DPRD NTT Soroti Gaji Perawat RS Swasta yang Memprihatinkan, Negara Tidak Boleh Tutup Mata

Anggota DPRD NTT Astria Blandina Gaidaka, S.Kep., Ns., M.Si.

PORTALNTT.COM, KUPANG – Di balik senyum ramah dan kerja tanpa lelah para perawat di rumah sakit swasta, tersimpan cerita getir yang jarang terungkap. Gaji rendah, jam kerja panjang, dan penghargaan yang minim membuat profesi mulia ini kerap terabaikan.

Kondisi memprihatinkan ini akhirnya sampai ke telinga wakil rakyat. Anggota DPRD NTT Astria Blandina Gaidaka, S.Kep., Ns., M.Si, menyoroti serius persoalan gaji perawat di rumah sakit swasta yang dinilai tidak layak dan jauh dari standar kesejahteraan.

“Para perawat adalah garda terdepan yang mengorbankan tenaga, pikiran, bahkan nyawa mereka untuk keselamatan pasien. Sangat ironis jika mereka justru dibayar tidak pantas, seolah-olah hanya buruh murah,” tegas Astria anggota DPRD NTT yang berlatar belakang perawat.

Menurut Astria, masalah ini tidak bisa lagi dibiarkan. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat diminta segera mengevaluasi sistem pengupahan di rumah sakit swasta, memastikan adanya standar minimum yang adil dan manusiawi.

“Ini bukan sekadar soal gaji, tetapi soal martabat dan penghargaan bagi profesi yang sudah banyak berkorban demi kesehatan masyarakat,” tandasnya.

Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan di NTT.

“Perawat bukan budak modern. Mereka pilar kesehatan yang harus dihargai. Negara harus hadir untuk memastikan keadilan,” pungkas DPRD NTT.

Sebelumnya, Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis hasil survei mengenai kondisi kesejahteraan perawat yang bekerja di fasilitas kesehatan swasta di NTT.

Survei independen yang dilaksanakan pada 17–22 September 2025 ini melibatkan 557 responden perawat dari berbagai fasilitas kesehatan swasta di seluruh Provinsi NTT.

Hasilnya mengejutkan. Mayoritas perawat masih menerima gaji pokok di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.328.969,69.

Selain itu, sebagian besar juga tidak memperoleh tunjangan jabatan fungsional, jaminan pensiun, maupun asuransi kesehatan kerja. Tingkat kepuasan kerja perawat pun tergolong rendah.

“Survei ini membuktikan bahwa kesejahteraan perawat di NTT, khususnya yang bekerja di fasilitas kesehatan swasta, masih jauh dari layak. Sebagian besar perawat menerima gaji di bawah UMP, bahkan tanpa jaminan sosial dan tunjangan fungsional. Ini harus segera menjadi perhatian serius pemerintah daerah,” tegas Ketua DPW PPNI NTT, Dr. Aemilianus Mau, S.Kep., Ns., M.Kep., dalam keterangannya seperti dilansir Telegrafnesia.com, pada Rabu (24/09/2025).

Aemilianus Mau dengan tegas menyatakan bahwa para perawat adalah tenaga profesional yang dilahirkan dari institusi pendidikan, dibekali ilmu dan keterampilan untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik.

“Perawat bekerja dengan penuh tanggung jawab, mematuhi standar regulasi yang ada, dan mengabdikan diri demi kemanusiaan. Namun, sangat disayangkan, pengorbanan besar itu justru dibayar dengan sangat murah. Kondisi mereka bahkan lebih buruk dibandingkan pekerja non-profesional, dan dalam beberapa kasus, setara dengan perlakuan terhadap budak. Pertanyaannya, siapa yang sesungguhnya mau peduli pada nasib mereka? Apakah pemerintah, DPR, atau para pemilik fasilitas kesehatan swasta?,” tegasnya.

Tempat Kerja dan Karakteristik Perawat

Dari 557 responden, mayoritas atau 85,1% (473 orang) bekerja di rumah sakit swasta. Sisanya 10,4% (57 orang) di klinik, home care, dan sebagai perawat desa.

Jika dilihat dari segi usia, mayoritas perawat berada pada rentang 26–35 tahun yakni 383 orang atau 69,3%.

Kelompok usia berikutnya adalah 36–45 tahun dengan jumlah 112 orang (20,1%), disusul kelompok usia 17–25 tahun sebanyak 56 orang (10,1%). Kelompok usia 46–55 tahun hanya tercatat 3 orang (0,5%).

Dari sisi jenis kelamin, mayoritas perawat adalah perempuan, yakni 71,1% atau 396 orang. Sedangkan perawat laki-laki tercatat sebanyak 28,9% atau 161 orang.

Dalam hal pendidikan, sebagian besar responden adalah lulusan Ners, yaitu 62,3%.

