PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – WALHI NTT mencatat setidaknya sudah 12 kali Jokowi datang melakukan pekerjaan negara di NTT sejak menjadi presiden 2014 silam. Kedatangan beliau didominasi untuk kepentingan peresmian proyek infrastruktur nasional. Mulai dari bendungan, Food Estate hingga yang terbaru meresmikan Politeknik Ben Mboy Universitas Pertahanan Nasional di Belu.
WALHI NTT mencatat bahwa beberapa proyek nasional di NTT banyak menimbulkan konflik dan berpotensi salah sasaran. Terutama konflik agraria dan tata kuasa kepemilikan lahan di Kawasan proyek proyek nasional tersebut.
Dalam catatan WALHI NTT, Kasus Konflik Agraria di rencana Pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, persoalan ganti untung di beberapa proyek bendungan yang belum dipenuhi hingga potensi kepemilikan lahan di berbagai Kawasan proyek nasional bukan dimiliki oleh petani.
Ada juga keterancaman ekosistem Komodo dan ruang penghidupan masyarakat di Taman Nasional Komodo akibat proyek kawasan strategis Pariwisata Nasional Labuan Bajo (KSPN). Ditambah lagi proyek proyek Geothermal yang bermasalah karena berpotensi merusak lingkungan hidup dan melakukan relokasi warga kampung. Seperti yang dikuatirkan warga Wae Sanno, Manggarai Barat.
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menyampaikan bahwa seharusnya kedatangan Jokowi kali ini di momentum Hari Hutan dan Hari Air Sedunia (21 dan 22 Maret) untuk mengevaluasi dampak dari proyek proyek nasional di NTT.
“Selain untuk peresmian di Universitas Pertahanan Nasional, seharusnya Jokowi juga melakukan evaluasi dampak menyeluruh dari proyek proyek nasional yang sudah dan akan berjalan di NTT,” ungkap Umbu Wulang.
Umbu Wulang mencontohkan Jokowi mengevaluasi proyek nasional yang rawan atau sudah menimbulkan konflik agraria. Kasus seperti ini yang terjadi di pembangunan Waduk Lambo yang saat ini masih penuh denganmasalah agraria.
“Jokowi harus mengevaluasi jajaran di bawahnya termasuk pemerintah propinsi dan kabupaten terkait pembangunan Waduk Lambo. Masyarakat kan tidak menolak waduk tersebut, tapi menawarkan lokasi lain di sekitarnya. Karena masyarakat merasa akan kehilangan ruang penghidupan kalua pembangunan waduk Lambo di tempat yang direncakan pemerintah tetap dilanjutkan. Jokowi harus menyanyakan kenapa kalian tidak mengakomodir usulan masyarakat untuk lokasi pembangunan waduk, misalnya,” ujar Umbu Wulang.
Selain itu juga mengevaluasi dampak dari proyek yang sudah berjalan. Misalnya Food Estate di Sumba Tengah dan Bendungan di Pulau Timor.
“Kami mencurigai bahwa misi food estate untuk mengurangi kemiskinan di Sumba Tengah hanya isapan jempol semata. Karena ada laporan bahwa banyak pemilik lahan di Kawasan yang ditunjuk sebagai lokasi food estate bukan berasal dari kalangan petani miskin. Kami menduga bahwa banyak lahan tersebut dimiliki justru oleh pejabat atau kalangan lain yang sebenarnya sudah hidup berkecukupan. Nah, misinya mau mengurangi kemiskinan tapi yang banyak menikmati proyek nasional justru bukan rakyat miskin. Kondisi ini juga kami duga terjadi di berbagai areal pertanian sekitar proyek bendungan nasional di NTT,” tegas Umbu Wulang.
Lebih dari itu, Jokowi sebenarnya bisa melakukan evaluasi terhadap kinerja penanganan korban badai Siklon Seroja yang menghantam NTT setahun silam. Buktinya hingga kini masih banyak korban yang tidak mempunyai rumah dan nasibnya terkatung katung.
“Ini seharusnya menjadi evaluasi terhadap kerja pemerintah dalam memastikan hak hak korban bencana seroja dapat diwujudkan. Jangan jauh jauh, banyak korban badai Seroja di Kota Kupang saja belum mendapatkan haknya” tambahnya
Momentum Hari Hutan Dan Hari Air Seharusnya Jokowi Prioritaskan Pemulihan Daya Dukung dan Keadilan Lingkungan di NTT
Kedatangan Jokowi di NTT bertepatan dengan Momentum Hari Hutan dan hari air Sedunia. Namun pemerintah sepertinya tidak peka dengan kondisi hutan yang makin kritis dan persoalan kalsik soal air di NTT.
“Ini menjadi soal pemerintah kita, terutama di NTT, sedikit sedikit pembangunan, sedikit sedikit investasilah. Tapi abai pada daya dukung lingkungan. Mereka tidak pernah memperioritaskan tentang target penambahan hutan tutupan di NTT, mereka tidak pernah memperioritaskan soal perlindungan ekosistem sabana dan karst. Mereka tidak pernah bicara soal potensi krisis air yang dashyat di kemudian hari akibat minimnya daya dukung lingkungan serta akibat perubahan iklim dan pemanasan global,” tukas Umbu Wulang.
Padahal persoalan ekonomi di NTT rata rata karena abai terhadap daya dukung dan daya tamping lingkungan.
“Contoh, Kemarin Presiden melihat fakta stunting di NTT. Tapi tahukan kita bahwa salahsatu penyebabnya karena makin menurunnya daya dukung lingkungan di NTT dan tingkat konsumsi pangan yang banyak bergantung dari luar daerah atau komoditas pabrik. Pernahkah kita menelisik bahwa stunting ada hubungannya dengan ketimpangan agraria di NTT. Ini seharusnya juga jadi evaluasi,” tambah Umbu Wulang.
Kedepan WALHI NTT meminta Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dampak pembangunan proyek nasional di NTT terutama yang terkait dengan konflik agrarian, kerusakan lingkungan hingga dampak riil terhadap kesejahteraan rakyat terutama rakyat miskin.
“Kalau Jokowi bilang menyayangi NTT maka, WALHI NTT berharap Jokowi juga tidak segan untuk mengevaluasi dampak proyek proyek nasional di NTT. Sudah rasa sayang Jokowi terhadap NTT salah sasaran. Yang ingin disayang adalah masyarakat kecil dan termarginalkan, justru yang meraup untung dari proyek proyek nasional adalah pejabat, atau pihak yang sudah mapan secara ekonomi. Evaluasi penting, supaya proyek nasional, kedepannya juga jangan lagi banyak menimbulkan kerawanan konflik dan pengrusakan lingkungan. Sekaligus juga proyek nasional haru peka kondisi kebencanaan di NTT,” tegas Umbu Wulang.