Merenungkan Kembali Hakekat Profil dan Tantangan Profesi Guru

  • Whatsapp

Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, (SMK Negeri 5 Manado)

 
Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan mencari sejumlah paradigma baru agar profesi guru tetap dan semakin memenuhi tuntutan masyarakat baru dalam melenium ketiga. Bagaimanapun masyarakat yang akan dikembangkan di masa kini dan mendatang, kita tetap mengakui bahwa kita tetap membutuhkan profesi guru. Meski fungsi dan perannnya mungkin bisa berubah dan memang harus berubah karena zaman kita terus berubah, namun profesi guru tetaplah mendapatkan tempatnya yang tak tergantikan, mengingat manusia dalam proses pertumbuhannya menuju kedewasaan, tetap memerlukan sosok guru sebagai tenaga terdidik untuk membantu perkembangannya. Hal ini makin mengemuka ketika kita makin sadar bahwa  perkembangan anak manusia berbeda dengan perkembangan aneka makluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya manusia tidak semata-mata bergantung pada kekuatan alam, melainkan bantuan berupa bimbingan dari orang yang lebih berpengalaman (baik karena pendidikan maupun karena pengalamannya).

Karena sekarang kita sedang hidup di abad 21, maka profesi guru yang hendak dijelaskan adalah profesi guru di abad 21. Namun sebelum melihat profil dan profesi guru di abad 21, kita sejenak mundur dimana  profesi guru pun mengalami  titik terang dan gelapnya.

Saya masih menyimpan artikel tua yang berjudul: Sang Guru, yang Makin Merana, Guru semakin tak berwibawa. Kini, di depan kelas pun mereka kalah pintar dengan muridnya….”
“Apa yang harus dikatakan lagi jika negeri ini belum berhasil mengangkat derajat, apalagi kehormatan, seorang guru? Kemuraman mereka tidak beranjak jauh dari lagu Oemar Bakri, yang diciptakan penyanyi Iwan Fals bertahun-tahun silam. Di pedesaan, mereka datang ke sekolah dengan naik sepeda buntut, sementara murid-muridnya sudah naik sepeda motor.

Di perkotaan, sang guru naik-turun angkutan kota, sementara muridnya diantar pakai mobil mewah. Pakaiannya sederhana atau sedikit lusuh, membawa map, dan wajahnya kuyu.

Penghasilan sang guru, semua orang tahu, sangat kecil. Dulu, di masa negeri ini disebut Orde Baru, penghasilan yang kecil itu masih digerogoti oleh berbagai pungutan, baik resmi, setengah resmi, maupun liar –semisal membeli kalender wajib. Untuk menghibur mereka, diciptakan sebuah lagu, Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Sekarang, ketika negeri ini sesuudah melewati era reformas menuju era pascareformasi, nasib mereka belum terangkat benar (atau belum terangkat semuanya). Kalaupun di desa sudah banyak guru yang meninggalkan sepeda bututnya lalu menggantinya dengan sepeda motor, harap maklum, itulah semangat “dwifungsi” yang mereka sandang: siang mengajar, malam menjadi pengojek sepeda motor. (Di era sekarang, kalau punya motor atau mobil, siang mengajar dan sore hingga malam mencari tambahan penghasilan lewat gojek,gocar dan sejenisnya).

Uniknya, kepada merekalah kita menyerahkan anak-anak negeri ini untuk menjadi pintar, bijaksana, cerdik, cendekia, dan sejenisnya. Lalu, kepada pak guru yang berbaju lusuh dengan bermuka kuyu itulah kita meminta pertanggungjawaban kenapa mutu pendidikan kita saat ini amburadul.

Dengan gaji yang tidak bisa mengejar kebutuhan hidup minimal, para guru tak bisa lagi meningkatkan wawasannya. Mereka jelas tak bisa membeli buku untuk menggandakan ilmunya agar bisa diberikan kepada murid-muridnya. Mereka hanya menggantungkan buku di perpustakaan sekolah, atau kalau ingin maju, mereka menunggu kesempatan untuk “disekolahkan lagi” oleh instansinya.
Tanpa fasilitas dari luar, sulit bagi seorang guru saat ini untuk menambah ilmu, kecuali barangkali bagi guru-guru di sekolah swasta, yang memang bernasib lebih mujur.

