Pidato Prabowo di PBB, Konflik Gaza, dan Riak Geopolitik Dunia

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.

Oleh Frits R Dimu Heo, SH. MSi


Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu menyedot perhatian. Bukan hanya karena isi pidatonya yang menyoroti krisis Gaza dan menyerukan solusi dua-negara, tetapi juga karena insiden teknis: mikrofon tiba-tiba mati saat ia berbicara. Pemerintah Indonesia menjelaskan hal itu sebagai masalah teknis, namun momen tersebut memberi simbol kuat betapa pelik dan sensitifnya isu Palestina–Israel di panggung dunia.

Konflik terbaru ini bermula dari serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari seribu warga Israel. Dunia internasional mengutuk tindakan tersebut sebagai aksi teror yang tak bisa dibenarkan. Namun balasan Israel jauh lebih besar, dengan serangan udara dan operasi militer di Jalur Gaza yang menurut laporan PBB telah menewaskan puluhan ribu orang, sebagian besar warga sipil, serta menghancurkan infrastruktur vital. Situasi kemanusiaan di Gaza kini berada pada titik kritis.

Sejumlah ahli politik menilai, posisi Indonesia yang membela Palestina bukanlah dukungan terhadap Hamas, melainkan konsistensi terhadap prinsip anti-penjajahan dan pembelaan hak menentukan nasib sendiri. Para aktivis sosial menegaskan bahwa penderitaan rakyat Gaza tidak boleh diabaikan hanya karena Hamas melakukan serangan lebih dulu. Di sisi lain, pakar hukum internasional mengingatkan, Israel memang memiliki hak untuk membela diri, tetapi penggunaan kekuatan secara berlebihan dan menyerang warga sipil melanggar hukum humaniter internasional.

Konflik Gaza kini juga merambat ke kancah regional. Iran dengan terang-terangan menyatakan dukungan kepada Hamas dan Hizbullah, sementara Turki yang merupakan anggota NATO, lantang menyebut tindakan Israel sebagai genosida. Kehadiran aktor-aktor regional ini menambah ketegangan dan berpotensi menyeret kawasan Timur Tengah pada eskalasi yang lebih luas.

Dalam konteks ini, pidato Presiden Prabowo di PBB mencerminkan garis diplomasi Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menegaskan politik luar negeri bebas dan aktif: bebas berarti tidak memihak blok kekuatan mana pun, dan aktif berarti berperan serta menjaga perdamaian dunia. Dukungan Indonesia bagi Palestina berdiri di atas prinsip itu, bukan semata karena faktor agama, melainkan karena komitmen terhadap anti-penjajahan, kemanusiaan, dan keadilan internasional.

Dengan semangat bebas aktif, Indonesia dapat bersuara lantang menolak segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, sekaligus membuka ruang dialog dengan semua pihak, termasuk mereka yang berbeda pandangan. Inilah yang menjadikan posisi Indonesia dihormati di banyak forum internasional: mampu menjaga keseimbangan antara moralitas dan kepentingan politik global.

Kesimpulan dan Saran :

Konflik Palestina–Israel menegaskan bahwa kekerasan hanya melahirkan penderitaan berulang. Hamas bersalah karena menyerang warga sipil, tetapi Israel juga patut dikritik keras karena balasan yang tidak proporsional. Dalam situasi ini, Indonesia perlu tetap konsisten bersuara: mendesak gencatan senjata, membuka jalur kemanusiaan, serta mendorong investigasi independen atas dugaan pelanggaran hukum perang.

Lebih jauh, dengan politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia dapat memfasilitasi dialog regional yang melibatkan Iran, Turki, dan kekuatan internasional lain, agar konflik ini tidak semakin meluas. Suara dari podium PBB mungkin tampak kecil dibanding dentuman senjata, namun justru di situlah letak pentingnya: menjaga nurani kemanusiaan tetap hidup di tengah hiruk pikuk kepentingan geopolitik.

Daftar Pustaka :

1. Tempo.co, Indonesian Foreign Ministry ExplainsPrabowo’s Microphone Cutoff at UN Assembly(2025).
2. TRT World, UN speeches on Palestine hit bysabotage: Leadersmics cut during crucialmoments (2025).
3. United Nations, Reports on the situation in theOccupied Palestinian Territories (2024–2025).
4. Human Rights Watch, Israel/Palestine: Gaza Hostilities and Humanitarian Impact (2024).
5. International Committee of the Red Cross(ICRC), International Humanitarian Law and theGaza Conflict (2024).
6. Kementerian Luar Negeri RI, Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia (2023).

CV PENULIS :

Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.

Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).(*)

Komentar Anda?

Related posts