UPACARA (TANPA) BENDERA

  • Whatsapp
banner 468x60

(Proposal sesudah aksi dua “J”)

Pater Servinus H. Nahak, SVD (Warga Belu, mahasiswa Studi Teologi Kitab Suci, berdomisili di Madrid)

Ada hal menarik antara aksi si J di Silawan dan aksi Pak J di GBK. Duo J ini melakukan aksi nekat yang mengundang decak kagum. Bedanya, Pak J di Ibu Kota memakai “stuntman” sedangkan si J di perbatasan nekat memanjat tiang bendera tanpa helm dan tanpa pemeran pengganti.

Di balik “stuntman” ada konsep tentang harga nyawa manusia. Ada prioritas terhadap kehidupan.

Orang mengapresiasi aksi si J kecil karena keberanian mempertaruhkan keselamatannya demi sebuah ritual bersama. Artinya, di balik aksi itu terselip ikhtiar untuk mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan bahkan keselamatan pribadi.

Sebagai sebuah insiden, originalitas peristiwa ini mengundang rasa kagum dan haru sekaligus. Namun, kesadaran berwarganegara dalam iklim demokrasi mendesak kita untuk melampaui melankoli.

Peristiwa Silawan adalah ilustrasi sempurna tentang konsep dan sikap kita di hadapan sebuah ritual. Masyarakat kita menempatkan ritual di level magis dan menjunjung tinggi ritus sebagai hal terpenting yang mesti diselamatkan. Ini rupanya beriirisan dengan budaya kita yang dikelilingi oleh macam-macam ritus dalam kehidupan.

Permintaan Wakil Bupati Belu dalam apel tersebut untuk memperbaiki tali bendera yang copot di pucuk tiang secara gamblang memproyeksikan wawasan tentang ritus. Ibarat ekaristi yang tidak mungkin dirayakan tanpa hosti dan anggur, apel bendera adalah sejenis “sakramen” yang cacat tanpa berkibarnya bendera.

Pada satu sisi penghargaan terhadap ritual, yang magis dan yang kudus boleh dibilang “kearifan lokal” yang tercantol dalam wawasan kita. Namun pada gilirannya “kearifan” tersebut mesti membuka diri dan diperiksa oleh wawasan kritis dari iklim demokrasi yang kita hidupi.

Ritus yang umumnya menyentuh perasaan dan bermain di ranah psikologis manusia pada gilirannya mesti diuji oleh akal sehat.

Hemat saya justru karena dikelilingi oleh simbol-simbol yang memancing wawasan religius, sebuah upacara “sipil” kiranya tidak mengingkari penghormatan terhadap peradaban manusia (civilization). Semakin religius dan magis mestinya ia semakin sensitif terhadap manusia bukan sebaliknya.

Jadi apel bendera dalam kerangka idealogis menuntut keherensi dengan akal sehat. Orang tidak boleh dihantui oleh rasa kikuk berlebihan kalau apel bendera diinterupsi oleh insiden semisal bendera terbalik. Dalam sebuah negara sekular hal semacam itu adalah error yang selalu dapat dimaafkan. Bahaya kalau mulai muncul kekerasan semata-mata karena tetek-bengek semacam itu. Semakin banyak kekerasan tumbuh di sekitar ritus, semakin kita mengangkangi akal sehat. Pendeknya, ritus dibuat untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk ritus.

Sebagai proposal, peristiwa Silawan mesti menjadi insiden terakhir di Indoensia.

Membiarkan seorang anak memanjat tiang bendera demikian tinggi tanpa pelindung terlalu berisiko bagi nyawanya dan lebih dari itu mencederai akal sehat. Kita seperti menonton maut bergentayangan di depan mata.

Padahal upacara bendera adalah perayaan kemerdekaan. Merayakan kemerdekaan berarti merayakan kehidupan bukan sebaliknya menghidupkan budaya kematian.

Saya membayangkan ke depan akan ada pasukan khusus yang lengakap dengan pengaman untuk mengantisipasi insiden-insiden semacam ini.

Kalau ke depan masih ada Pemimpin upacara yang memaksa anak-anak untuk memanjat tiang bendera tanpa pelindung dan pengaman hanya demi apel bendera baiklah dia dibawa ke Polisi.

Ekstrimnya, tanpa berkibarnya bendera pun upacara 17-an atau apel Senin pagi tetap bisa berjalan. Saya yakin kapasitas akal sehat kita selalu cukup untuk menafsir setiap simbol dan ritus. Dengan cara itu kita juga merayakan secara baru kemerdekaan berpikir.

Memanjat tiang bendera tanpa pelindung stop di Silawan. Tidak boleh terulang lagi!

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60