Dari Yohanes Menuju Yesus, Dari Diri Menuju Betlehem (Yoh. 1:6-8, 19-28)

  • Whatsapp
banner 468x60

Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd

Salah satu sifat dasar manusia adalah ingin tahu dan suka mencari tahu. Sifat ini sekaligus bermakna positif namun juga negatif. Sifat ini secara positif menguntungkan sekali karena dari pengembangan sifat ini lahirkan ilmuwan dan pemikir dalam berbagai bidang.

Filsafat di Yunani kuno pun lahir dari rasa ingin tahu ini  dan selanjutnya meletakkan dasar bagi perkembangan dasar ilmu dan teknologi yang terus berkembang pesat hingga sekarang ini. Dari segi negatif, rasa ingin tahu atau mencari tahu urusan dan kepentingan orang lain  sering mendatangkan pertengaran atau konflik sosial, atau juga menghilangkan  banyak waktu yang bernilai.

Seorang anak usia SMP berdiri dekat sebuah perhentian bis di sebuah kota. Sikapnya menarik perhatian orang banyak dan memacetkan lalulintas, karena sepanjang waktu ia hanya menengadahkan wajahnya ke atas.

Banyak orang di sekitarnya serentak melihat juga ke atas memperhatikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka terus bertanya apa saja yang dilihat oleh anak ini. Makin lama semakin banyak orang berkerumun. Akibatnya, lalulintas pun jadi tambah macet, karena para sopir menghentikan kendaraaannya tanpa memperhatikan peraturan parkir dan mereka terus ikut melihat ke atas. Keadaan sekitar jadi kacau karenanya. Orang-orang berdesak-desakan dan saling bertanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Leher-leher mereka pun tampak tegang.

Beberapa saat kemudian, dengan tenang anak itu tertunduk dan berjalan meninggalkan tempat itu. Semua bertanya ada apa yang dilihatnya tadi. Apakah ada tanda ajaib di langit begitu? Dia menjawab, “Apa?  Tanda ajaib apa? Hidung saya berdarah, dan karenanya saya mendongak ke atas sebagai cara untuk menghentikannya…” Mendengar penjelasan simpel itu, orang-orang pun bubar sambil menggerutu dan maki-maki. Meski ada juga yang senyum mentah karena merasa terkecoh. Ternyata, ingin tahu seperti ini menghabiskan banyak waktu bermakna dan secara sosial, memacetkan lalulintas…

Cerita lain tentang anak-anak yang suka tahu dan membuat banyak orang tua kewalahan dengan berbagai pertanyaan anak-anak. Misalnya, si Ani, putri cilik bertanya kepada ibunya apa artinya in the hoi sesudah membaca artikel sebuah koran. Sering banyak orang tua berusaha menjawab dengan menyesuaikan dengan cara pikir mereka, dan ada pula yang menjelaskan  secara berbohong. In the hoi itu artinya menjahit. Lucunya, ibu yang berbohong menerima sendiri getahnya. Ketika bapanya baru pulang dari kantor dan bertanya, di mana ibunya? Dia menjawab, “Lagi in the hoi, pa”. Dengan geram dan wajah marah sang ayah bergegas masuk ke ruma dan mendapati isterinya sedang asyik menjahit.

Sesudah makan siang, Any terus mengganggu bapanya dengan pertanyaan mengapa bahasa  daerah dinamakan bahasa ibu dan bukan bahasa bapa. Sesudah ditanya berulangkali, bapanya menjawab dengan perasaan jengkel, “Dinamakan demikiann karena  itu-ibu terkenal cerewet…”.

Injil hari Minggu ini mengetengahkan  sikap orang-orang yang ingin tahu siapakah Yohanes  Pembaptis itu. Penginjil Yohanes  mengawali perikope ini dengan mengatakan  bahwa ada seorang yang diutus Allah namanya Yohanes.

Ia datang untuk memberi kesaksian tentang terang itu supaya orang percaya. Tetapi dia sendiri bukan terang itu. Inilah kesaksian Yohanes ketika orang-orang Farisi mengutus beberapa orang imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan siapakah dia sebenarnya.

Mereka bertanya, “Siapakah engkau?” Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya, “Aku bukan Mesias”. Mereka bertanya lagi “Kalau begitu, siapakah engkau? Eliakah” Dia menjawab, “Bukan”. “Engkau nabi yang akan datang itu?” dan ia menjawab “Bukan”. Mereka berkata kepadanya, “Siapakah engkau? Katakanlah, karena kami harus memberikan jawaban kepada mereka yang mengutus kami. Apakah katamu tentang dirimu sendiri?” Ia menjawab: “Akulah suara yang berseru-seru di padang gurun, luruskanlah jalan bagi Tuha, seperti yang telah dikatakan  oleh Nabi Yesaya. “Di antara mereka ada juga orang-orang Farisi.

