Oleh : Endang Sidin
(Penulis adalah Kuli Tinta dan Penyuluh Anti Korupsi bersertifikat (E- Learning) Jalur RPL Pusat Edukasi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) RI
PORTALNTT.COM, ROTE NDAO – Tahun 2019 akan segera berlalu. Ada berbagai dinamika yang telah kita lewati bersama. Banyak catatan hitam yang perlu kita refleksikan kembali, sebagai bahan pelajaran untuk kita perbaiki di tahun 2020 mendatang.
Fokus perhatian kita adalah tentang kejadian atau fenomena hukum yang terjadi sepanjang 2019 Fenomena penegakkan hukum ini patut menjadi bahan kajian para intelektual sepanjang 2019 yang akan segera berlalu.
Beberapa hal yang menjadi perhatian saya adalah komitmen pemberantasan korupsi yang masih hanya sebatas pada wacana; penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan, serta kriminalisasi yang sering dipertontonkan secara nyata di hadapan publik, pemberitaan media yang acap kali di cap mengkangkangi.
Sepanjang 2019 di Negeri yang sangat terkenal dengan pulau sejuta Lontar, namun banyak menguras energi dengan persoalan dugaan kasus korupsi dan kriminalisasi. Fundamen utama dari persoalan ini adalah karena persoalan politik, hukum, serta pemerintahan secara luas, belum menyentuh masalah utama dari dua persoalan tersebut.
Korupsi Politik Tanpa Penyelesaian
Persepsi Korupsi di Kabupaten Rote Ndao, justru kian meningkat namun sayangnya hanya masih sebatas diselidiki tanpa ada akhir penuntasan, hal ini menandakan bahwa pemberantasan korupsi bagi para penegak Hukum maupun Pelaku hanya sebatas Slogan terpampang yang tak kunjung terealisasi.
Dapat disaksikan dari, siaran pers, talkshow, dan lain sebagainya, kita menyaksikan bagaimana korupsi itu dibicarakan secara tuntas oleh praktisi, pakar, pejabat dan masyarakat, namun langkah penyelesaiannya masih belum terlaksana sebagaimana cita-cita konstitusi dan UU.
Keseriusan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi fokus semua komponen bangsa, namun perhatian itu menjadi gelombang tanda tanya setelah pemberantasan korupsi menjadi stagnan.
Secara massif pemberantasan korupsi terlihat dalam berbagai agenda Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, tetapi secara substantif pemberantasan korupsi belum menyentuh pada akar permasalahannya.
Dilihat dari fakta tersebut, ‘kanker’ korupsi ini seakan-akan sangat sulit untuk diberantas. Lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan pemberantasan korupsi tidak memiliki ‘keperkasaan’ dalam menuntaskan permasalahan yang demikian serius ini.
Lembaga khusus seperti KPK belum sepenuhnya memiliki nyali untuk membongkar kejahatan koorporasi besar dan persekongkolan politik elit dalam menguras Anggaran negara terutama di Negeri Sejuta Lontar ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus dugaan korupsi besar yang sama sekali belum dituntaskan serta kebijakan maupun monopoli penguasa masih terjadi.
Contoh kasus-kasus yang belum dituntaskan dan tak ada kejelasanya diantaranya Dana Bencana Alam, bahkan di tangani langsung Oleh Kejaksaan Tinggi Negeri(KEJATI NTT) Kasus Dana Desa Lakamola, Dana Desa Lifuleo, Dana Desa Batulilok, Dana Desa Oelua, Kasus Pekerjaan Pagar Rumjab Rote Ndao, Di bagian Umum Sekda Kabupaten Rote Ndao, ASN PTDH Mantan Napikor, dan beberapa kasus lainya semua jika digabungkan berjumlah belasan Kasus dugaan korupsi, namun sayangnya lagi-lagi tak jelas entah dimana, belum lagi kasus dugaan korupsi yang tak dapat di sebutkan satu persatu dengan total 22 kasus yang pernah di tangani oleh polres Rote Ndao namun hinga berganti kepemimpinan di tubuh polres tak ada satupun yang tuntas, hanya satu kasus Dana desa yang tuntas yaitu Desa Netenain itupun tidak dapat di pungkiri kasus itu dihantar begitu cepat karena attention pembalasan politik itu nyata, kita jangan Munafik!
Sementara dugaan kasus korupsi Besar, yang sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)belum juga tuntas, hanya satu kasus yang sudah di nyatakan tuntas dan di hentikan yaitu kasus Pengadaan Tanah Oehandi, disebabkan yang bersangkutan telah menyetor kembali kerugian negara ketika di adukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)RI.
Dan lima kasus menjadi attention Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan aktif masih terus di pantau hingga saat ini adalah ASN PTDH Mantan Napikor yang di pekerjakan kembali hanya dengan SK Bupati, Adanya Pembentukan Tim Bupati Untuk Percepatan Pembangunan (TBUPP) Pemberhentian tiga Kepala Desa Defenitif,pengangaran kembali Tanah Hibah di Desa Oehandi,Mutasi ASN yang tidak prosudural,lima Kasus ini menjadi attention dan akan terus di pantau oleh Bidang Pencegahan,jika ada langkah menyalahi aturan yang di lakukan oleh Pemda Kabupaten Rote Ndao maka sudah pasti akan di rebut oleh Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi sebab beberapa kali upaya peringatan telah dilakukan oleh Bidang Pencegahan.