Kelompok terbesar kedua adalah lulusan Diploma III Keperawatan dengan proporsi 37%.

Responden dengan latar pendidikan Diploma IV Keperawatan dan Ners Spesialis masing-masing hanya 0,4%.

Sementara dari sisi masa kerja, mayoritas perawat atau 29,3% sudah bekerja lebih dari 5 tahun.

Responden dengan masa kerja 2 tahun tercatat 17,8%, diikuti perawat dengan pengalaman kerja 3 tahun (15,8%), kurang dari 1 tahun (13,3%), 5 tahun (7,2%), dan 4 tahun (5,7%).

Gaji Pokok di Bawah UMP

Survei ini mengungkap bahwa mayoritas gaji pokok perawat masih jauh di bawah UMP NTT 2025.

Sebanyak 31,2% responden menerima gaji antara Rp500.000 – Rp1.000.000 per bulan.

Sementara itu, 22,8% menerima gaji Rp2.000.000 – Rp2.500.000, 21% mendapat Rp1.000.000 – Rp1.500.000, dan 12,9% memperoleh Rp1.500.000 – Rp2.000.000.

Sebagian kecil lainnya melaporkan gaji Rp2.500.000 – Rp3.000.000 (5,9%) dan Rp3.000.000 – Rp3.500.000 (2%).

Proporsi terkecil adalah mereka yang menerima Rp3.500.000 – Rp4.000.000 serta Rp4.000.000 – Rp4.500.000, masing-masing hanya 0,4%.

Bahkan ada 3,4% perawat yang masih menerima gaji kurang dari Rp500.000 per bulan.

Dengan demikian, sekitar 91,3% perawat di fasilitas kesehatan swasta di NTT menerima gaji pokok di bawah UMP 2025.

“Fakta ini sungguh ironis. Bagaimana mungkin tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan pelayanan justru menerima gaji di bawah standar minimum? Kami mendesak adanya regulasi tegas agar praktik semacam ini tidak terus berlanjut,” ujar Dr. Aemilianus Mau.

Minim Tunjangan dan Jaminan Sosial

Selain gaji rendah, survei juga menemukan bahwa sebagian besar perawat tidak menerima tunjangan fungsional.

Sebanyak 85,8% responden melaporkan tidak memperoleh tunjangan jabatan fungsional, hanya 14,2% yang mengaku mendapatkannya

Hal yang sama terjadi pada jasa pelayanan bulanan. Sebanyak 51,3% responden mengatakan menerima jasa pelayanan, namun 48,7% lainnya tidak mendapatkan tambahan tersebut.

Dari sisi jaminan kesehatan, 61,2% responden melaporkan memiliki asuransi kesehatan kerja, sedangkan 38,8% lainnya tidak.

Lebih memprihatinkan lagi, mayoritas responden atau 75,8% tidak memperoleh tunjangan hari tua/pensiun. Hanya 24,2% yang mendapatkan fasilitas tersebut.

Kepuasan Kerja Perawat

Kondisi kesejahteraan yang memprihatinkan ini berdampak langsung pada tingkat kepuasan kerja.

Survei menunjukkan bahwa 39,9% responden menyatakan tidak puas dengan penghasilan mereka saat ini.

Sementara itu, 37,6% menyebut kurang puas, 16,5% cukup puas, dan hanya 16% yang mengaku puas.

“Data ini menegaskan bahwa mayoritas perawat di NTT tidak puas dengan penghasilan yang mereka terima.

Jika hal ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan memengaruhi motivasi dan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” kata Dr. Aemilianus Mau menambahkan.

Rekomendasi PPNI

Berdasarkan hasil survei tersebut, DPW PPNI Provinsi NTT memberikan sejumlah rekomendasi penting:

  1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota diminta memperkuat pengawasan implementasi UMP/UMR di seluruh fasilitas kesehatan swasta.
  2. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi agar melakukan audit kepatuhan pemberian upah pada tenaga perawat.
  3. Asosiasi Rumah Sakit (PERSI) dan pemilik fasilitas kesehatan swasta harus memastikan kesejahteraan perawat melalui pemberian upah, tunjangan, dan jaminan yang layak.
  4. DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota diharapkan menyusun Peraturan Daerah (Perda) terkait perlindungan tenaga kesehatan, khususnya perawat, serta melakukan fungsi pengawasan implementasi kebijakan ketenagakerjaan di sektor kesehatan.
  5. Pemerintah Daerah perlu mendorong dialog sosial tripartit antara pemerintah, pemberi kerja, dan organisasi profesi perawat.

“Kami berharap hasil survei ini tidak hanya menjadi data semata, tetapi benar-benar ditindaklanjuti dengan kebijakan konkret. Kesejahteraan perawat adalah kunci untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di NTT,” tutup Dr. Aemilianus Mau. ***

Komentar Anda?

Related posts