Karena itu, sebenarnya tak mengherankan jika mutu pendidikan di pedesaan, apalagi di daerah terpencil, merosot tajam.  Dan juga sangat tidak mengherankan  jika guru di perkotaan kalah pintar dengan muridnya sendiri Sang murid bisa menambah ilmunya di luar jam pelajaran resmi. Kursus dan bimbingan belajar menjamur di kota-kota. Sang murid, yang orang tuanya mampu, pun dengan mudah mengakses “pelajaran tambahan” lewat buku-buku, majalah, atau bahkan melalui media internet. Sekolah-sekolah swasta ataupun yang kini disebut sekolah favorit diserbu para orang tua murid karena di situ berkumpul guru yang memang layak “digugu” dan “ditiru”, bukan guru yang malam harinya menjadi pengojek…..tetapi perbaiki dulu nasib Oemar Bakri yang berdiri di depan kelas. Selain kebutuhan perutnya diselesaikan, otak sang guru ibarat baterai, yang perlu secara berkala di-charge. (TEMPO, 11 FEBRUARI 2001. HAL. 19)

Penulis Opini: “Sang Guru, yang Makin Merana” dan semakin tak berwibawa, menyoroti figur seorang guru dan profesi guru di negeri ini. Ia mengawali tulisannya dengan suatu pesimisme, dengan ungkapan: “Apa yang harus dikatakan lagi…” Penulis nampak sudah tidak berdaya untuk mengungkapkan sesuatu. Pernyataan tersebut menggambarkan suatu usaha yang berkali-kali tapi tidak membawa perubahan. Dan di sana dalam tulisan ini, ia menampilkan guru yang merana sebagai  manusia dan tidak berwibawa dalam profesinya.  Pengaruh dan kewibawaan guru kurang terangkat di hadapan murid, khususnya dalam pandangan ekonomis dan derajat sosial. Dalam kepintaran di bidang ilmu, guru semakin kalah pintar dengan muridnya sendiri.

Akar permasalahan yang dilihat penulis opini di atas adalah penghasilan guru yang sangat kecil. Gaji seorang guru tidak bisa mengejar kebutuhan hidup minimal (mencukupi makan sehari-hari), apalagi untuk menggandakan ilmunya, sebagai modal untuk mengajar. Meski harus diakui bahwa banyak guru yang tetap menemukan peluang untuk berbagai studi lanjut. Di balik gaji  yang kecil itu, guru mengemban tugas yang  besar untuk negeri ini: membuat anak negeri ini menjadi pintar, bijaksana, cerdik, cendekia dan sejenisnya. Bagi penulis, tugas tersebut tidak berimbang dengan gaji sang guru.  Untuk menambah penghasilan demi memenuhi kebutuhan  hidup minimal, guru harus memiliki semangat “dwifungsi”, dan untuk menggandakan pengetahuannya, guru hanya menggantungkan harapan pada buku perpustakaan di sekolah atau kesempatan di sekolahkan oleh instansinya. Berbeda dengan para murid, khususnya yang orang tuanya mampu, mereka punya berbagai jalan yang sudah tersedia dan dengan mudah diakses karena ada uang bila hendak menambah ilmu.

Menurut penulis, justru amburadulnya mutu pendidikan kita, kita mintai pertanggungjawaban para guru itu. Penulis melihat ini sebagai suatu lelucon. Karena nasib guru kita abaikan, lantas dari mereka dituntut tanggungjawab besar: pendidikan bangsa, pendidikan anak-anak negeri ini. Akhirnya penulis menunjuk suatu instansi yang semestinya lebih patut dimintai pertanggungjawaban sekaligus yang dapat mengangkat derajat sang guru dan kewibawaannya, ialah pemerintah (negara). Negara yang terus mengurus nasib guru, harus terus-menerus mengambil langkah untuk memperbaiki nasib guru dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini. Langkah konkret yang perlu ditempuh  dalam memperbaiki nasib Oemar Bakri (para guru), ialah dengan cara menjamin kesejahteraannya dan meningkatkan pengetahuannya, ibarat baterai yang perlu di-charge. Langkah ini tidak dilakukan oleh negeri ini di masa Orde Baru, pun sekarang ini  belum, di era reformasi.

Maka dari teks ini dapat ditunjuk dua hal utama, yakni: nasib guru di negeri ini sangat ditentukan oleh perhatian pemerintah. Kualitas atau mutu pendidikan di negeri ini sangat ditentukan oleh kesejahteraan hidup yang dialami para guru. Artinya bahwa pemenuhan tanggungjawab profesi sangat tergantung pada penjaminan kebutuhan hidup yang paling mendasar sebagai manusia.
Kutipan di atas sebenarnya memberikan gambaran tentang status sosial guru, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Saya yakin kita semua masih mengenal nyanyian indah dan mengharukan, Himne Guru, yang di dalamnya menampilkan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Meski jasa guru tetap diakui di mana-mana di seluruh dunia. Bahkan di kebudayaan Jepang, masyarakatnya sangat menghargai profesi guru. Jasa guru lebih tinggi daripada gunung yang tertinggi, lebih dalam daripada laut yang terdalam. Meski ungkapan seperti ini tidak disertai dengan penghargaan yang setara secara ekonomis demi meningkatkan kesejahteraannya, apalagi statusnya hanya guru hononer, yang standar penghargaannya relatif.
 
