Penampakan Kristus Memperteguh Iman Umat Berbudaya (oleh Pendeta Boy Nggaluama)

  • Whatsapp

Refleksi Minggu, 18 Mei 2025 (Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)

Bacaan : Yohanes 21:1-14

Nats pembimbing : Mazmur 34:18

Shalom, di minggu ketiga bulan budaya GMIT, kita akan memaknai Firman Tuhan dalam ibadah kita saat ini dengan tema “Penampakan Kristus memperteguh iman umat berbudayamelalui Kisah Yesus menapakkan diri kepada murid-murid di Pantai danau Tiberias. Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa hal penting dari bacaan ini disesuaikan dengan tema dan perayaan bulan budaya saat ini:

Setelah kebangkitan-Nya, Yesus tidak langsung meninggalkan murid-murid-Nya dan naik ke surga. Ia justru beberapa kali menampakkan diri kepada mereka.

Salah satu peristiwa penting itu tercatat dalam Yohanes 21:1-14, di mana Yesus menampakkan diri di tepi danau Tiberias. Dalam suasana keputusasaan dan kebingungan, para murid kembali ke aktivitas lama mereka—menjala ikan.

Namun malam itu mereka tidak menangkap apa-apa. Ketika fajar menyingsing, Yesus hadir, membimbing, dan memberkati mereka, meski mereka belum mengenali-Nya.

Peristiwa ini bukan hanya kisah tentang mujizat penangkapan ikan yang melimpah, tetapi juga tentang kehadiran Kristus yang menguatkan kembali iman para murid yang sedang rapuh.Renungan ini mengajak kita melihat bagaimana penampakan Kristus memperteguh iman orang percaya, termasuk kita yang hidup di tengah budaya dan tradisi lokal yang khas. Bagaimana kehadiran Kristus memberi arah dan pengharapan bagi umat yang hidup dalam konteks budaya tertentu? Mari kita renungkan bersama.

1. Mengapa murid-murid kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan  

(ayat 1-3)

Perlu kita perhatikan bahwa dalam Injil Matius 28:7 dan 10, Yesus secara jelas menyampaikan pesan melalui malaikat kepada para perempuan yang datang ke kubur: “Pergilah segera dan katakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia.” Jadi, Yesus sendiri yang menyuruh para murid untuk kembali ke Galilea, tempat asal mereka dan tempat awal mereka dipanggil menjadi penjala manusia (lih.Markus 1:16-20). Ini bukan tindakan pembangkangan, tetapi ketaatan pada arahan Yesus. Namun ketika mereka kembali ke Galilea, muncul ketegangan emosional dan spiritual. Mereka sudah ada di tempat yang benar—tetapi belum tahu harus berbuat apa. Dalam masa penantian itulah, mereka kembali kepada pekerjaan lama mereka: menangkap ikan.

Ungkapan Petrus “aku pergi menangkap ikan” mengindikasikan perasaan yang tak tentu arah dan tidak tahu mau berbuat apa (sepertinya muncul keraguan dan ketidak percayaan). Tomas, Natanael 2 anak Zebedeus dan 2 murid yang lain akhirnya mengikut Petrus melaut.

Raymond E. Brown (dalam The Gospel According to John, Anchor Bible) Brown menafsirkan bahwapergi menangkap ikan bukanlah tindakan yang berdosa, tetapi mengandungnuansa ketidakpastian misi. Meskipun mereka telah taat untuk kembali ke Galilea sesuai perintah Yesus (Mat. 28:7,10), tidak ada instruksi rinci tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Oleh karena itu, mereka melakukan apa yang mereka tahu dan bisa: kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai nelayan. Brown menyebut ini sebagai “situasi pasca-traumatik”—mereka mengalami kebangkitan Yesus, tetapi belum memiliki pemahaman penuh tentang makna dan arah pelayanan baru. Ini adalah bentuk penantian yang aktif tetapi keliru arahnya.

 

John Calvin (dalam Commentaries on the Gospel of John)Calvin secara unik menekankan aspekketaatan dan kebimbangan yang berjalan bersamaan. Ia menulis bahwa meskipun para murid kembali ke Galilea sebagai bentukketaatan terhadap perintah Yesus, tindakan mereka menangkap ikan menunjukkan kelemahan iman mereka.Calvin berpendapat bahwa: “Mereka seharusnya lebih dahulu menunggu perintah baru, bukan langsung kembali pada carahidup lama mereka.”

