Drs. Fransiskus Sili, MPd, SMK Negeri 5 Manado
PORTALNTT.COM – Staff khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) Ayu Kartika Dewi menikah dengan Gerald Bastian yang seorang Katolik di Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (18/3/2022), seperti dilaporkan suaramerdeka.com. Peristiwa ini di medsos sempat menuai pro kontra, karena pernikahan beda agama ini.
Sebelumnya di pagi hari Ayu menggelar akad nikah di Hotel Borobudur Jakarta secara Islam, sekitar pukul 07.30 pagi. Setelah itu dilanjutkan dengan misa pemberkatan di Katedral Jakarta pukul 10.00 WIB. Pemberkaan nikah di Katedral Jakarta ini dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta,Mgr. Ignatius Suharyo Pr.
Banyak kalangan, juga para netizen yang mempertanyakan, sehingga peristiwa ini menjadi menarik untuk dipercakapkan.
Bagaimana mungkin Gerard yang Katolik yang terikat dengan makna perkawinannya yang khas boleh menikah secara beda agama.
Apakah perkawinan campur seperti ini dimungkinkan dalam Gereja Katolik, dikaitkan dengan penghayatan perkawinan secara kristiani dan khas Katolik?. Bagaimana kita memahaminya dalam konteks kawin campur?
Pendahuluan
Panggilan kepada kesucian dan keselamatan adalah ajakan kepada semua orang yang telah menerima sakramen baptis dan krisma “untuk mengusahakan kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih” (LG. 40). Ajakan ini hendak diwujudkan oleh “masing-masing menurut karunia dan tugasnya”. Dengan demikian panggilan kepada kesucian bukanlah monopoli kaum berjubah, mereka yang memilih menjadi imam, bruder dan suster.
Perkawinan sebagai bentuk hidup manusia kebanyakan, di samping berakar dari kemanusiaan kita yang sosial, serentak merupakan suatu kenyataan teologis. Sebagai realitas teologis, perkawinan dalam Gereja Katolik ditempatkan dalam konteks panggilan dan usaha mencapai kekudusan dan keselamatan.
Keselamatan sebagai realitas teologis mengandaikan adanya pewahyuan diri Allah sendiri dan jawaban manusia atas tawaran dan panggilan Allah itu. Maka dalam setiap bentuk panggilan, orang berusaha hidup sesuai dengan imannya, mengembangkannya agar membuahkan hasil, untuk kebahagiaan sekarang dan kelak. Dengan demikian aspek iman menjadi unsur hakiki dalam kehidupan orang kristen.
Melalui hidup berkeluarga, suami isteri dipanggil untuk mengusahakan kebahagiaanya dan mengembangkan iman mereka agar berbuah, terutama dalam diri anak-anak yang akan dipercayakan Allah kepapda mereka. Hal ini mengandaikan orang tuanya yang menikah memiliki visi iman yang sama. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa idealisme ini tidak selalu dicapai. Orang mempertanyakan pernikahan antara Ayu dan Gerald ditempatkan juga dalam konteks ini.
Gereja memang mencita-citakan perkawinan antara para warganya yang seiman, satu kali seumur hidup sebagai landasan usaha mencapai keselamatan. Akan tetapi Gereja juga tidak menutup mata dan menghindari berbagai realitas yang dihadapi keluarga kristen, sehingga usaha mencapai keselamatan terhambat atau menemui banyak kesulitan. Bagaimana pandangan Gereja Katolik dalam situasi sulit seperti ini?
I. Perkawinan dan Panggilan Umum kekristenan
Sejak penciptaan dunia, Allah senantiasa mewahyukan DiriNya. Pewahyuan diri Allah yang berlangsung dalam sejarah keselamatan itu kemudian berpuncak pada diri Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma manjadi manusia (1Yoh: 1:14). Pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus tidak lain merupakan pemberian diri Allah. Iman manusia muncul sebagai jawaban dan tanggapan manusia atas pemberian diri Allah itu. Dengan demikian iman dimengerti sebagai pemberian diri manusia kepada Allah yang senantiasa manusia pada pengungkapan iman menuju suatu kesempurnaan: persatuan mesra antara Allah dan manusia.
Dalam Gereja Katolik, panggilan umum menuju keselamatan direalisasikan dalam model-model kehidupan konkret. Pertama, model panggilan imamat (hirarki). Kekhususan tugas kepemimpinan hirarki berhubungan langsung dengan Gereja sebagai “communio” dalam iman. Keanggotaan kelompok ini ditandai dengan tahbisan suci. Kedua, kaum religius. Dengan kaum religius dimaksudkan suatu “status hidup membiara”. Kekhususan hidup mereka ditandai dengan pengikraran dan penghayatan kaul-kaul atau tiga nasehat injil. Ketiga, kaum awam, adalah mereka yang tidak termasuk dalam kelompok hirarki da kaum biarawan atau religius. kekhususan panggilan kaum awam terletak pada tugasnya di tengah dunia dan masyarakat. Di tengah tata dunia para awam dipanggil untuk menggarami bidang kehidupan sekular dengan nilai-nilai injil.