Mereka  bertanya: “Mengapa engkau membaptis kalau engkau bukan Mesias? Bukan Elia dan bukan nabi yang akan datang?” Yohanes menjawab  mereka: “Aku membaptis dengan air, tetapi di tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, Dia yang datang kemudian dari padaku. Membuka talikasutNya pun aku tidak layak”. Hal ini terjadi di Betania, di seberang sungai Yordan, tempat Yohanes membaptis.

Dari kisah injil hari Minggu Adven ketiga ini, ada beberapa hal menarik. Yohanes Pembaptis, dianggap asing dan aneh. Dia muncul di padang gurun dan pergi ke sungai Yordan, tanpa seorang pun yang tahu siapa dia, dari mana dia berasal dan apa maunya dia. Tak ada tanda identitas seperti yang kita miliki sekarang. Padahal kartu identitas bagi kita, yang di dalamnya dicantumkan nama, tempat tanggal lahir, status, pekerjaan dan lain-lain yang dikukuhkan dengan tanda tangan pejabat berwenang menjadi hal penting. Ini penting demi kepentingan negara karena keamanan dijamin dan dijauhkan dari tindakan yang anarkis atau sejenisnya.

Apalagi penampilan fisik Yohanes juga mencurigakan, jubahnya dari bulu unta, dan ikat pinggangnya dari kulit,  makanannya belalang dan madu hutan.

Ini kan cara hidup yang berbeda dari kebanyakan orang dan mengundang banyak pertanyaan. Di samping ia berkotbah, Yohanes juga membaptis orang. Statusnya tidak jelas dan wewenang dari manakah dia menjalankan semuanya  itu? Kaum Farisi yang selalu merasa posisi dan popularitas meraka terancam dengan munculnya orang yang mengajar tetapi bukan dari golongan mereka, mengutus  orang untuk bertanya siapakah dia dan dengan wewenang siapa dia mengajar.

Pertanyaan yang sama nanti mereka ajukan kepada Yesus ketika Dia tampil ke hadapan umum sesudah dibaptis Yohanes.  Dengan jujur dia menjawab, bahwa dia bukan Mesias atau salah seorang nabi. Dia hanyalah suara yang menyerukan supaya jalan diluruskan bagi Tuhan. Dia datang hanya untuk menyiapkan  jalan bagi Mesias yang akan datang.

Dalam Perjanjian Lama, kedatangan Tuhan digambarkan didahului dengan angin ribut, gempa dan api (bdk. Kel. 19). Dalam Perjanjian Baru pada hari Pentakosta (Kis. 2:1-13). Namun kini kedatangan Tuhan didahului dengan dan disiapkan oleh kedatangan utusan.

Penginjil Yohanes menjelaskan  bahwa dirinya tidak datang atas kemauannya sendiri, dia diutus oleh Allah. Semua ketidakjelasan dari identitasnya menunjukkan bahwa dia bukanlah utusan manusia tetapi dari Tuhan. Tugasnya adalah,  memberikan kesaksian tentang terang supaya semua orang menjadi percaya. Dengan rendah hati dia mengakui bahwa dia bukanlah terang itu tetapi memberikan kesaksian tentang terang itu. Itu berarti Yohanes adalah pribadi yang tahu diri dan rendah hati.

Penginjil Yohanes menggarisbawahi kejujuran Yohanes dengan menulis: “Dia mengaku dan tidak berdusta bahwa dia bukan Mesias. Dia hanya membaptis dengan air”.

Pertanyaan yang beruntun dari orang Yahudi menggambarkan kegelisahan mereka terhadap apa yang dia ajar dan wartakan. Bahwa setiap orang yang hidupnya berkedok, selalu merasa gelisah, akan senang melihat orang lain susah, dan akan sedih ketika melihat orang lain sukses. Apalagi kalau ada sesuatu yang berusaha membuka kedok mereka. Tiap orang yang tidak jujur, merasa gelisah mendengar kotbah tentang kejujuran.

Bukan hanya itu, dia menentang orang yang hidupnya jujur atau mewartakan kejujuran. Demikianlah juga orang yang tidak adil dan tidak benar yang menindas dan memeras sesamanya.