Dalam budaya kita, menunggu adalah pekerjaan yang paling berat dan membosankan, entah menunggu hujan turun di musim kemarau, menunggu hasil panen, menunggu jawaban lamaran kerja, menunggu isteri belanja, atau menunggu pemenuhan janji dari pemimpin, dari anggota dewan, dari gereja, bahkan dari Tuhan sendiri. Menunggu tanpa arah dan kejelasan bisa menjadi penderitaan tersendiri. Seperti para murid, kita bisa berada di tempat yang benar (Galilea), tetapi karena tidak sabar atau tidak tahu harus berbuat apa, kita kembali ke “cara lama” atau “kebiasaan lama”kita. Ini adalah gambaran umat beriman yang sedang menunggu jawaban Tuhan, tapi karena jawaban itu tak kunjung datang, mereka kembali kepada yang lama, bukan karena memberontak, tapi karena lelah menanti.

Satu ketika ada seorang ibu di sebuah desa saakit. Ia sudah didoakan oleh para penatua gereja, rajin beribadah, bahkan berpuasa. Tapi tahun berganti tahun, kesembuhannya tak kunjung datang. Suatu hari, seorang tetangganya berkata, “Mungkin ini bukan soal medis atau iman, tapi ada orang tua yang marah ko jadi beban atau jang sampe orang bikin.” Jadi lebe bae cari orang pintar sa.

Karena lelah menunggu dan merasa doanya tak dijawab, ibu iniakhirnya pergi ke seorang dukun. Ia mulai beberapa ritual, ada ramuan yang harus direndam malam hari dan diminum sebelum matahari terbit, dan benda yang harus diletakkan di bawah bantal. Ibu ini bukan tidak percaya kepada Tuhan, tapi karena keputusasaan dan tekanan (mau ko cepat sembuh), ia merasa bahwa Tuhan sudah terlalu lama diam. Maka ia memilih jalan yang lebih cepat—meski itu justru menjauhkannya dari Kebenaran. Ia kehilangan arah iman dan menggunakan kebiasaan yang tidak sesuai dengan kebenaran iman.

Apakah semua yang dilakukan murid-murid ini berhasil?Ternyata tidak! “Tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa” ayat 3b. Padahal mereka adalah seorang nelayan, tentu mereka sudah terbiasa melaut dan harusnya mereka mendapatkan ikan. Secara manusia, mereka seharusnya berhasil. Para murid, terutama Petrus, Yohanes, dan Yakobus, adalah nelayan berpengalaman. Sebelum mengikut Yesus, profesi utama mereka adalah mencari ikan di Danau Galilea (lihat Markus 1:16-20). Jadi mereka tahu:

• Kapan waktu terbaik menangkap ikan (yaitu malam hari),

• Tempat-tempat strategis di danau,

• Teknik dan keahlian menangkap ikan.

Namun, meskipun semua kondisi “manusiawi” mendukung, hasilnya adalah nol besar. Inilah ironi rohani yang sangat kuat: Keahlian, pengalaman, dan usaha keras manusia tidak menjamin keberhasilan jika dilakukan tanpa penyertaan Tuhan.  Seperti dikatakan oleh John Calvin, para murid seharusnya menunggu arahan lebih lanjut dari Yesus, bukan kembali mengambil inisiatif sendiri. Yesus memang menyuruh mereka ke Galilea (Matius 28:7,10), tetapi tidak menyuruh mereka untuk kembali menjala ikan. Mereka “bergerak” tapi tidak dalam tuntunan Tuhan.

Dari peristiwa ini, kita bisa berkesimpulan bahwa: Tuhan ingin menunjukkan bahwa tanpa Dia, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Yesus pernah berkata: “Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Malam kosong itu menjadi pengajaran praktis dan konkret dari perkataan Yesus. Bahkan keterampilan terbaik sekalipun tidak akan berbuah jika Tuhan tidak memberkati.Keberhasilan sejati bukan berasal dari usaha manusia, tetapi dari kehadiran dan kehendak-Nya.