Konteks, Profil dan Profesi Guru di Abad 21
 
Untuk menemukan peranan strategis guru di masa depan, kita perlu mendapatkan gambaran  tentang masyarakat masa depan itu. Dari pandangan banyak pakar yang telah memprediksikan bentuk masyarakat 21, kita dapat merumuskan tiga ciri masyarakat milenium ketiga, seperti dicatat oleh H.Tilaar, dalam Kaleidoskop Pendidikan Nasional.
Pertama, masyarakat milenum ketiga ditandai era kemajuan teknologi luar biasa, yang menghantar kita sekarang telah tiba di era revolusi industri 4.0. perubahan yang telah mengubah cara berpikir dan visi mengenai kehidupan manusia. Banyak perusahaan mulai menjual produk barang dan jasa mereka secara online. Kemajuan teknologi berkembang pesat sehinga aneka aplikasi teknologi pun mulai mengubah bentuk cara hidup mausia. Jarak dan waktu menjadi sangat pendek. Dunia menjadi satu tanpa sekat-sekat yang membatasi aneka hubungan antar pribadi dan masyarakat. Efek disrupsi dan revolusi industri juga terasa dalam relasi hubungan sosial. Kehadiran smart phone sebagai salah satu inovasi di bidang teknologi informasi, misalnya telah merekonstruksi struktur hubungan personal. Salah satu yang direkonstruksi adalah ide “dekat”. Jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh.

Dalam konteks sosial masyarakat zaman ini akan terus berbicara mengenai masyarakat dunia bukan lagi masyarakat negara.

Kedua, konsekuensi dari perkembangan teknologi di atas membentuk masyarakat yang terbuka. Masyarakat yang terbuka tanpa sekat, dan komunikasi antar manusia menjadi hal yang tanpa jarak. Konsekuensi dari masyarakat yang terbuka itu adalah terjadi interaksi saling mempengaruhi antarpribadi dan masyarakat dengan berbagai karakteristik budayanya. Dan dialog antarpribadi dan budaya lalu menjadi suatu kebutuhan yang tak kalah pentingnya.

Meski harus  tetap diingat bahwa dalam suatu masyarakat yang terbuka, kemungkinan adanya dominasi yang berkuasa, baik secara ekonomi, sosial dan politik selalu terjadi. Hal itu berarti bahwa masyarakat terbuka kita membutuhkan manusia yang kreatif yang terus berupaya membangun diri dan hidupnya secara bermakna dan memberi sumbangan untuk meningkatkan taraf hidup dan mutu kemanusiaan  universal.

Ketiga, salah satu perwujudan masyarakat yang terbuka adalah kesetaraan, dimana setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama  untuk berprestasi. Masyarakat akan saling menghormati atas dasar  kemampuan individual untuk berkreasi dan memberikan sumbangan untuk membangun kehidupan bersama yang semakin bermutu. Jalan kunci untuk menghasilkan masyarakat seperti ini adalah pendidikan. Pendidikan menjadi jalan kunci karena ia menjadi sarana ampuh untuk menghasilkan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang dapat hidup bersama dalam masyarakat yang terbuka itulah buah hasil dari pendidikan.

Konteks masyarakat yang digambarkan di atas jelas membutuhkan profil dam profesi guru yang khusus. H. Tilaars memperkenalkan profil profesi guru dengan 3 karakter mendasar.
Pertama, kepribadian yang matang dan berkembang. Guru adalah bagian dari profesi luhur. Sebagai profesi luhur, guru menerima tanggungjawab membantu dan membimbing perkembangan manusia dalam hal ini peserta didik. Dari pemahaman tentang profesi dan ciri-cirinya, guru termasuk dalam profesi, bahkan dalam profesi luhur. Menurut Kunandar (2007:46) profesi guru adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan  dalam suatu jabatan tertentu yang menysaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang itensif (pendidikan guru).

Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang menysaratkan kompetensi dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.

Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk  melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial maupun akademis. Dengan kata lain, pengertian guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar, 2007:46-47).

Dengan demikian seorang guru dituntut memiliki kepribadian yang matang dan utuh dengan kekhasan kepribadiannya yang memungkinkan dia dapat menjalankan tugas membimbing peserta didik  menuju ke arah pertumbuhan dan kedewasaan. Setiap anak yang lahir dianugerahi the inner power, potensi-potensi bawaan yang menjadi modal untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Guru bertugas memberdayakan aneka potensi manusia itu agar berkembang demi mencapai tujuan hidupnya. Manusia memang dikaruniai aneka bakat dan kemampuan rohanidan jasmani, yang sudah pasti berbeda-beda. Meskipun demikian tuntutan mutlak bagi profesi dan profil seorang guru adalah memiliki kepribadian yang utuh dan visi yang jelas. Tuntutan kepribadian  tidak saja bagi profesi guru tetapi semua profesi.