Alasan yang dikemukan kaum Farisi tampak masuk akal, bahwa identitas yang tidak jelas sebagai warga masyarakat bisa dianggap subsersiv dan ketidakjelasan wewenang mengajar, tetapi begitulah biasanya orang-orang yang licik dan jahat. Mereka selalu berusaha menemukan teks Kitab Suci untuk membenarkan dirinya dan mempersalahkan oran lain.

Namun pertanyaan penting bagi kita, apa yang dimaksudkan Yohanes  dengan meluruskan jalan bagi Tuhan? Bagi Yohanes, yang paling utama ialah: “menghasilkan buah pertobatan.” Ia memberi tekanan khusus: bukan sekedar bertobat, tetapi tobat yang menghasilkan buah! Kapak sudah tersedia pada akar pohon, setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang. Filosofi Injil ini jelas: Pohon buah yang tidak menghasilkan buah – meskipun subur dan rindang, tetap saja belum utuh sebagai pohon.

Pertobatan adalah pertobatan yang terus-menerus. Yesus berkata: “Bertobatlah, kerajaan Allah sudah dekat.” Kerajaan Allah memang sudah dekat, namun sering dihalangi oleh dosa manusia, yaitu kelicikan-kelicikan demi memuaskan egonya sendiri. Manusia lebih cenderung berpusat pada dirinya dari pada menuruti kehendak Allah. Karena itu Yohanes mengatakan bahwa tidak cukup ia membaptis dengan air; akan tiba saatnya manusia perlu dibarui lebih mendalam, yaitu dengan Api dan Roh.

Meskipun kita sudah dibaptis dan sudah mengalami banyak tanda pertobatan, namun itu belum cukup. Manusia cenderung sampai pada niat baik saja; puas dengan tanda-tanda saja; lebih mudah percaya pada tampilan luar tetapi lupa menguji kedalaman. Sibuk dengan kesibukan tetapi lupa pada identitas  dan tanggungjawab yang utama. Manusia now mudah tergiur dengan hal-hal praktis dan muda, dan cenderung banyak berjanji tetapi tidak sampai pada aksi nyata. Manusia saman now cenderung sibuk dengan dunia layar, screen. Pada dunia layar, Hp dan komputer, orang memandang keluar, ke pada layar itu dengan mengejar akses, meng-update status, dan sebagainya, tetapi lupa memandang ke dalam dirinya. Untuk bercermin dan bertanya diri, apa yang pantas saya kerjakan dan penuhi? Apa yang mesti saya benahi?  Apalagi kalau soal nilai-nilai moral dasar dan sosio-religius dalam praksisnya.

Oleh karena itu pentinglah pembaruan yang lebih dalam, yaitu pembaptisan dengan Roh dan Api. Manusia pendosa dibarui seperti besi dalam dapur api sehingga semakin murni, agar ia dapat menghasilkan buah pertobatan. Sekali saja dibentuk tidak cukup bagi manusia; ia harus ditempa berulang kali hingga terbentuk secara lebih baik dan utuh.

Masa Adven dalam tradisi Liturgi Gereja adalah periode sebelum Natal. Kata Latin Adventus berarti Kedatangan.

Pada masa ini umat Kristiani mengenangkan kedatangan Kristus untuk pertama kalinya, yaitu penjelmaan-Nya menjadi manusia, mempersiapkan perayaan kedatangan-Nya, yaitu pada Hari Raya Natal, dan menanti-nantikan kedatangan-Nya pada akhir zaman, kedatangan eskatologis.

Meski banyak orang sudah mulai merayakan Natal, Gereja Katolik mengajak kita untuk tetap memberi arti pada masa Adven, sebagai masa persiapan yang utuh. Masa Natal kita baru akan dimulai pada Vigili Natal dan berlangsung sampai pesta Pembaptisan Tuhan.

Tanggal 9 Desember banyak dari kita sudah melewati saat penting dalam proses demokrasi bangsa kita dengan ikut mencoblos, memilih para kepala daerajh dengan hati nurani kita dan mempercayakan nasib masyarakat kita untuk lima tahun mendatang. Kita sudah memilih para Gubernur dan wakilnya, wali kota dan wakilnya, bupati dengan wakilnya. Mudah-mudahan kita memilih dengan hati nurani, bukan karena menerima sesuatu untuk membeli  suara kita. Kita mungkin berbeda di sana. Saat itu sudah berlalu, kini kita kembali ke dunia biasa. Yang rutin dan biasa-biasa dan terus memberi arti pada masa adven ini.. Selamat menjalani sisa Adven, memasuki pekan III  dan berlanghah menuju Natal. (***)

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60