Moodel kehidupan perkawinan secara khusus dihayati oleh kaum awam. Secara teologis, perkawinan merupakan model kehidupan yang direstui oleh Allah sendiri. Pendasaran biblisnya dapat ditemukan pertama-tama dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dalam Kitab Kejadian (1:28), dikatakan, Allah sendiri memerintahkan manusia untuk ‘beranak-cucu dan bertambah banyak’ (bdk juga. Kej. 2:18, 24).
Perkawinan dalam Perjanjian Lama banyak dipergunakan sebagai tanda untuk mengungkapkan hubungan YHWH dengan umat Israel (bdk. Hos. 2:19-20).
Demikianlah dalam Perjanjian Lama, perkawinan diartikan sebagai gambaran hubungan Allah dengan umatNya, yang membawa konsekuensi: panggilan dan perutusan bagi suami-isteri untuk menghadirkan sejarah keselamatan, menghadirkan cinta kasih Tuhan melalui cinta kasih yang bersemi di antara mereka.
Dalam Perjanjian Baru ditegaskan kembali persatuan yang telah dikumandangkan Allah dalam Perjanjian Lama. Yesus menegaskan bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan jangan dipandang remeh seolah-olah dibentuk berdasarkan keinginan manusia sendiri (Mat.5:31-32, 19:12). Paulus pun memberikan penekanan yang cukup penting pada keindahan dan kesucian perkawinan. Di satu pihak, dia melihat perkawinan sebagai lambang persatuan Kristus dengan GerejaNya. Bila seorang suami mencintai isterinya, maka dia menampakkan dan menyalurkan cinta Kristus kepada isterinya, dan kepada Gereja. Begitu juga sebaliknya. Namun di pihak lain,, dari segi kedatangan Tuhan yang kedua, Paulus melihat bahwa perkawinan merupakan hal nomor dua (1Kor. 7:32-35).
Konsili Vatikan II membawa ajaran segar dengan memberi penekanan pada martabat pribadi manusia. Dalam Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.no. 48 ditulis, “Demikianlah karena tindakan manusiawi yang saling menerima dan menyerahkan diri antara suami-isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya… Dan Allah sendiri yang menciptakan perkawinan yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan”.
Perkawinan merupakan suatu realitas yang majemuk. Hidup perkawinan memiliki aspek dan dimensi yang kompleks. Perkawinan kristiani juga tidak dari sifat kemajemukan itu. Di tengah kemajemukan ini perkawinan kristiani tetap memancarkan corak khas tertentu. Corak khas perkawinan kristiani dapat ditemukan dalam hakekat, tujuan, sifat dan dasar-dasarnya.
Hakekat perkawinan kristiani yaitu persekutuan hidup dan cinta antara pria dan wanita dengan maksud saling melengkapi, membahagiakan dan mencapai kesejahteraan bersama. Inti perkawinan adalah kesatuan suami-isteri yang dibangun atas dasar cinta timbal-balik dan yang dikukuhkan dengan perjanjian.
Menurut Kanon 1055, tujuan perkawinan kristiani adalah kesejahteraan suami-isteri, kelahiran dan pendidikan anak. Prof. Dr. Jan van Paasen menambahkan tujuan lain yaitu mengembangkan iman dan mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Dengan menempatkan kesejahteraan sebagai tujuan pertama dari perkawinan dimaksudkan bahwa perkawinan pertama-tama diarahkan kepada kabahagiaan suami-isteri dan bukan pada kelahiran anak. Perkawinan dimaksudkan agar pria dan wanita saling melengkapi dan menyempurnakan dan saling membahagiakan (Kej. 1:28).
Kelanjutan keturunan secara spontan disadari oleh mereka yang hendak menikah. Hal ini sesuai dengan kehendak Tuhan yang terungkap dalam Kej. 1:28. Akan tetapi ‘persetubuhan’ dalam perkawinan pertama-tama dilihat sebagai ungkapan kesatuan cinta kasih yang suci dan total dan saling menyerahkan diri di antara suami-isteri. Persetubuhan itu serentak terbuka kepada kelahiran anak.
Tujuan perkawinan tidak berhenti pada kelahiran anak melainkan berlanjut pada usaha untuk mendidik anak-anak secara kristiani agar mereka mencapai tujuan hidup sebagai manusia dalam aneka dimensinya.
Adapun sifat-sifat perkawinan kristiani menunjuk pada ciri-ciri relasi suami-isteri. Kan 1056 menyatakan “sifat hakiki perkawinan adalah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekhususan dasar sakramen”.
