Tema : Persatuan dan Kerukunan Bangsa
Penulis : Fridolynus Belly Sada
Pancasila lahir sebagai suatu falsafah hidup bangsa Indonesia. Bukan hanya terlahir dari kesepakatan politik namun juga dari peristiwa besar yaitu sumpah pemuda yang bersifat monumental ; dalam hal ini rumah kita sendiri (Indonesia).
Merdeka itu harga mati. Mati satu tumbuh seribu. Akan tetapi mirisnya estetika bangsa yang besar, kerap mencuat pelbagai polemic, stigma miring atau negative, bahkan “saling menodong “ satu dengan yang lainnya demi sebuah komunitas tertentu, sebuah kelompok, atau sekedar ikut terpancing termakan hawa nafsu serta hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hanya demi kepuasan semu. Pro dan kontra yang tidak lain dan tidak bukan seperti masalah pemindahan ibu kota Negara.
Pada hakekatnya, mayoritas masyarakat yang terkesan cuek atau tidak mau tahu bahkan berorientasi pada masalah ekonomi. Hal ini seakan seperti sebuah cambuk, tugas penting untuk seorang Pemimpin Negara ini agar mampu merealisasikan segala kepentingan masyarakat yang paling vital atau utama. Entah seperti apa prosesnya, bagaimana kinerjanya, semua ini merupakan rencana kerja Pemerintah yang sudah dengan jeli menatap segala segi pembangunan mulai dari bibit, bebet dan bobotnya hanya demi mendukung serta menciptakan sebuah kerukunan di dalam “ rumah kita “ ini. Ibu kota yang sudah sangat sesak, berhimpit dan bedesakan. Dengan kata lain, membangun kembali rumah kita Indonesia ini mulai dari yang terpinggirkan. Hal ini sangat bertolak ukur pada sebuah kekuatan atau persatuan sebagai pijakan dalam wadah kerukunan bangsa kita.
Persatuan dan kerukunan bangsa juga pernah diasumsikan sebagai lahan yang bersifat bayangan atau semu, semata-mata hanya sekedar kalau ada maunya saja baru bisa bersatu (kompak). Bersatu dalam pembangunan bahkan berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan sendirinya akan menetaskan ide-ide cemerlang, karena sudah ada dasarnya, yaitu Pancasila.
Pancasila yang mendiami hati kita semua sebagai dasar sederhana nan mulia. Apa jadinya bangsa yang besar jika tidak di poles, diperbaharui hati, pikiran serta tindakan, sikap maupun toleransinya?
Saya secara pribadi, menuliskan ini hanya untuk membagi separuh ide, pemikiran bahkan pemahaman yang bijak dalam memaknai egonya diri kita sebagai pribadi yang lemah, pribadi yang mutlak membutuhkan orang lain atau sesama, bermula dari satu jiwa ke jiwa yang lain sehingga terciptalah kesatuan yang mempersatukan mulai dari perbedaan, mengalir sampai kepada muara kerukunan.
Apresiasi besar bagi sebuah bangsa adalah moral kita sendiri. Hasil dari pencitraan diri kita tanpa harus mengelabui hati, menipu hati, main hakim serta mau merdeka sendiri serta mengkotak-kotakkan warna kulit. Misalkan jika warna kulitnya hitam atau gelap, selalu di identikan dengan sosok manusia yang bertipe bengis, jahat, keras, jelek secara fisik.
Sampai kapankah fenomena ini mampu diredam atau di bumi hanguskan?
Mudah untuk dipahami sampai ke akar-akarnya, definisi akan persatuan dan kerukunan. Legitimasi masyarakat perlu di tata secara konssiten serta disesuaikan untuk bisa menjadi sebuah alternatif. Keputusan dan kewenangan yang dibuat Pemerintah diharapkan tidak berimbas pada krisis pembangunan, pudarnya keberagaman yang berkaitan erat dengan nilai-nilai estetika.
Jangan asal-asalan mendefinisikan makna persatuan, mendeklarasikan inti kerukunan serta meng-ejawantahkan “aku ini anak bangsa“, namun kita juga harus menjadi “Pancasila di kehidupan sehari-hari”, dengan tidak memanifestasikan suatu posisi atau sikap apalagi dengan adanya suatu gerakan separatisme yang bobrok.
