Penulis: Daniel Timu
PORTALNTT.COM, ROTE NDAO – Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh DPRD Kabupaten Rote Ndao bersama Pemerintah Daerah, pihak PT Boa Development, perwakilan masyarakat, mahasiswa, dan pihak NIHI Rote, pada Rabu (29/10/2025), kembali menegaskan satu hal: polemik Pantai Bo’a belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Ruang sidang paripurna DPRD yang biasanya hening, kali ini berubah menjadi arena adu argumentasi. Masing-masing pihak bertahan dengan versinya sendiri, sementara rakyat menanti keputusan yang berpihak pada kepentingan publik. Dalam forum itu, tampak hadir Ketua DPRD Rote Ndao, Alfred Saudila, Wakil Ketua I Denison Moy, ST, Wakil Ketua II Lazarus Pah, dan Bupati Rote Ndao, Paulus Henuk, SH, bersama sejumlah anggota DPRD seperti Melkianus F. Haning (Fraksi PKB), Efendi Muda (Fraksi PKB), Mersianus Tite (Hanura), Feki Bulan (Hanura), dan Mikha Manu (Ita Esa).
RDP yang berlangsung sejak pukul 10.00 WITA hingga 15.00 WITA berjalan alot dan menegangkan, terutama karena perbedaan persepsi antara perwakilan masyarakat dan pihak PT Boa Development yang diwakilkan oleh Samsul Bahri.
Meski di akhir RDP Wakil Ketua I DPRD Rote Ndao, Denison Moy, ST, membacakan lima poin kesimpulan hasil RDP, namun publik menilai hasil RDP itu tak menyentuh akar persoalan.
“Masyarakat menilai bahwa tidak ada penegasan dari pihak DPRD maupun Pemda Rote Ndao untuk menolak keras adanya indikasi privatisasi Pantai Bo’a,” demikian salah satu kritik keras yang muncul dari forum.
Kekecewaan masyarakat pun semakin dalam ketika hasil RDP dianggap hanya formalitas tanpa arah penyelesaian. Salah satu tokoh pemuda Desa Bo’a, Ardi Mbatu, menegaskan bahwa harusnya ada sikap tegas dalam keputusan resmi lembaga rakyat itu.
“Selagi tidak ada penegasan untuk menolak privatisasi Pantai Bo’a oleh pihak manapun, maka persoalan ini tidak akan terselesaikan,” tegas Ardi Mbatu.
Pernyataan itu menggambarkan kegelisahan warga yang sudah terlalu lama menunggu langkah nyata dari wakil rakyat. Mereka menilai DPRD dan Pemda seolah terjebak dalam kompromi politik yang mengabaikan fakta bahwa Pantai Bo’a adalah ruang publik yang kini berpotensi berubah menjadi area eksklusif milik investor.
Polemik ini bukan hal baru. Akar konfliknya menembus waktu setahun ke belakang. “Diketahui bahwa polemik terkait penutupan akses masuk Pantai Bo’a oleh pihak PT Boa Development yang sementara membangun Hotel Nihi Rote tersebut telah berlangsung sejak November 2024 lalu.”
Kisah ini bahkan sempat berujung pada tindakan hukum terhadap warga lokal. Polemik berkepanjangan ini dimulai sejak salah satu tokoh masyarakat, yakni Erasmus Frans Mandato yang mengkritisi penutupan akses masuk Pantai Bo’a oleh PT Boa Development melalui postingan di akun facebooknya justru malah dilaporkan oleh PT Boa Development hingga Erasmus Frans Mandato dijadikan tersangka dan sempat ditahan selama hampir 2 minggu oleh Polres Rote Ndao, hingga akhirnya Penahanan terhadap Erasmus Frans Mandato ditangguhkan setelah adanya aksi demonstrasi oleh masyarakat selama 5 hari berturut-turut di Polres Rote Ndao.”
Kasus itu menjadi simbol bagaimana kekuatan warga bisa menekan ketidakadilan, namun juga menjadi cermin betapa rapuhnya posisi masyarakat ketika berhadapan dengan korporasi dan kekuasaan.