Daftar kasus-kasus yang disebutkan diatas bukan hanya merugikan negara, tapi lebih jauh lagi, yaitu menjadi ancaman bagi kedaulatan Negeri sejuta Lontar . Karena korupsi itu lebih didominasi oleh keputusan politik, yang berkaitan erat dengan institusi politik, yang sudah pasti melibatkan elit penguasa
Perselingkuhan antara birokrasi dan korporasi dalam memonopoli kekayaan serta aset daerah merupakan wujud nyata dari ancaman kedaulatan yang tidak bisa dilihat begitu saja ! Saya menyebutnya sebagai persekongkolan ‘Buaya merah bermahkota” untuk merusak kualitas hidup masyarakat, merusak sumber daya alam, merusak keputusan politik, merusak kualitas pendidikan, mengancam kedaulatan masyarakat di Negeri tercinta ini.
Begitupun keputusan politik yang berkaitan dengan kepentingan regulasi sebuah negeri bisa diintervensi dengan suap-menyuap, dan bayar membayar oleh penguasa”Buaya Merah bermahkota” maka jika tidak segera bertindak bukan saja Negeri bangkrut tetapi kemaslahatan rakyat juga menjadi ancaman terdepan
Korupsi yang demikian itulah yang menjadi tugas KPK. Ini adalah ranah KPK yang belum disikapi secara tuntas. Apalagi menyakut kejahatan korporasi dan Korupsi kebijakan, belum ada tanda tanda untuk dibongkar secara tuntas. Ini bahaya!
Apa penyebabnya sehingga korupsi besar ini tidak dituntaskan? Sebab-sebab dari ketidakmampuan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi ini ?
Ataukah karena belum ada kesungguhan dan keinginan untuk menuntaskan semua persoalan ini, selain ada faktor politik, (saling sandera) juga kekuasaan dan uang yang masih mengalahkan hukum itu sendiri.
Disamping itu,persoalan SDM Aparat penegak hukum kita masih sangat minim dan terbatas. Mental birokrasi penegak hukum masih bermental inlander.
Mental inlander yang saya maksud disini adalah mental aparat yang masih dibawah kontrol kekuasaan dan koorporasi. Sehingga, Institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah kontrol eksekutif, tidak dapat bertindak secara objektif dan serius dalam menindak korupsi ini.
Dan fenomena melemahnya penegak hukum ini secara kasat mata dapat dilihat dalam 4 tahun terakhir ini. Itulah yang menimbulkan banyak anggapan bahwa periode pemerintahan ini, pemberantasan korupsi belum mendapatkan dukungan yang jelas dari kedua pihak.
Padahal aparat hukum pada dasarnya memiliki wewenang untuk membuat kebijakan pemberantasan korupsi yang jelas.
Kalau saja Aparat serius dalam pemberantasan korupsi ini, maka tentunya akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinnya untuk mendorong institusi penegak hukum agar lebih garang lagi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi, termasuk korupsi ‘kelas berat’ diatas.
Kenapa korupsi ini menjadi masalah yang serius? Korupsi itu memiliki berbagai macam tingkatan, mulai dari korupsi ecek-ecek hingga korupsi yang besar atau kategori high class. Yang ‘kelas berat’ ini kebanyakan tidak tuntas, seperti yang saya sebutkan satu persatu sebelumnya.
Padahal model korupsi high class ini, merupakan ancaman besar bagi Negeri tercinta dan negara. Karena korupsi seperti ini melibatkan banyak pihak yang dalam prosesnya melewati birokrasi dan lembaga negara. Pengambilan keputusan hingga pada pelaksanaannya menggukan instrumen kekuasaan. Berarti, melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dan korupsi sepertu itu sudah masuk kejahatan yang terorganisir atau dengan istilah lain kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sifatnya extra ordiry crime.
Kriminalisasi: Penegakan Hukum Untuk Siapa?
Selain korupsi, yang patut menjadi sorotan publik ditahun 2018 hingga 2019 adalah penegakan hukum yang dirasa tidak adil dan tebang pilih. Ada kecenderungan kriminalisasi terhadap para tokoh oposisi, Aktivis dan kritikus dan kami.mengalami hal.itu Ketua LSM Kami ANTRA RI Yunus panie ,dkk menjadi korban kriminalisasi padahal teriakan.mereka hanya demi membersihkan para “BUAYA MERAH BERMAKHOTA”.
Terkait hal ini kita dapat melihat secara matematis, bagaimana orang yang cenderung mengkritisi pemerintah dan yang berbeda dengannya mudah diputuskan bersalah dihadapan hakim.
Lagi lagi ktivis yang menjadi korban kriminalisasi.
