PORTALNTT.COM, ROTE NDAO — Polemik dugaan penutupan akses jalan Pantai Bo’a oleh investor pariwisata PT Bo’a Development kini berubah menjadi panggung yang memperlihatkan betapa mudahnya suara rakyat dibungkam, sementara kepentingan korporasi justru tampak aman sentosa.
Di tengah keresahan warga soal hilangnya akses menuju pantai, Erasmus Frans Mandato alias Mus, orang yang berani bersuara lantang, malah dijadikan terdakwa. Kritiknya dibalas dengan jerat UU ITE. Pertanyaan besar pun mencuat,
Apakah ini penegakan hukum, atau pemelintiran hukum untuk menyerang suara rakyat ?
Sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Rote Ndao menjadi ajang saling bongkar argumen. JPU menolak mentah-mentah eksepsi (keberatan) kuasa hukum Mus. Namun serangan JPU itu justru menjadi bumerang setelah dibedah ulang oleh Tim Kuasa Hukum.
Kuasa Hukum Erasmus Frans, yakni Hari Pandie, SH, MH menyebut jawaban JPU tidak hanya kabur, tetapi menghindari substansi utama dan gagal menjelaskan dasar hukum secara utuh. Hari Pandie menegaskan bahwa JPU tidak mampu menjawab argumentasi tentang status tanah dan akses jalan yang menjadi inti dari persoalan yang diperdebatkan.
Hari Pandie menjelaskan bahwa dasar hukum yang dipakai pihaknya adalah PERMA No. 1 Tahun 1956 dan SEMA No. 4 Tahun 1980, kedua aturan itu menegaskan bahwa jika ada sengketa hak atas tanah yang bercampur dengan dugaan pidana, maka perdata harus didahulukan. Artinya, harus dipastikan dulu siapa pemilik sah tanah atau jalan tersebut.
Ironisnya, JPU menggunakan sertifikat tanah untuk menuduh Mus salah. Di sisi lain, Mus juga membawa sertifikat hak milik untuk membuktikan bahwa ia tidak menyebarkan hoaks. Menurut Hari Pandie, Kalau dua pihak sama-sama membawa sertifikat tanah, lalu mengapa Mus yang langsung dipidana ?
“Ini jelas-jelas sengketa perdata. Tidak pantas langsung dipaksakan jadi perkara pidana. Dakwaan JPU ini prematur,” jelas Hari Pandie pada media ini (1/12/2025)
Tim Kuasa Hukum Erasmus Frans juga menyoroti dakwaan JPU yang dinilai seperti “potongan-potongan kalimat tanpa alur”. Menurut mereka, Dakwaan JPU tidak menjelaskan secara jelas hubungan sebab-akibat antara postingan Erasmus Frans di Facebook dan kerusuhan yang disebut terjadi akibat dari postingan itu.
Dakwaan juga tidak menunjukkan bukti bahwa keributan itu benar muncul akibat postingan dari Erasmus Frans dan tidak menggambarkan kronologi secara utuh. Bagi Tim Kuasa Hukum, dakwaan seperti ini terlalu rapuh untuk dijadikan dasar mempidanakan warga.
“JPU tidak menunjukkan bagaimana postingan itu menyebabkan kerusuhan. Tidak ada kausalitas. Tidak ada penjelasan dalam dakwaan, dan tidak ada dalam jawaban mereka hari ini,” Ungkap Hari Pandie, SH, MH, Kuasa Hukum Erasmus Frans Mandato.
Atas dakwaan seperti itu, Tim Kuasa Hukum Erasmus Frans menduga bahwa Erasmus Frans menjadi korban kriminalisasi, bukan pelaku tindak pidana. Tim Kuasa Hukum berharap agar dalam sidang berikutnya yang dijadwalkan Kamis, 4 Desember 2025, majelis hakim akan membacakan putusan sela dengan tanpa menutup mata terhadap fakta bahwa dakwaan JPU prematur, tidak memenuhi syarat formil dan materiil, dan dakwaan kabur dan tidak cermat.
“Kami percaya majelis hakim akan melihat bahwa dakwaan ini tidak memenuhi kriteria hukum. Eksepsi kami patut dikabulkan,” ujar Hari Pandie, SH, MH, Tim Kuasa Hukum Erasmus Frans Mandato.
Kasus Erasmus Frans juga menjadi simbol perlawanan warga terhadap potensi privatisasi akses pantai dan dugaan keberpihakan aparat terhadap kepentingan pemodal. Semua mata kini tertuju pada jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Rote Ndao.