 

Di zaman ini, terutama di kalangan umat Kristen—budaya kerja sering kali berubah menjadi budaya kelelahan. Orang bangun pagi-pagi sekali, berjuang mencari uang, tapi mengorbankan waktu doa, ibadah, bahkan relasi dengan keluarga. Di beberapa konteks, orang lebih takut kehilangan pekerjaan daripada kehilangan persekutuan dengan Tuhan. Kerja waktu banyak, tapi ibadah semua alasan sibuk, capek kerja akhirnya malas gereja dan ibadah (maaf tapi kebanyakan bapak-bapak begitu). Mereka merasa kerja keras = jaminan sukses, tetapi melupakan bahwa kerja keras tanpa penyertaan Tuhan = jala kosong/iman kosong akhirnya kuah kosong.

Dalam Mazmur 127:1-2 dikatakan:“Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; Jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” Dan dilanjutkan: “Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi, dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”Artinya: Tuhan bukan menolak kerja keras, tapi menolak kerja keras yang mengabaikan Dia.

Dalam banyak kasus, kita terlalu sibuk dengan ladang dan laut, dengan toko,kios, kantor, proyek, ternak, atau teknologi, dll, sehingga tidak lagi hadir di rumah Tuhan, bahkan tidak punya waktu untuk doa pribadi dan membaca Firman. Ini seperti para murid yang kembali ke laut, ke kehidupan lama yang mereka rasa “aman” dan “produktif,” padahal Tuhan sedang menunggu mereka di pantai untuk sesuatu yang lebih besar. Kesibukan bisa menjadi pelarian dari penantian iman yang justru akan membuat kita kehilangan arah, salah jalan dan “buntu” iman.

2. Yesus hadir untuk meneguhkan iman para murid (ayat 4-14)

Yesus tidak menegur murid-murid karena kembali menangkap ikan. Sebaliknya, Ia datang menghampiri mereka di saat kegagalan mereka. Perhatikan:

• Ia berdiri di pantai, tetapi mereka tidak mengenali-Nya(ay. 4).

• Ia berbicara dengan kasih: “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?”

• Lalu memberi petunjuk ajaib: “Tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu.”

Kehadiran Yesus ini mengajarkan kita 3 hal:

1) Kehadiran Yesus di tengah kegagalan bukan untuk menghakimi, tetapi untuk meneguhkan, mengarahkan kembali, dan menuntun kita kepada jalan yang benar.

2) Kita semua pasti pernah mengalami “malam yang kosong”:saat-saat gagal, kehilangan arah, doa yang terasa tak terjawab, pekerjaan yang stagnan, hubungan yang retak.Yesus tidak menampakkan diri saat kita berhasil, tetapi justru saat kita lelah, kecewa, dan mungkin ingin menyerah. Ini menunjukkan bahwa kehadiran Yesus tidak tergantung pada keberhasilan kita, tapi pada kasih dan perhatian-Nya yang setia.

3) Yesus mengenal pergumulan kita lebih dari siapa pun. Iatahu kelelahan batin, kebimbangan iman, dan kecenderungan kita untuk kembali pada kebiasaan lama. Tetapi Ia memanggil kita dengan kasih, bukan penghakiman. Kata “anak-anak” (Yunani: paidia) adalah sapaan kasih, bukan hardikan. Saat kita merasa gagal, jangan langsung menyimpulkan bahwa Tuhan tidak peduli. Justru saat itulah Ia paling dekat, diam-diam berdiri di “pantai” kehidupan kita.

Selanjutnya, Yesus memberi perintah:“Tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu.” (Yoh. 21:6). Perintah ini terdengar sederhana tetapi tidak mudah dilakukan para murid, mengapa? Karena mereka sudah bekerja keras sepanjang malam, pasti mereka sudah capek, lapar, dan mungkin frustrasi. Mereka pasti berpikir, “Apa gunanya mencoba lagi?” apalagi perintah ini disampaikan oleh orang yang tidak mereka kenal. Tetapi mereka taat.

Dan ketaatan itulah yang membawa hasil yang luar biasa, (mereka tidak dapat menarik jala mereka karena banyaknya ikan/153 ekor ikan sehingga teman-teman lainnya datang membantu).

 

 

Dari sini kita belajar:

1) Terkadang perintah Tuhan datang justru saat kita merasa tidak sanggup lagi. Mungkin Tuhan menyuruh kita berdoa lagi, mengampuni lagi, melayani lagi, atau percaya lagimeski hasil belum terlihat.

2) Kunci berkat dan pemulihan bukan pada kekuatan kita, tetapi pada ketaatan kepada suara-Nya.

