Penulis: Daniel Timu
Editor: Jefri Tapobali
PORTALNTTCOM, ROTE NDAO – Ketua Asosiasi Tambang Rote Ndao (Astero) Endang Sidin
merasa lucu jika DPRD Rote Ndao baru tahu kalau di Rote Ndao ada tambang ilegal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Rote Ndao terendah se-Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kepada sejumlah awak media, di Ba’a, Sabtu (21/01/2023), Endang Sidin mengatakan, tidak merasa terganggu atas berita yang dilansir ntt.targetjurnalis.com dengan judul “Tindak Tegas Pelaku Tambang Ilegal dan Tingkatkan PAD Rote Ndao sebagai Daerah dengan PAD Terendah se-NTT”.
Menurutnya, Astero merupakan organisasi yang terdiri dari para pengusaha tambang yang legal, sehingga tidak merasa terusik dengan penyataan Wakil Ketua II DPRD Rote Ndao Paulus Henuk tersebut.
“Saya tidak merasa bahwa apa yang disampaikan Wakil Ketua II DPRD Rote Ndao Paulus Henuk kepada media tersebut ditujukan kepada kami Astero,” katanya.
Hanya saja, kata Endang, jika melontarkan penyataan seperti itu membuktikan bahwa sejak menjadi anggota DPRD tahun 2019 lalu, DPRD tidak pernah tahu bahwa selama ini material tambang seperti batu, pasir, dan sirtu yang digunakan dalam proses pembangunan di Rote Ndao, sebagian besar merupakan tambang ilegal. Kalau pun ada izin, hanya berupa diskresi yang dikeluarkan oleh Pemprov NTT.
Secara pribadi, kata Endang, dirinya sadar benar bahwa usaha pertambangan rakyat maupun badan usaha harus berizin. Sehingga tahun 2020 lalu dirinya memfasilitasi sejumlah teman pengusaha untuk mengurus izin usaha pertambangan.
Menurut Endang, tahun 2020 dirinya mengumpulkan teman-teman untuk bersama-sama mengurus izin, dan tahun 2021 baru kami sebagian memperoleh IUP Eksplorasi.
“Pada saat itu diskresi dari Pemprov sudah tidak berlaku lagi karena kewenangan sudah ditarik ke Pusat. Jadi semua berjalan menggunakan IUP Eksplorasi. Nanti di akhir 2022 baru keluar lagi kebijakan harus mengurus Operasi Produksi (OP), sehingga anggota Astero sementara mengusrus di PTSP, DLH, dan ESDM Provinsi karena kewenangan sudah dikembalikan lagi dari Pusat ke provinsi,” jelasnya.
Lanjut Endang, kalau dikatakan potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penambangan liar tanpa izin, sebenarnya sudah terjadi di Desa Mukekuku oleh oknum penabang Beny Mulik. Bahkan yang bersangkutan sudah diperintahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup mereklamasi kerusakan yang ditimbulkan. Tetapi sampai saat ini tidak ditindaklanjuti.
Sementara ditanya terkait kontribusi PAD berupa retribusi pertambangan, Endang katakan, harus dilihat izinnya keluar kapan? Ada yang sudah katongi izin sejak tahun 2021 dan 2022, ya pasti retribusinya sudah dibayar. Tapi kalau izinnya keluar di akhir Desember 2022 dan baru melakukan kegiatan Januari 2022, maka tentunya pada bulan depan sudah mulai bayar retribusi.
“Saya sebanrnya enggan membahas retribusi karena di Sidang Anggaran beberapa waktu lalu juga sudah dilaporkan Bapenda dan sudah dibahas dalam persidangan,” imbuhnya.