OPINI
Prisila Alice Un,dkk
Natal adalah perayaan besar bagi umat Kristiani yang seharusnya dimaknai sebagai peristiwa iman yang penuh makna. Namun, seiring perkembangan zaman, Natal kini lebih sering dipahami sebagai momen pesta pora, belanja besar-besaran, dan kemeriahan semata. Makna kelahiran Yesus sebagai tanda kasih Allah perlahan mulai tersamarkan oleh gemerlap dunia modern. Banyak orang merayakan Natal secara meriah secara lahiriah, tetapi kurang mempersiapkan diri secara batiniah. Padahal, Natal sejati bukan terletak pada kemewahan pohon Natal, pakaian baru, atau pesta besar, melainkan pada kesederhanaan, kerendahan hati, dan kasih yang tulus.
Salah satu tanda memudarnya makna Natal terlihat dari meningkatnya budaya konsumtif di bulan Desember. Masyarakat berlomba-lomba membeli barang baru, menghias rumah semewah mungkin, serta mengadakan pesta besar. Aktivitas ini sering menjadi pusat perhatian utama, sementara makna spiritual justru dikesampingkan. Selain itu, media sosial ikut memperkuat anggapan bahwa Natal harus terlihat “wah” dan “sempurna”. Banyak orang merasa perlu memamerkan perayaannya agar mendapat pengakuan dari orang lain. Akibatnya, Natal tidak lagi dirayakan dengan ketulusan hati, melainkan demi gengsi dan citra sosial.
Fenomena tersebut dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Pusat perbelanjaan dipenuhi hiasan Natal dan promo diskon besar-besaran, iklan hadiah terus bermunculan, serta pesta akhir tahun menjadi agenda utama. Namun, di sisi lain, masih banyak orang yang hidup dalam kesepian, kekurangan, dan membutuhkan uluran kasih. Ironisnya, mereka sering luput dari perhatian di tengah hiruk-pikuk perayaan. Padahal, jika kita menengok kembali kisah kelahiran Yesus, Ia lahir dalam kesederhanaan, di palungan, jauh dari kemewahan. Hal ini menegaskan bahwa inti Natal bukanlah kemegahan, melainkan kasih dalam kerendahan hati.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa gemerlap modernitas telah perlahan menggeser makna sejati Natal. Natal yang seharusnya menjadi momen perenungan iman dan pembaruan hidup justru berubah menjadi perayaan yang lebih menekankan kesenangan duniawi. Jika kondisi ini terus dibiarkan, generasi muda berisiko memahami Natal hanya sebagai hari libur, waktu berbelanja, dan ajang bersenang-senang. Padahal, Natal adalah momentum penting untuk memperdalam iman, memperbaiki relasi dengan sesama, serta semakin peka terhadap kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, sudah saatnya kita kembali membenahi cara memaknai Natal. Persiapan Natal tidak hanya soal menghias rumah atau menyiapkan pesta, tetapi juga mempersiapkan hati melalui doa, perenungan, serta sikap hidup yang lebih sederhana. Mari kita rayakan Natal dengan berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan, mengampuni satu sama lain, dan menghadirkan damai di tengah keluarga serta lingkungan sekitar. Dengan demikian, Natal tidak hanya menjadi perayaan tahunan yang meriah, tetapi sungguh menjadi perayaan iman yang hidup, bermakna, dan membawa berkat bagi sesama.