Kedua, profil profesi guru membutuhkan guru yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini mutlak karena suatu profesi selalu mengandaikan  keahlian, baik secara konsep maupun teknis. Ilmu pengetahuan kian berkembang sehingga guru pun harus  terus belajar agar menguasai ilmu dan teknologi. Tanpa penguasaan ilmu dan teknologi tuntutan profesional bagi seorang guru sulit dipenuhi. Dengan kata lain, seorang guru yang profesional adalah pertama-tama sebagai ilmuwan, yang dibekali sejumlah ilmu dan kompetensi untuk dapat menjadi guru. Meski harus diakui bahwa  syarat ini pun selalu membutuhkan unsur yang lain.

Ketiga, menguasai kemampuan membangkitkan minat peserta didik. Menguasai ilmu dan teknologi seperti yang dijelaskan di atas  merupakan syarat mutlak bagi profesi guru yang profesional. Namun tuntutan ini tidaklah cukup karena baru memenuhi syarat yang melekat pada dirinya. Tugas pokok guru adalah mentransfer, membagikan ilmu pengetahuan ini sambil membangkitkan minat peserta didik untuk menerima, mempelajari dan mengolahnya agar menjadi kekayaan hidupnya sendiri. Dengan demikian penguasaan ilmu dan teknologi mutlak membutuhkan ilmu lain yakni metodologi. Justru inilah kemampuan khas yang membedakan  profesi guru dengan pekerjaan lain bahkan profesi lain. Jadi dua syarat ini saling berkaitan, namun syarat pertama membutuhkan yang lain dan yang kedua mengandaikan yang pertama. Seorang guru dituntut untuk terus belajar menguasai aneka metode dan strategi pembelajaran yang selalu disesuikan dengan kondisi konkret siswa dan lingkungan belajarnya. Ia pun dituntut untuk mampu membangkitkan minat peserta didik untuk belajar menerima kekayaan ini, mengolahnya agar menjadi perbedaharaannya sendiri.

Keempat, profesi guru selalu bersifat berkelanjutan. Sebagai suatu profesi, sudahlah pasti ada syarat-syarat formal bagi profesi guru. Secara formal, untuk menjadi profesional, guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik. Namun pengembangan profesi guru tetap menjadi tuntutan berkelanjutan guna menghasilkan guru-guru tetap memiliki bobot penguasaan kompetensi dan yang senantiasa menjalankan tugas profesinya dengan komitmen yang sungguh.

Proses pendidikan adalah dialog antara  guru dan peserta didik yang keduanya terus berkembang. Oleh karena itu, profesi guru haruslah merupakan profesi yang berkesinambungan. Karena ilmu dan pengetahuan terus bekembang, peserta didiknya pun terus berkembang, tuntutan dan kompeleksitas permasalahan pun terus berkembang maka guru harus terus mengembangkan diri. Aspek pembinaan profesi guru ini tidak saja menjadi LPTK tetapi juga dalam praktik pendidikan. Guru yang sudah bekerja harus menerima kesempatan setara bahkan menemukan sendiri peluang untuk mengembangkan diri dan profesinya.
 
Penghargaan Masyarakat Terhadap Profesi Guru
 
“Terpujilah wahai engkau Ibu bapa guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku, sebagai prasasti terima kasihku ‘tuk pengabdianmu. Engkau laksana pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”, inilah deretan syair dalam lagu Himne Guru itu.

Sebait lagu ini kalau saja dinyanyikan dengan penuh perasaan, terasa tenang, mendayu, serta mengalun penuh hikmat, bisa saja menggugurkan air mata dari para penyandang profesi guru. Guru sebagai sebuah profesi yang sering masih dilirik sebelah mata. Tak jelas, mengapa. Yang pasti semua orang tahu, bahwa lewat tangan para guru, negeri ini dibangun atau setidak-tidaknya diletakkan dasar bangunannya oleh guru.
Suatu profesi akan hidup dan berkembang apabila profesi itu dihargai oleh masyarakat yang menjadi konteksnya.

Penghargaan terhadap profesi itu bukan saja diwujudkan melalui perhatian dan peningkatan kesejaheraan demi nasib hidup para anggotanya melainkan juga ditunjukkan minat dan keinginan masyarakat untuk memilih memasuki profesi tersebut. Demikian juga dengan profesi guru. Profesi dan nasib para guru tidak saja ditunjukkan dengan peningkatan terus-menerus terhadap nasib dan kesejahteraan para guru tetapi juga minat dan perhatian masyarakat untuk memilih profesi guru. Kita mengakui bahwa  pilihan masyarakat terhadap suatu profesi unggulan, antara lain karena profesi tersebut diakui sulit dengan tingkat kesulitan kerja yang tinggi dan proses memasukinya pun dengan seleksi ketat.

Bagaimana dengan pilihan untuk menjadi guru? Pilihan menjadi guru pasti tidak sebanding dengan minat dan perhatian untuk memilih profesi lain yang lebih menjanjikan. Bagaimanapun juga kita harus mengakui bahwa nasib para guru sekarang sudah lebih baik, dibandingkan dengan periode sebelumnya, meski belum sebanding dengan penghargaan yang sama terhadap profesi serupa di negara  lain. Minat untuk menjadi guru pun belum menjadi pilihan pertama dan terutama.