3) Banyak orang Kristen hari ini sibuk, cemas, dan kembali ke ‘laut Galilea’ versi mereka sendiri: mencari uang, mengejar ambisi, lari dari panggilan, hanya karena kecewa atau tak sabar menunggu jawaban doa.Namun Yesus tidak menolak mereka. Ia datang, dan mengingatkan kita kembali kepada panggilan semula/panggilan iman/peneguhan iman.

4) Peneguhan iman dimulai dari pengenalan kembali akanYesus, bukan melalui argumen, tetapi melalui ketaatan, penyertaan dan kuasa-Nya.

5) Iman kita diteguhkan bukan saat semua lancar, tapi saat kita memilih taat di tengah kelelahan. Peneguhan iman selalu diarahkan pada pemulihan panggilan hidup danpemulihan hubungan kita dengan Kristus.

Peneguhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus membuat murid yang dikasihi mengenali-Nya, Petrus yang telanjang mengenakan pakaiannya lalu terjun ke dalam danau dan ketika sampai ke darat mereka makan bersama Yesus. Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. Ini bukan sekadar kisah pengenalan dan makan pagi di tepi danau, tetapi adalah momen peneguhan dan pemulihan spiritual bagi para murid yang sedang mengalami kehilangan arah.

Menurut banyak penafsir, murid yang dikasihi adalah Yohanes sendiri (Yoh. 13:23; Yoh. 19:26; Yoh. 20:2). Yohanes mengenali Yesus bukan dari wajah-Nya, tetapi dari tindakan dan mujizat yang mengingatkannya akan peristiwa sebelumnya (Luk. 5:1–11), saat Yesus juga memberi perintah untuk menebar jala dan menghasilkan tangkapan besar. William Barclay mengatakan bahwa pengenalan ini adalah hasil dari “kasih yang peka.” Orang yang hidup dekat dengan Tuhan akan lebih cepat mengenali tanda-tanda kehadiran-Nya. Orang yang hidup dalam keintiman dengan Yesus lebih mudah mengenali jejak tangan-Nya dalam hidup. Kasih dan kepekaan rohani menuntun kepada pengenalan yang benar akan Yesus, bahkan dalam situasi yang tidak jelas.

Petrus merasa malu dan berdosa karena pernah menyangkal Yesus (Yoh. 18:15–27), tetapi saat tahu bahwa itu adalah Tuhan, ia tidak lari — ia segera mendekat. Tindakan “mengikat pakaiannya” menunjukkan kesopanan dalam tradisi Yahudi. Iaingin menghormati Tuhan. “Terjun ke danau” adalah tindakan yang sangat personal: bukan demi keajaiban, tapi demi Yesus sendiri. F.F. Brucemengatakan bahwa tindakan Petrus mencerminkan kasih yang ingin dipulihkan. Petrus tahu dia telah gagal, tapi ia percaya Yesus akan menerimanya kembali.Kegagalan tidak seharusnya menjauhkan kita dari Tuhan. Justru kasih karunia Kristus membuat kita berani datang kembali, seperti Petrus. Tuhan tidak menghapus masa lalu kita, tetapi Iamengubahnya menjadi tempat kasih karunia, dari luka menjadi pelajaran, dari aib menjadi pengingat kasih-Nya. Tuhan memulihkan kita bukan hanya untuk disembuhkan, tetapi untuk diutus kembali. Ia memberi kekuatan rohani untuk melanjutkan panggilan hidup yang mungkin sempat dilupakan karena kegagalan atau kejatuhan.

Sekarang, benarlah apa yang dikatakan Nats pembimbing kita dalam Mazmur 34:18 “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Penampakan Kristus dan perjamuan di pantai danau Tiberias ini adalah gambaran nyata dari kasih yang meneguhkan, memulihkan, dan memanggil kembali. Yesus tidak hanya datang saat kita berhasil, tetapi justru saat kita gagal dan kehilangan arah. Ia menunggu kita di “pantai”, membawa roti kasih dan ikan pemulihan, untuk mengingatkan bahwa:“Kasih-Nya tidak berubah karena kegagalan kita. Pemanggilan-Nya tidak batal karena dosa kita. Dan tangan-Nya tetap terbuka untuk memberi makan, memulihkan, dan mengutus kembali.”Amin.

Komentar Anda?

Related posts