Hari ke-4 di Mama Kota Jakarta

  • Whatsapp

Misa Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam – Katedral Jakarta, 23 November 2025

Hari ke-4 di Mama Kota Jakarta ternyata membawa beta pada sebuah pengalaman rohani yang susah sekali dilupakan.

Pagi ini, seperti biasa, beta bangun dan bersiap mengikuti misa. Tapi ada satu hal yang bikin hari ini terasa berbeda: ini adalah misa ke-3 beta di Gereja Katedral Jakarta dan entah kenapa hati beta terasa penuh sejak sebelum melangkah masuk.

Begitu sampai di depan gereja, beta langsung terdiam. Bangunan Katedral berdiri megah, kokoh, dan cantik seakan memancarkan wibawa tetapi juga kehangatan pada saat yang sama. Beta tahu, momen ini harus diabadikan. Dengan sedikit malu-malu, beta minta bantuan security untuk ambil foto. Untungnya, mereka ramah sekali.

Saat melangkah masuk, beta makin takjub. Ornamen gereja, cahaya yang jatuh dari kaca-kaca bernuansa gotik, aroma dupa yang lembut… semua terasa seperti mengajak hati untuk tenang dan diam sejenak.

Beta lihat jam baru pukul 10.10. Misa masih lama, mulai jam 11.00. Tapi anehnya, semua kursi sudah penuh! Beta sempat bingung harus duduk di mana, tapi beta tetap menyusuri lorong perlahan-lahan. Sampai akhirnya terlihat satu kursi kosong, paling depan, kanan dekat mimbar altar. Beta duduk di situ, berdampingan dengan seorang suster dari Kongregasi CMF. Jujur, beta merasa diberi “tempat istimewa”.

Lalu beta perhatikan deretan kursi di samping ternyata itu kursi khusus bagi umat disabilitas. Di depan mereka ada seorang ibu yang menerjemahkan liturgi ke dalam bahasa isyarat. Beta langsung tersentuh.

Mereka, yang fisiknya terbatas, masih berdiri teguh mencari Tuhan, menghadiri misa dengan penuh perhatian. Mereka datang bukan karena kuat, tapi karena tekad dan kerinduan yang tidak bisa dibendung. Beta lihat wajah-wajah mereka ada yang sudah renta, ada yang gerakannya terbatas, tapi semuanya hadir dengan sukacita.

Saat itu beta langsung merasa seperti ditampar halus.

“Kalau mereka saja bisa meluangkan waktu untuk Tuhan, apa alasan beta yang diberi fisik sempurna untuk malas datang misa, malas bersyukur?”

Beta sadar, sering kali beta datang kepada Tuhan hanya ketika butuh, ketika hidup terasa berat, ketika hati sedang nelangsa. Tapi saat hidup baik-baik saja, syukur itu sering terlupa. Padahal Tuhan tidak pernah berhenti membuka pintu baik saat beta jatuh maupun saat beta berseri-seri.

Refleksi itu rasanya seperti alarm yang Tuhan pasang langsung dalam hati. Sederhana, tapi kena sekali:

Jangan pernah melupakan Tuhan. Dalam suka maupun duka.

Tepat pukul 11.00, misa dimulai. Dipimpin oleh Romo Hani Rudi, SJ. Hari itu Gereja merayakan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, puncak tahun liturgi. Dan pesan Romo seperti mengalir pas sekali dengan apa yang barusan beta alami:

Yesus adalah Raja, tapi bukan Raja yang gemar memerintah dengan kekuasaan.

Ia hadir sebagai Raja yang rendah hati, melayani, dan mencintai. Ia menunjukkan kuasa bukan dengan takhta, tapi dengan salib.

Hari ini, beta merasa Tuhan kasih pengalaman kecil untuk menunjukkan arti sesungguhnya dari kasih dan kerendahan hati. Bahwa menjadi kuat bukan soal fisik, tapi soal hati yang tetap mencari Tuhan meskipun tubuh tak lagi sempurna. Bahwa menjadi rendah hati bukan soal menunduk, tapi soal membuka diri untuk disentuh oleh kasih-Nya.

Dan di Mama Kota Jakarta, di tengah bangunan megah Katedral, beta menemukan satu hal:

Tuhan selalu hadir, kadang melalui hal-hal kecil, kadang lewat orang-orang yang bahkan tidak beta kenal.

Hari ke-4 ini menjadi pengingat yang manis, lembut, tapi kuat:

Syukur harus menjadi nafas, bukan reaksi. Iman harus menjadi perjalanan, bukan pelarian.

Dan beta pulang dengan hati yang jauh lebih ringan daripada ketika datang.

Komentar Anda?

Related posts