Perubahan telah menggeser profesi guru menjadi alternatif kedua dari pilihan seorang anak apabila ditanya tentang cita-citanya. Syukur, di sekolah-sekolah masih sedikit dijumpai ada anak yang mau kuliah untuk belajar menjadi guru. Karena sering nasib guru dalam pandangan mereka seperti nasib Umar Bakri dalam nyanyian Iwan Fals. Kalau hal ini benar, maka kita harus jujur bahwa masyarakat dan bangsa kita rela dikembangkan oleh profesi kelas dua dan seterusnya. Atau kalau dasar bangunan kita mau diletakkan, diletakkan oleh para pelaksana profesi kelas dua dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah penghargaan terhadap profesi guru menyusut dalam masyarakat kita dewasa ini?

Memang harus diakui bahwa  ada perbedaan antara  guru dulu dan guru sekarang, antara guru dalam masyarakat tradisional dan guru dalam dunia modern. Dalam masyarakat tradisional, guru dianggap sebagai tokoh masyarakat dengan pengaruh yang tinggi. Ia sering dianggap mempunyai  setumpuk kebijaksanaan hidup, tempat berkonsultasi untuk mencari jalan dan memecahkan persoalan. Sekarang berkat modernisasi yang menuntut spesialisasi dalam berbagai bidang kehidupan, peranan sosial seperti disebutkan di atas diserahkan ke profesi lain yang lebih kompeten. Meski lakonnya sering dibatasi di ruang kelas, tetapi tidak menyusutkan aneka peranan tanggungjawab lain, meski minat orang muda untuk masuk tidak signifikan, dan nasib mereka yang sudah mengabdi tidak semuanya menggembirakan. Ada berbagai kisah pilu tentang profesi ini.

Untuk memutuskan rantai ini, pemerintah dan masyarakat kita harus terus memberikan perhatian pada nasib guru, termasuk kesejahteraan dan peluang untuk pengembangan profesinya. Syukurlah bahwa melalui program sertifikasi guru, nasib para guru mulai mendapatkan perbaikan, meski harus diakui juga makna sertifikasi guru kian bergeser. Tujuan dari sertifikasi guru sebenarnya adalah memberikan penghargaan terhadap para guru yang telah mengabdi secara profesional.  Sertifikasi menjadi konsekuensi bagi profesionalisme dan sebaliknya profesionalisme menjadi syarat untuk menerima tunjangan profesi. Namun kenyataan membuktikan bahwa peningkatan kesejahteraan tetap menjadi target utama, peningkatan kompetensi dan pelaksanaan tugas secara profesional sering membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Di samping itu, perhatian untuk peningkatan kompetensi guru tetap mendapatkan porsinya. Merdeka belajar, guru penggerak dan banyak program lain, adalah program rintisan yang memberikan ruang cukup bagi kreativitas guru untuk mengembangkan kompetensi dan meningkatkan profesionalismenya.  

Semoga semakin banyak guru mendapatkan dan memanfaatkan peluangan pengembangan diri ini. Hal ini menjadi penting, karena tantangan profesi ini di masa kini dan di masa depan tidaklah kecil.
 
Tantangan Profesi Guru abad 21
 
Bagaimanapun juga nasib guru untuk sebagian besarnya sudah mulai membaik, setidaknya dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pemeritah terus berupaya mendorong dan memberi perhatian pada peningkatan profesi guru. Karena itu dengan berjalannya waktu, seiring dengan perkembangan zaman, dan dengan perhatian besar pemerintah terhadap guru tadi maka tantangannya semakin besar ke depannya. Guru merupakan suatu profesi yang sudah diakui oleh dunia. Karena merupakan suatu profesi, berarti guru itu juga harus profesional.

Sesuai dengan Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permen nomor 17 tahun 2007 tentang kualifikasi dan standar kompetensi guru menyebutkan bahwa syarat-syarat guru profesional adalah memiliki kompetensi. Mulai dari kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.

Sekarang ini kita memasuki abad 21. Masa teknologi berkembang dengan pesat, dan juga bertepatan dengan revolusi industri 4.0. Artinya kehidupan manusia pada masa ini mengalami perubahan-perubahan fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Abad yang meminta kualitas dalam usaha dan hasil kerja manusia.

Guru profesional abad 21 mampu menjadi pembelajar sepanjang karir untuk peningkatan keefektifan proses pembelajaran siswa seiring dengan perkembangan lingkungan, mampu bekerja dengan, belajar dari, dan mengajar rekan sejawat sebagai upaya menghadapi berbagai tantangan yang ada di dunia pendidikan.

