PORTALNTT.COM, KUPANG – Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) periode 2025–2029 yang seharusnya menjadi ajang adu visi akademik kini justru diterpa isu miring.
Di balik ruang rapat senat dan panggung visi-misi, beredar cerita tentang amplop yang berpindah tangan, janji kursi jabatan yang ditawarkan, hingga lobi gelap yang terjadi di luar sorotan publik.
Sejumlah dosen yang terlibat dalam dinamika kampus menyebut adanya indikasi kuat praktik politik uang. Dukungan senat diduga dibarter dengan sejumlah nominal yang disamarkan dalam bentuk “bantuan” atau “tali kasih”.
“Ada yang terang-terangan menyebut angka, ada pula yang halus, lewat jalur pertemanan. Ini sudah bukan gosip, tapi praktik yang terasa di lapangan,” ungkap seorang sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Selain uang, janji jabatan strategis diduga menjadi instrumen lobi. Kursi wakil rektor, dekan, bahkan kepala lembaga disebut-sebut menjadi “paket” tawaran bagi anggota senat yang bersedia mendukung calon tertentu.
“Bukan hanya uang. Ada yang menjanjikan kursi dekan atau posisi strategis lainnya. Pola ini mirip politik praktis di luar kampus, hanya kemasannya yang berbeda,” tuturnya.
Janji kursi ini membuat pemilihan rektor seolah menjelma pasar politik, di mana kekuasaan ditawarkan sebagai komoditas.
Kondisi ini memantik keprihatinan. Banyak pihak menilai bahwa jika rektor terpilih lahir dari proses transaksional, maka arah kebijakan kampus berpotensi tersandera kepentingan kelompok, bukan untuk kepentingan akademik dan publik.
“Integritas kampus dipertaruhkan. Jika rektor lahir dari transaksi, maka pendidikan tinggi di NTT akan kehilangan arah. Dunia akademik harusnya steril dari praktik kotor semacam ini,” ujarnya.
Tangan Kementerian Jadi Penentu
Kini, perhatian tertuju pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memegang hak suara 35 persen. Harapan besar disandarkan agar kementerian tidak tunduk pada permainan politik lokal, melainkan memilih pemimpin dengan integritas, kapasitas, dan rekam jejak yang bersih.
Sekretaris Senat Undana, Prof. Dr. Yantus Aristarkus Neolaka, menjelaskan bahwa penyaringan menghasilkan tiga calon dengan perolehan suara tertinggi.
Ketiga calon tersebut adalah Prof. Apris Adu dengan 25 suara, Prof. Jefri Bale dengan 24 suara, serta Prof. Melkiades Taneo dengan 6 suara.
“Dari empat bakal calon, kita ambil tiga peringkat teratas,” ujarnya kepada awak media dalam jumpa pers usai kegiatan penyaringan dan penetapan yang berlangsung di aula lantai III Rektorat, Kamis 25 September 2025.
Menurut Prof. Yantus, tahapan selanjutnya akan berlangsung pada 29 September 2025, yaitu penyerahan berkas dan kelengkapan dokumen ketiga bakal calon ke Kementerian.
Setelah itu, kata Prof. Yantus para calon akan mengikuti tahap wawancara bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Jadwal wawancara, akan ditentukan langsung oleh menteri.
“Dua minggu setelah tahap wawancara, maka akan dilanjutkan dengan pemilihan rektor. Pemilihan rektor ini bisa menteri yang datang langsung atau mengutus perwakilan, semuanya bergantung pada jadwal menteri,” jelasnya.
Prof. Yantus menegaskan, dalam tahapan pemilihan rektor, Kementerian mengambil alih proses.
Terkait waktu pelaksanaan pemilihan rektor, ia belum bisa memastikan, namun diperkirakan berlangsung pada Oktober hingga paling lambat dua minggu sebelum Desember 2025.
“Tanggal 6 itu pelantikan rektor, sehingga dua minggu sebelumnya sudah dapat diketahui siapa rektor terpilih,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pemilihan Rektor, Prof. Simon Sabon Olla, menegaskan bahwa semua calon masih memiliki peluang yang sama.
“Estimasi jumlah suara sekarang, ketiga bakal calon ini berpeluang menjadi rektor. Semua bergantung pada keputusan menteri setelah wawancara,” katanya.
Dengan demikian, menurutnya meski Prof. Apris unggul dalam jumlah suara, keputusan akhir tetap akan ditentukan melalui proses pemilihan yang melibatkan menteri bersama Senat Undana.