PORTALNTT.COM, TAMBOLAKA – Di zaman ini sangat sulit memisahkan listrik dari kehidupan. Listrik selalu ada di sekitar kita. Tanpa listrik, dunia seperti terasa mati.
Harus kita akui bahwa kita sangat tergantung pada listrik, bahkan lebih daripada yang kita sadari. Kita memerlukan listrik untuk memperoleh informasi, berkomunikasi lewat telepon dan internet, atau sekedar untuk memperoleh cahaya yang nyaman di malam yang damai. Namun, listrik memiliki peran yang lebih penting daripada itu.
Di Desa Mata Weelima, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), masyarakat hidup bertahun-tahun tanpa adanya listrik. Lantas kita bertanya bagaimana kehidupan masyarakat di sana?
Selama ini, warga menggunakan lampu pelita sebagai penerangan di malam hari.
“Selama ini kami menggunakan lampu pelita ada juga pakai lampu sehen tetapi hanya bertahan satu malam,” ungkap salah satu warga, Martinus U. Wopa kepada wartawan, Rabu (17/7/2019).
Untuk mengecas lampu sehen, warga terpaksa membayar pemilik rumah yang memiliki genset.
“Sekali cas Rp 2000, casnya pagi dan hingga sore. Lampu itu kami gunakan hanya untuk penerangan malam hari sebagai penerangan saat masak dan makan malam saja. Sementara anak kami belajar menggunakan lampu pelita,” katanya.
Ama Rita, Kepala dusun 2 Desa Mata Weelima mengaku sudah bertahun-tahun warga setempat mengharapkan listrik masuk desa. Namun, hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah.
“Kasihan anak-anak kami sangat sengsara, belajar masih pakai pelita,” tandasnya.
Ia berharap Pemda SBD segera merespon keluhan warga yang hingga kini belum merasakan kemerdekaan sesungguhnya.
Selain itu, dalam empat bulan terakhir, warga mengalami krisis air bersih. Panas berkepanjangan mengakibatkan sumber mata air di desa tersebut mengalami kekeringan.
Demi mendapatkan air, warga melakukan antrian panjang. Bahkan, sebagian warga rela mengantri sejak jam 3 subuh.
Salah satu warga setempat, Matius Malo Bulu mengatakan, krisis air bersih itu berdampak pada aktivitas anak-anak sekolah.
“Sudah empat bulan susah air. Anak-anak terpaksa membantu orangtua mengantri air dari malam sampai pagi, bahkan banyak dari mereka tidak ke sekolah hanya untuk mengantri air,” ujarnya.
Ia berharap agar pemerintah daerah segera mengambil langkah mengatasi krisis air bersih di wilayah itu.
Natalia Ndada Mila, warga dusun Wee Bo’u mengatakan, untuk mendapatkan air, warga harus menempuh jarak tiga kilo meter.
“Kami pulang bawa air ke rumah itu jam 10 malam dan air yang kami bawa pulang hanya dua jerigen. Menunggu air ini kami lakukan setiap hari selama empat bulan hingga sekarang,” katanya.
Sementara itu, kepala dusun 3, Dominggus Kadi Wanno mengatakan, untuk mengatasi krisis air, sebagian warga terpaksa membeli air di kabupaten Sumba Barat.
“Kita terpaksa beli dengan harga Rp 5000 per lima liter air. Kalau beli satu tangki air harganya Rp 600.000,” tandasnya.
Ia menambahkan, kesulitan air bersih itu sudah dikeluhkan ke pemerintah, namun hingga kini belum ada tindaklanjut.
“Kami juga warga SBD, walaupun kami di pelosok. Kami berharap pemerintah memperhatikan kami juga. Kami merasa tidak diperhatikan karena sudah sering kami mengeluh,” pungkasnya. (*/Epy)