Terdapat tujuh tantangan guru di abad 21, yaitu : Pertama, teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya dengan kompetensi multi bahasa. Kedua, teaching for the construction of meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna (konsep). Ketiga, teaching for active learning, mengajar untuk pembelajaran aktif. Keempat, teaching and technology, mengajar dan teknologi. Kelima, teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai kemampuan. Keenam, teaching and choice, mengajar dan pilihan, dan ketujuh, teaching and accountability, mengajar dan akuntabilitas.

Mewujudkan SDM Indonesia unggul, seperti yang menjadi visi pemeritahan kita, maka seorang guru di samping harus profesional yang mempunyai kompetensi pedagogik, kompetensi akademik, kompetenasi sosial, dan kompetensi kepribadian, guru harus bisa membantu para muridnya untuk membangun sikap adaptif, menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di zaman yang dihadapi. Konsekuensinya, guru harus menguasai sejumlah kecakapan abad 21.

Seiring dengan pergeseran paradigma pembelajaran, dari yang berpusat pada guru kepada yang beroritasi dan berpusat pada siswa, maka fungsi guru adalah mengembangkan pembelajaran  yang menumbuhkan potensi individu agar dapat berpikir kritis dan kreatif. Berpikir kritis menurut Robert Bala adalah memampukan individu untuk peka terhadap permasalahan yang dihadapi dan membangun sikap kritis terhadap berbagai konsekuensi yang bakal terjadi.
Di samping itu, kompetensi yang dituntut dari generasi abad 21 adalah kemampuan berfikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Karena itu ada tiga komponen utama mendasar untuk mewujudkan agar siswa memiliki kecakapan atau ketrampilan abad 21, maka guru harus memiliki ;

Pertama, soal karakter, yang terdiri dari karakter moralitas (iman, takwa, jujur, amanah, sopan santun,rendah hati dll) dan karakter kinerja (kerja keras, ulet, tangguh, tanggung jawab, disiplin, gigih, taidak mudah menyerah, tuntas, dll). Dengan karakter moralitas seorang guru akan menjadi role model sekaligus menjadi teladan bagi semua peserta didiknya. Sedang dengan karakter kinerja akan menunjang setiap aktivitas dan kegiatan yang dilakukannya, baik ketika pembelajaran di kelas maupun di luar.

Kedua, soal kompetensi, yaitu sikap kritis, kreatif, inovatif, kolaboratif dan komunikatif. Dengan kompetensi tersebut, agar guru mampu menghantarkan dan mendorong para peserta didik untuk menjadi generasi yang siap menghadapi tantangan perubahan zaman.

Ketiga, soal literasi, guru harus melek dalam berbagai bidang. Setidaknya mampu menguasai literasi dasar seperti literasi finansial, literasi digital, literasi sains, literasi kewarnegaraan dan kebudayaan.
 
Penekanan Kembali

Mengingat  pengaruh transformasi digital yang luar biasa pada dunia dan pasar kerja, dunia usaha dan industri kita membutuhkan  sejumlah soft skill antara lain kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, kreativitas, manajemen SDM, kemampuan berkoordinasi, kemampuan emosial, kemampuan mengambil keputusan, orientasi pada pelayanan dan negosiasi, srta cognitive flexibility, maka ada sejumlah kata kunci ketrampilan di abad 21 (21st-Century Skills), yang harus dikuasai guru dan dikembangkan pada peserta didik. a) Literasi dasar: literasi membaca literasi matematika, literasi sains, literasi TIK, literasi keuangan, literasi budaya warga negara, dalam hal ini peran pendidikan  sangat penting terutama dalam membentuk bahasa dan budaya (Mudji Sutrisno, Ide Pencerahan: 80) b)Kompetensi: berpikir kritis dan problem solving, kreativitas, komunikasi dan kolaborasi, c) karakter: keingintahuan, inisiatif, ketabahan, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, kesadaran sosial dan budaya.  Aneka ketrampilan tersebut memang didominasi oleh literasi dasar, kompetensi dan karakter, meski tidak ada pengetahuan teknis terindentifikasi.  

Singkatnya, guru ditantang untuk terus menerus belajar memperkaya diri dan mengembangkannya sebagai bagian dari dirinya dan pada gilirannya agar siap dibagikan kepada lingkungan belajarnya. Karena memang, tak seorangpun dapat memberi kalau ia tidak punya, seperti kata pepatah bahasa Latin. Nemo dat quot non habet.
 
