(Membaca Ulang Hasil IKP Pemilihan Kepala Daerah 2018)
Oleh: Efrem More Meto
Mantan Anggota Panwaslu Kab. Maluku Tengah-Maluku Periode 2012-2015
PORTALNTT.COM – Pada hari Selasa, (28/11/2017) secara resmi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menggelar grand lounching Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018. IKP ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pencegahan terhadap terganggunya atau terhambatnya proses Pilkada yang bermartabat dan demokratis. Dalam definisi operasionalnya, IKP memaknai kerawanan pemilu sebagai segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Dengannya, IKP mencoba menyusun proyeksi potensi kerawanan Pemilihan kepala daerah tahun 2018 yang akan dilaksanakan oleh 171 daerah, meliputi 17 Provinsi dan 154 Kabupaten/Kota.
IKP Pilkada serentak 2018 disusun berdasarkan data/peristiwa yang sudah terjadi (post factum). Dalam mengukur potensi kerawanan Pemilu tersebut, dillakukan analisis terhadap kondisi terkini dalam suatu daerah dengan mempertimbangkan tahapan pemilu (time series).
Jika di over view, hasil IKP menunjukkan bahwa pada Pilkada serentak tahun 2018 ini dari 17 Provinsi yang akan melaksanakan Pilkada tingkat Provinsi, terdapat tiga Provinsi yang masuk dalam kategori kerawanan tinggi (Skor di atas 3, 00) yakni Papua dengan skor 3,41, Maluku dengan skor 3,25, dan Kalimantan Barat dengan skor 3,04. Sedangkan pada tingkat Kabupaten/Kota yang akan menggelar Pilkada 2018, terdapat enam daerah yang masuk dalam kerawanan tinggi yakni Kabupaten Mimika (3,43), Kabupaten Paniai (3,41), Kabupaten Jaya Wijaya (3,40), Kabupaten Puncak (3,28), Kabupaten Konawe (3,07), dan Kabupaten Timur Tengah Selatan (3,05).
Dimensi dan Indikator Kerawanan
Pengukuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 yang dilakukan oleh Bawaslu RI menggunakan tiga dimensi utama yang diuraikan dalam sepuluh variabel dan 30 indikator kunci. Tiga dimensi utama tersebut meliputi dimensi penyelenggaraan, dimensi konstelasi, dan dimensi partisipasi.
Dimensi penyelenggaraan berkaitan dengan tiga variabel utama yakni integritas penyelenggara pemilu, Profesionalitas Penyelenggara Pemilu, dan kekerasan terhadap penyelenggara. Adapun dimensi konstelasi meliputi empat variabel utama yakni pencalonan, kampanye, kontestan, dan kekerabatan. Sedangkan dimensi partisipasi meliputi empat variabel utama yakni, hak pilih, karakteristik lokal, dan pengawasan / partisipasi masyarakat.
Kerawanan Pilgub NTT
Secara umum Provinsi NTT masuk dalam kerawanan sedang, namun cenderung tinggi (2,70). Kerawanan yang perlu diantisipasi (2,94) dimana kerawanan itu muncul pada karakteristik lokal (3,00) dan pengawasan masyarakat (3,50). Rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemilu di NTT disebabkan oleh karakterstik lokal NTT yang daerahnya terdiri dari pulau-pulau. Selain itu, sebagian pemilih berdominsili di daerah-daerah yang masih terisolir sehingga menyulitkan ke TPS.
Bila ditilik pada Pemilu sebelumnya, dimensi penyelenggaraan Pemilu di beberapa daerah di NTT patut diantisipasi. Dengan skor dimensi penyelenggaraan (2,44) dan kekerasan terahadap penyelenggara Pemilu (2,33) perlu diminimalisir. Pada pemilu sebelumnya terjadi penganiayaan pada anggota Panwaslu Kabupaten Ende oleh Tim sukses salah satu pasangan calon. Pembakaran kotak suara juga pernah terjadi di Kabupaten Manggarai Barat.
Antisipasi Kerawanan Pilgub NTT
Mencermati potensi kerawanan Pemilu di NTT pada tahun 2018 nanti maka perlu dilakukan upaya antisipatif. Hal ini dapat dilakukan melalui pencegahan dini atas segala potensi kerawanan pemilu. Hal ini dapat dilakukan oleh semua stakeholder pemilu yang ada di NTT.
Pertama, Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu Provinsi NTT). Tindakan Pencegehan terhadap potensi penyelengaraan Pemilu dapat dilakukan dengan cara membangun komuniklasi dan koordinasi secara intensif dengan lembaga penyelenggara Pemilu serta semua pemangku kepentingan yang ada di NTT terutama Pemerintah daerah, Kepolisian, Kominda, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam rangka mendapatkan data dan informasi. Terutama terkait dengan antisipasi penggunaan isu-isu SARA, politisasi birokrasi, politik identitas, dan politik uang yang akan berimplikasi pada terganggunya tahapan dan integritas pemilu di NTT. Selain itu, KPU dan Bawaslu NTT sejatinya mengoptimalkan sosialisasi, penyediaan informasi publik, dan pendidikan politik kepada masyarakat, tim kampanye, relawan serta pasangan calon. Demi pelaksanaan Pilkada yang demokratis dan bermartabat di NTT, maka penyelenggara pemilu di NTT wajib bersikap dan bertindak proaktif dalam menjalanankan setiap tahapan Pilkada.
Kedua, Peserta Pilkada (Partai Pengusung dan Pasangan Calon). Demi menjaga kondusifitas dan proses dan hasil pemilu yang jujur, adil, bermartabat dan demokratis di NTT, maka setiap peserta Pilkada harus mampu melakukan kampanye bersih dengan menghindaripenggunaan isu SARA, penggunaan politik uang, menggunakan pelibatan ASN, dan penggunaan fasilitas Negara. Selain itu, setiap partai politik di NTT wajib menjaga soliditas antar anggota parta politik. Serta mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di setiap tahapan Pilkada.
Ketiga, Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah di NTT harus mampu memberikan jaminan dan percepatan penyediaan dan penyaluran anggaran penyelenggaraan pilkada. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib dan mampu menjaga netralitas ASN serta mencegah terjadinya penggunaan fasilitas negara dalam pelaksanaan kampanye.
Keempat, Penegak Hukum. Demi menjamin proses pemilu yang demokratis, maka aparat penegak hukum wajib memberikan perlindungan terhadap penyelenggara pemilu dari segala potensi tindak kekerasan.