Siapakah pemilik hukum itu sesungguhnya? Pertanyaan ini muncul karena ada kecurigaan bahwa hukum digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu, dengan memukul yang berbeda dengan kepentingan itu.
Kalau hukum diselenggarakan dengan seadil-adilnya, pertanyaan yang serupa tidak akan muncul dibenak kita. Kalau hukum dilaksanakan untuk kebutuhan hukum itu sendiri, maka tidak ada satupun kecurigaan yang muncul, namun akan berbeda kalau hukum dilaksanakan untuk melindungi selera kekuasaan. Pihak yang pro terhadap penguasa dilindungi dengan hukum meskipun dilaporkan berkali-kali oleh para aktivis
Bagaimana sikap aparat penegak hukum? sikap pembiaraan yang dilakukan oleh aparat menjadi pintu bagi para penguasa untuk terus membungkam media maupun Aktivis,seolah apa yang ditayangkan media adalah salah tanpa ada titik kebenaran !
Kedaulatan hukum dalam konteks ini tidak ada sama sekali, sementara sikap merasa berkuasa semakin ditonjolkan kepada pihak yang dianggap berbeda. Keadaan ini akan memperuncing sentimen dan dendam diantara anak negeri dan tentu akan menjadi ancaman bagi keutuhan sosial masyarakat di bumi Sasando.
Krisis Narasi media seakan terbelengu
Media diksebut sebagai pilar keempat demokrasi karena memiliki peran dalam menentukan opini publik. Ketika kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif digunakan untuk kepentingan picik segelintir kekekuasaan, dikendalikan oleh pemilik koorporasi besar, maka media menjadi alat untuk menyampaikan informasi yang benar kepada publik justru menjadi musuh utama penguasa.
Bahkan penguasa secara terang terangan mempetak petakan media,melarang secara terang terangan publikasi dalam.bentuk.apapun ! Hanya karena alasan suka tidak suka.
Anehnya media yang ideal yang menyuarakan kebenaran justru diangap musuh,pengacau negeri,lantas apa yang mau di harapkan dari negeri ini siapa yang harus bertangung jawab
Untuk menguasai pemberitaan, maka rakyat juga turut mengambil jalan dengan menggunakan media sosial. Akhirnya sahut-menyahut di media sosial menjadi liar.
Narasi media kian di arahkan segelintitlr kaum.menjadi musuh dan momok seakan terpecah dalam dua frame. Yang pertama para kaum lainya yang merupakan corong penguasa berjalan bebas Dalam konteks inilah hoax dan berbagai macam narasi bohong yang di kemas
Tidak heran sepanjang 2019, kita menyaksikan satu nilai komunikasi yang sedang mengalami penurunan kualitas. Sahut menyahut di media massa tidak jarang berujung pada proses hukum
Kenapa masyarakat mengambil jalan pintas seperti itu? Karena mereka tidak lagi menemukan kebenaran pada demokrasi Negeri, mereka memilih alternatif lain yaitu media sosial untuk menyatakan kehendaknya dan menyampaikan unek-uneknya.
Dalam menyongsong 2020 perlu pimikiran besar dan sikap yang tegas, serta kemampuan yang mantap. Karena menghadapi tahun depan, selain menyelesaikan berbagai persoalan juga untuk mengagendakan masa depan Rote Ndao yang lebih baik ditengah korupsi kebijakan yang masih beroperasi dengan sistematis, keadilan hukum yang belum kunjung dilaksanakan sepenuh hati, kriminalisasi, politik balas dendam hingga balas budi masih dominan.
Narasi kebencian yang telah merasuki ruang publik, sehingga ruang publik kita menjadi pengap dengan kata-kata sarkatisme harus diakhiri dengan mengembalikan fungsi media massa sebagai pilar demokrasi keempat.
Semua itu hanya bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah yang kuat dan mengerti arah pemberantasan korupsi kedepan. Karena selama empat tahun ini keterlaluan kalau kita mengatakan bahwa selama empat tahun ini korupsi ‘dimotori oleh koalisi’ sementara itu pemerintah justru menjadi sarang korup DPRD gagal menekan laju korupsi itu,bahkan simbol utusan rakyat menjadi abu-abu, akhirnya publik menjadi bingung.
Sementara untuk hal-hal yang berkaitan dengan kriminalisasi menjadi bahaya baru, yaitu perpecahan dan permusuhan. Itulah sebabnya 2020 ini, kita perlu pemimpin yang akodomatif, mampu menebarkan persatuan, bukan dalam slogan, bukan dalam propaganda dan pencitraan, tetapi dalam langkah nyata bagi Rote Ndao yang sejahtera adil dan.makmur.
Akhirnya, semoga dalam menyongsong 2020 , kita mampu mengarahkan energi Negeri ini pada kemajuan dan kemakmuran, dan semoga momentum 2020 nanti akan melahirkan banyak Para Wakil Rakyat yang dengan Lantang dapat menentang semua kejahatan ketimpangan Bermotif kebijakan Pro Rakyat.