Lihat saja Papua saat ini, mengklaim ketidakpuasan kinerja pemerintahan, merasa ingin merdeka dengan cara memporak-porandakan tatanan nilai dan norma yang berujung perpecahan. Indahnya burung merak di sana (Papua), menjadi sebuah kecintaan yang kuat, warna yang sama, kulit yang sama, corak yang sama sebagai kunci emas, bahwa jangan pernah merasa bahwa kalian bukan ibu kandung pertiwi.
Rasisme yang terjadi saat ini, bukanlah menjadi benteng penghalang atau senjata tajam yang kapan saja siap membabi-buta menyerang kita. Semua kembali pada hati nurani ; melihat, mendengar dan merasakan dengan hati, bukan dengan belati.
Filosofi Pancasila berpengaruh penting dalam meminimalisir, mengembalikan paradigma yang adalah sebuah kebenaran secara hukum, bukan kebenaran yang dibuat atas kepentingan kelompok, organisasi dengan mengibarkan “bendera baru“ yang nasionalismenya tidak seperti perjuangan Merah Putih.
Sebuah metode sederhana yang lahir dari pemikiran saya sebagai pribadi yang menjunjung tinggi nasionalisme bangsa ini; sebuah perspektif baru versi “TANAM “ (Tandur, Ngabuk, Matun), istilah dalam menanam padi. Padi diolah menjadi beras, di tanak menjadi nasi. Makanan pokok bangsa ini.
Istilah “menanam padi“ merupakan istilah lama yang sudah tak asing lagi. Hal ini mungkin saja mampu menjadi sebuah cara yang baik demi terjalinnya keharmonisan bangsa kita ini.
Tandur : Proses “menanam padi” yang di lakukan secara bersama-sama, secara berjajar dan “menanamnya” dengan cara “mundur”.
Ngabuk : Proses “pemupukkan” setelah beberapa hari padi di tanam, dengan cara “di tabur” .
Matun : Proses “menyiangi rumput” yang turut tumbuh pada sela-sela tanaman padi.
Pemerintah sebagai Pemimpin bangsa, dengan harapan bangsa ini bisa seperti Tandur, Ngabuk dan Matun. Tanamkan selalu rasa persatuan, sehingga berbuah kerukunan. Berbagai reaksi separatisme sejatinya adalah sebuah referendum. Inti persoalannya adalah bagaimana Pemerintah mampu mengatasi gejolak persoalan pada bangsa ini.
Sadar sebagai manusia yang terbatas, marilah kita semua sebagai bangsa Indonesia saling berbenah hati untuk bersama mencoba “menanam padi” secara berjajar, dengan saling menyokong segala perbedaan, dimulai dari hal-hal kecil , baik di keluarga maupun pada lingkungan masyarakat yang kita tempati.
Seperti Tandur kita berharap bangsa ini lebih jeli menengok sebentar ke belakang, barangkali masih ada saudara kita yang butuh perhatian, butuh di dengarkan. Apapun itu alasannya, beri ruang untuk bersama bahu membahu melanjutkan aspirasi yang sempat tertunda, dengan cara yang konsisten, sistematis dan bernilai positf tanpa melihat perbedaan suku dan agama serta adat-istiadatnya. Menabur kebaikan sama seperti kita menabur pupuk pada tanaman padi.
Dari kita, oleh kita dan untuk kita semua. Segala perbedaan, kebencian,sikap anarkis, egois pasti sanggup untuk kita musnahkan. Dengan semangat persatuan, bangsa kita akan lebih maju dan terus bertumbuh, tanpa ada pihak lain yang suka mengadu domba bangsa ini.
Kita tumbuh bersama seperti Matun yang lebih memprioritaskan aksi nyata untuk “menebang” dan “mencabut rumput-rumput liar” agar bangsa yang besar ini tetap hidup dalam suasana yang damai demi satu keutuhan NKRI yang indah akan persatuan dan kerukunan hidup.