Tanggapan dalam kerangka Filsafat Kristiani

Dari perspektif filsafat kristiani, khususnya filsafat Thomas Aquino, kita dapat menanggapi permasalahan ini dari beberapa segi, yaitu: 1) Tujuan hidup manusia pribadi; manusia dalam hidupnya punya tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidupnya dengan berada secara baik. Tujuan ini akan tercapai bila manusia dapat mengaktualisasikan dirinya, segala kemampuannya, sebagai manusia. Tujuan kebahagiaan, hanya dapat dicapai dengan pemenuhan antara lain kebutuhan hidup minimal bagi manusia, sehingga ia dapat menghayati hidupnya dalam kebaikan dan keutamaan. Jika kebutuhan dasarnya sebagai manusia tidak terpenuhi, maka akan sulit bagi manusia untuk berkembang lebih jauh, karena ia hanya akan disibukkan oleh usaha memenuhi kebutuhan dasarnya. Pemenuhan kebutuhan dasar ini akan ditunjang dengan hidup bersama entah dalam keluarga, atau kesatuan social yang lebih luas. Negara sebagai kesatuan sosial yang paling luas,  punya tanggungjawab untuk mendukung semua warganya untuk hidup baik dan mencapai kebahagiaan.

Jika negara tidak melakukan hal ini, maka negara bertindak tidak adil dan tidak melaksanakan fungsinya atau tujuan keberadaannya. Maka di sini suatu faham keadilan yang sederhana harus mencukupi. Adil pada hakekatnya berarti  kita memberikan kepada siapa saja  apa yang menjadi haknya. Dan karena pada hakekatnya semua manusia sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah  perlakuan yang sama terhadap semua orang (Franz Magnis  Suseno, Etika Dasar: 132; bdk juga hal. 131). Oleh karena itu, pertanggungjawaban dan perhatian lebih masyarakat dan negara mesti dituntut ketika nasib, kompetensi guru yang jauh dari harapan. Apalagi kalau kita mendengar berbagai kisah pilu para guru meski telah mengabdi sekian lama.

Karena dalam kasus guru ini, kita bukannya tidak sanggup memenuhi kebutuhan para guru, melainkan karena kita kurang menaruh penghargaan dan perhatian yang seperlunya bagi profesi ini. Apalagi mengingat betapa penting dan besarnya tanggungjawab yang mereka emban untuk negeri ini, dan tanggungjawab itu sudah dijalankan, walaupun belum maksimal, justru karena mereka masih harus berjuang untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia untuk hidup. Jika kita sudah memberikan jaminan kesejahteraaan yang cukup kepada guru, maka masyarakat berhak menuntut suatu tanggungjawab yang besar kepada mereka. Kondisi yang terjadi pada guru lebih merupakan akibat ketidakadilan struktural-kelembagaan yang mengesampingkan profesi guru dalam kebijakan pemerintah. Kalau profesi guru punya tanggungjawab yang begitu besar kepada kebaikan hidup bersama, maka semestinya mereka diberi jaminan hidup yang mendukung pelaksanaan tanggungjawab itu secara maksimal.

Tuntutan ini perlu dan mutlak karena menjadi syarat bagi pelaksanaan tanggungjawab itu secara memadai.

2) Tujuan dan tugas negara; negara ada sebagai fasilitator bagi realisasi penuh kemampuan manusiawi, bonum vivere dari masyarakat, lebih dari sekedar  kepentingan partikular masing-masing individu. Kebaikan umum adalah kebaikan suatu komunitas manusia. Jika guru memiliki tanggungjawab besar bagi pengembangan kebaikan umum ini, maka mereka juga perlu menerima bagian dalam kebaikan umum itu. Dalam keadaan itu, mereka mengalami keadilan. Justru karena kelalaian mereka seluruh masyarakat juga mengalami dampak: mutu pendidikan di negeri ini merosot.

3) Tanggungjawab warga negara pada kepentingan bersama;  
Manusia adalah makhluk sosial (animal sociale). Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhannya secara individual. Untuk hidup secara baik (bene vivere), artinya secara memuaskan, berbudaya dan beradab manusia memerlukan manusia lain dalam berbagai tingkatan kelembagaan. Negara adalah  lembaga kesosialan manusia  paling luas yang berfungsi untuk menjamin agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang melampaui kemampuan lingkungan-lingkungan sosial lebih kecil seperti keluarga atau desa dan kota.

Maka negara terikat pada tujuan manusia: 1). Hidup dalam arti, asal tidak mati (vivere). 2) Hidup dengan baik (bene vivere), artinya sesuai dengan kekayaan kebutuhan manusia yang telah berkembang. 3) Kebahagiaan abadi (beate vivere), manusia memandang Allah. Negara adalah penting tapi bukan yang terpenting. Manusia adalah lebih penting, karena ia akan lestari di akherat, sedangkan negara tidak. Manusia adalah  seorang pribadi yang bernilai. Dia adalah ciptaan Tuhan yang berharga, yang tak dapat direndahkan martabat hidupnya (Paul Suparno, dkk, Reformasi Pendidikan: 12). Seluruh manusia diarahkan kepada Allah. Maka tujuan negara adalah menunjang usaha manusia dalam mencapai tujuannya. Negara memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia agar ia dapat hidup sebahagia mungkin di dunia ini, menurut kekayaan kebutuhannya  sebagai makhluk sosial (bene vivere). Dan negara harus menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia dapat mengusahakan kebahagiaan abadi (beate vivere).

Negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan diabdikan pada kepentingan anggota masyarakat. Secara konkret, negara memiliki tiga tugas pokok: 1)  negara menciptakan perdamaian, yang dicapai melalui keadilan: semua pihak diperlakukan dengan adil.  Jadi tugas pertama negara adalah menciptakan dan menjamin keadilan (S. Th. II II qu. 29 obi. 3, dan ad 3). 2) Negara harus menciptakan keadaan yang memungkinkan masing-masing orang dan anggota masyarakat dapat hidup sesuai dengan hukum kodrat dan dengan demikian sesuai dengan tuntutan agar kelak mencapasi kebahagiaan abadi. 3) Negara harus mengusahakan sarana-sarana material yang dibutuhkan agar dua tugas pertama dapat terlaksana dan  masyarakat dapat hidup dengan baik.
Untuk mencapai tujuannya, manusia perlu hidup sesuai dengan kodratnya, artinya hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan atau sesuai dengan martabat manusia.

Guru, memiliki tugas besar dan berat. Tugas itu diembannya sebagai warga negara, anggota kesatuan sosial. Untuk melaksanakan tugas itu,  Guru perlu diberi kekuatan internal. Hal ini dalam perspektif fisafat kristiani, menunjuk pada kualitas pribadi yang bersangkutan. Artinya kita tidak dapat menuntut tanggungjawab kepada seseorang yang tidak memiliki kesanggupan dalam dirinya maupun dalam profesinya terhadap hal itu. Kita dapat menuntut pertanggungjawaban pendidikan kepada seorang guru dalam pelaksanaan pendidikan itu tepat, karena sesuai profesinya, tapi dalam profesinya itu, ternyata ia tidak memiliki kesanggupan yang dibutuhkan untuk pengembangan tanggungjawab itu, sebagai manusia, ia tidak punya apa-apa untuk diberikan. Kita dapat meminta seseorang untuk berbuat kebaikan dan bahagia dengan itu, jika ia sendiri sanggup untuk melakukannya, terlatih dan dari dalam dirinya ada kualitas kebaikan yang sesungguhnya.

Kebaikan perlu berpijak pada orang yang real dan menyatu dengan pribadi. Bukan sekedar tugas dan norma yang perlu ditaati. Di sinilah kekuatan etika keutamaan yang diletakkan Oleh Th Aquinas. Pribadi yang memiliki harga diri dan kecintaan pada kebaikan dan tanggungjawab pada kebaikan itulah yang perlu dibangun. Dalam hidup sehari-hari, tanggungjawab ada stratanya, orang pertama-tama perlu bertanggungjawab untuk hal-hal yang paling mendasar/fundamental dalam hidup manusia, barulah sesudah itu bertanggungjawab untuk hal-hal pengembangan hidup itu sendiri. Dalam konteks ini, guru yang real digambarkan, memiliki tanggungjawab sesuai profesinya sebagai pengajar. Ini disebut tanggungjawab profesional, yang diberikan berdasarkan status sosial dan kewarganegaraan. Ini tanggungjawab yang diberikan oleh institusi/negara kepada warganya.

Guru adalah suatu jabatan fungsional. Namun sebelum ia mengemban tanggungjawab itu, ia perlu mengemban tanggungjawab yang lebih mendasar lagi yakni pemeliharaan kehidupannya sendiri sebagai manusia. Tangguhngjawab ini berasal dari Tuhan sendiri sebagai Pencipta. Negara mengemban tanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan para warganya, apalagi mereka yang mengemban tugas untuk pengembangan kebaikan bersama (bonum commune). Dengan demikian negara harus terus menerus berupaya memberikan perhatian pada kesejahteraan dan peningkatan profesi guru, tetapi guru itu sendiri harus terus menerus belajar dan menemukan kesempatan belajar untuk mengembangkan profesinya. ***
 
Bahan Bacaan:
Kunandar, 2007, Guru Profesional, Implementasi KTSP, Jakarta, Rajawali Press
Franz Magnis Suseno, 1987: Etika Dasar, Yogyakarta, Kanisius.
Mudji Sutrisno, 2004, Ide-ide Pencerahan, Jakarta, Obor.
Syaiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung, Alfabeta
Sudarwan Danim, 2010, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, Bandung, Alfabeta
Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius.
Norman M. Goble, 1983, Perubahan Peran Guru, Jakarta, Gunung Agung
Robert Bapa, 2018, Creative  Teaching, Jakarta, Grassindo
H.A.R. Tilaar, 2012, Kalaeideskop Pendidikan Nasional, Jakarta, Kompas
Fransiskus Sili, 2011, Hubungan Pengembangan Profesi, Motivasi Kerja dengan Kinerja Guru di Lingkungan Yayasan Frater Don Bosco Manado, Universitas Negeri Manado (Tesis)

Komentar Anda?

Related posts