Krisis Senyap di Timur Indonesia: Lonjakan HIV/AIDS di Kupang Yang Tidak Boleh Diabaikan

  • Whatsapp

OPINI

Primus Anselmus Mau, dkk

Indonesia kerap berbicara tentang krisis kesehatan dalam skala nasional, namun sering kali lupa bahwa di wilayah timur, krisis itu tumbuh dalam kesenyapan. Salah satu contoh paling nyata adalah lonjakan kasus HIV/AIDS di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di balik citra kota yang tenang dan religius, Kupang tengah menghadapi persoalan kesehatan masyarakat yang serius, kompleks, dan berpotensi apabila terus diabaikan.

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Kupang, jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Kupang telah mencapai 2.539 kasus hingga periode Januari–September 2025. Angka 2.539 kasus sering dikutip media sebagai data tahunan 2025, namun pihak KPA menjelaskan angka tersebut adalah akumulasi kasus selama 10 tahun terakhir (2015–2025). Ini merupakan angka kumulatif yang sangat tinggi, terutama melihat tren peningkatan dari tahun ke tahun. Distribusi kasus juga menunjukkan gejala seriusnya persebaran penyakit ini di berbagai lapisan masyarakat:

• Pelajar dan mahasiswa tercatat sebagai 254 kasus, lebih tinggi dibanding pekerja seks komersial (203 kasus), yang selama ini sering dipandang sebagai kelompok “resiko tinggi”. nttmediaexpress.com

• Sebaran di tingkat kecamatan juga luas, dengan Kecamatan Oebobo, Kelapa Lima, dan Maulafa sebagai wilayah paling banyak kasusnya. nttmediaexpress.com

Rekaman data sebelumnya bahkan menunjukkan bahwa Kota Kupang sejak tahun 2000 sudah memiliki ribuan orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Profil kesehatan lokal mencatat bahwa sejak awal abad ke-21 hingga Mei 2024 total kasus mencapai 2.246 orang, dengan rentang usia yang menyerang termasuk orang dewasa produktif dan kelompok muda.

Lonjakan kasus HIV/AIDS di Kupang bukan sekadar angka statistik. Ia merepresentasikan manusia anak muda, ibu rumah tangga, pekerja, bahkan bayi yang hidup dengan stigma, keterbatasan akses layanan kesehatan, serta minimnya perlindungan sosial. Sayangnya, isu ini kerap kalah gaung dibandingkan masalah kesehatan lain yang lebih “populer” di ruang publik. Inilah yang membuat HIV/AIDS di Kupang layak disebut sebagai krisis senyap. Salah satu faktor utama yang memperparah situasi adalah rendahnya literasi kesehatan seksual. Pendidikan seks masih dianggap tabu, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Akibatnya, banyak remaja dan dewasa muda tidak memiliki pengetahuan memadai tentang penularan HIV, perilaku berisiko, serta pentingnya pemeriksaan dini. Ketidaktahuan ini membuka ruang bagi penyebaran virus yang tidak terkendali.

Di sisi lain, faktor sosial ekonomi turut berperan besar. Kemiskinan, urbanisasi, pengangguran, serta mobilitas penduduk termasuk pekerja informal dan pekerja migran menciptakan kondisi rentan terhadap praktik seksual berisiko. Ironisnya, kelompok paling terdampak justru sering disalahkan secara moral, alih-alih dilindungi dan diberdayakan. Stigma dan diskriminasi membuat banyak orang tidak mau melakukan tes HIV atau mengakses layanan kesehatan, karena takut dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat.

Yang membuat situasi ini semakin mengkhawatirkan adalah perubahan pola penyebaran HIV/AIDS. Jika sebelumnya kasus banyak ditemukan pada kelompok dengan perilaku berisiko tinggi, kini infeksi HIV juga menjangkau pelajar, mahasiswa, dan generasi usia produktif. Beberapa laporan di NTT mengungkap adanya ratusan pelajar dan mahasiswa yang teridentifikasi hidup dengan HIV/AIDS, sebuah fakta yang menandakan lemahnya edukasi kesehatan reproduksi dan minimnya kesadaran akan perilaku seksual aman. Fenomena ini memperlihatkan bahwa HIV/AIDS tidak lagi dapat dipandang sebagai masalah kelompok tertentu, melainkan telah menjadi persoalan sosial yang menyentuh ruang pendidikan, keluarga, dan komunitas secara luas.

Stigma sosial masih menjadi hambatan terbesar dalam upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS di Kupang. Banyak individu enggan melakukan tes HIV atau mengakses layanan kesehatan karena takut dikucilkan, diberi label negatif, atau mengalami diskriminasi. Akibatnya, tidak sedikit orang dengan HIV baru terdeteksi saat kondisi sudah lanjut, sehingga risiko penularan semakin tinggi dan kualitas hidup penderita semakin menurun. Padahal, dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang tersedia saat ini, HIV dapat dikendalikan dan penderita dapat hidup sehat serta produktif.

Krisis HIV/AIDS ini juga berdampak langsung pada pembangunan manusia di Nusa Tenggara Timur. Di tengah upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang pada 2024 berada di kisaran 69, penambahan kasus HIV/AIDS berpotensi menekan kualitas hidup, produktivitas tenaga kerja, serta beban sistem kesehatan daerah. Jika generasi muda yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan justru terjebak dalam lingkaran infeksi, stigma, dan minimnya akses informasi, maka bonus demografi yang diharapkan dapat berubah menjadi beban sosial jangka panjang. Oleh karena itu, lonjakan HIV/AIDS di Kupang tidak boleh terus diperlakukan sebagai isu pinggiran. Pemerintah daerah perlu memperkuat edukasi kesehatan seksual yang kompreh

Keterbatasan fasilitas kesehatan juga menjadi persoalan krusial. Meski layanan pengobatan HIV tersedia, distribusinya belum merata dan sering terkendala jarak, tenaga medis, serta pendanaan. Di wilayah timur seperti NTT, akses terhadap layanan kesehatan masih menjadi kemewahan bagi sebagian masyarakat. Tanpa intervensi serius, kesenjangan ini hanya akan memperbesar jumlah kasus yang tidak terdeteksi. Yang lebih mengkhawatirkan, HIV/AIDS masih sering dipandang sebagai isu individu, bukan persoalan struktural. Padahal, penanganan HIV/AIDS membutuhkan pendekatan multisektor: pendidikan, kesehatan, sosial, agama, dan budaya.

Pemerintah daerah, tokoh agama, pendidik, serta masyarakat sipil seharusnya berdiri di barisan yang sama menyuarakan pesan pencegahan tanpa menghakimi, serta mendorong rasa empati Kupang dan wilayah timur Indonesia tidak membutuhkan belas kasihan, tetapi perhatian serius dan kebijakan berbasis keadilan. Investasi pada edukasi kesehatan seksual yang komprehensif, penguatan layanan kesehatan primer, serta kampanye anti-stigma adalah langkah mendesak yang tidak bisa ditunda. Lebih dari itu, suara penyintas HIV/AIDS perlu dihadirkan dalam ruang publik, agar kebijakan yang lahir benar-benar berangkat dari realitas di lapangan. Lonjakan HIV/AIDS di Kupang adalah cermin dari ketimpangan pembangunan dan minimnya keberpihakan pada kelompok rentan. Jika krisis ini terus dibiarkan dalam kesenyapan, maka kita bukan hanya gagal melindungi warga di timur Indonesia, tetapi juga mengkhianati prinsip keadilan sosial itu sendiri.

Komentar Anda?

Related posts