ana Waha Kolin, Peneliti IRGSC Dominggus Elcid Li, Eman Seran ( Forum Academia NTT), Winston Neil Rondo, anggota DPRD kabupaten Kupang, Adhy Koroh dan sejumlah peserta lainnya.

Sementara Samuel Haning selaku Ketua Yayasan UPG 1945 dan David Selan selalu Rektor UPG 1945 yang diundang dalam diskusi tersebut tidak hadir. (Jefri Tapobali)

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60