Perkawinan monogam berarti perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Perkawinan monogam mengisyaratkkan adanya relasi ekslusif antara suami-isteri tanpa membagi cinta yang sama kepada pihak ketiga. Dengan demikian perkawinan yang monogam menolak poligami atau poliandri, perkawinan monogam itu sendiri bersifat kekal dan tak boleh diputuskan. Komitmen cinta yang telah dinyatakan di hadapan Tuhan dan sesama adalah ikatan yang tak dapat ditarik kembali.
Perkawinan kristian sekaligus merupakan sakramen, tanda dan sarana keselamatan yang ditetapkan Kristus untuk melambangkan dan sekaligus membagikan rahmat karuniaNya.
Akhirnya terdapat tiga dasar perkawinan kristiani. Pertama, dasar kristologis. Kesatuan Kristus dan GerejaNya adalah ikatan cinta kasih berahmat yang hendak dihadirkan dan diwujudkan Kristus melalui perkawinan.
Dalam perkawinan, Kristus melalui suami memberikan suatu rahmat dan cinta kepada sang istreri, dan sebaliknya sebagai rahmat dan cinta kepada sang suami. Kedua, dasar eklesial. Perkawinan membentuk keluarga, dan keluarga-keluarga kristen yang dibentuk melalui perkawinan ini membentuk Gereja. Ketiga dasar triniter. Cinta kasih perkawinan kristiani mengambil modelnya dan menerima inspirasi rahmat dari cinta kasih dan saling menyerahkan diri di antara ketiga Pribadi Tritunggal.
Uraian di atas sebenarnya memperlihatkan visi kristiani tentang perkawinan sebagai salah satu bentuk pangggilan kepada keselamatan. Keselamatan mengandaikan orang mengembangkan iman dan cinta kasih. Ini berarti idealnya, orang-orang yang menikah harus sama imannya agar lebih mudah mengusahakan keselamatan dalam kebersamaan. Akan tetapi visi kristiani ini tidak selalu dengan mudah direalisasikan karena ternyata perkawinan campur telah menjadi kenyaataan sosial.
II. Memahami Kawin Campur sebagai Suatu Situasi Khusus
Dalam perkawinan, terjadilah percampuran: jenis kelamin, latar belakang keluarga dan budaya, profesi, termasuk percampuran agama. Artikel ini hendak menyoroti perkawinan campur agama, berarti perkawinan antara seorang pihak katolik dengan pihak nonkatolik, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis (atau antara pihak baptizatus dan non-baptizatus). Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa Gereja mengidealkan agar umatnya menikah dengan pasangan yang seiman.
Kawin campur yang hendak dijadikan pokok uraian ini hanya dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana kehidupan dalam keluarga kawin campur membawa kesulitan besar bagi pasangan pihak katolik dan anak-anak, karena iman yang dihidupi secara baik dapat membantu orang mengusahakan keselamatan. Namun kalau Gereja memungkinkan adanya kawin campur beda agama bagi para warganya, dalam situasi tertentu, maka Gereja juga tak akan menutup mata dan membiarkan mereka berjuang sendirian.
Dalam menghadapi kawin campur, Gereja pertama-tama mendasarkan pandangannya pada Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Isaral memiliki kesadaran iman bahwa mererka adalah bangsa pilihan Allah sendiri dan menjadi suatu bangsa yang kudus. Kenyataan ini menimbulkan adanya suatu partikularismme bahkan ekslusivisme. Mereka memandang dirinya berbeda dari bangsa-bangsa lain di sekitarnya yang disebut sebagai bangsa kafir. Oleh karena itu kawin campur antara orang Israel dan bangsa-bangsa kafir cenderung dinilai negatif, karena mengandung bahaya iman dan dapat merusak perjanjian mereka dengan Yahwe (bdk.Mal. 2:10-16).
Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga membahas soal kawin campur dalam 1Kor.1:1-17. Paulus memang tidak menegaskan secara eksplisit apakah kawin campur boleh atau tidak, tetapi Paulus justeru menunjukkan bahwa pihak yang beriman dapat menguduskan pihak-pihak yang tidak beriman. Penegasan Paulus ini secara implisit membolehkan kawin campur, dalam kasus-kasus khusus.
Dari sejarah Gereja diperoleh informasi bahwa pada abad-abad pertama kawin campur dilarang bahkan dianggap sebagai hubungan tidak murni. Sikap ini secara resmi muncul dalam konsili Elvira (sekitar tahun 300). Konsili Laodicea menolak anggapan bahwa perkawinan dengan orang penganut bidaah sama dengan perkawinan dengan orang beriman murni. Namun dalam abad VIII dan IX, perkawinan antara orang Katolik dengan orang non-kristen perlahan-lahan disamakan dengan perkawinan antara oran katolik dengan orang kristen non-Katolik. Di zaman reformasi, kawin campur sudah boleh dilangsungkan dengan tuntutan yaitu ada janji pertobatan pihak non-katolik, cukup ada kebebasan beragama pihak katolik dan untuk mendidik anak-anak mereka secara katolik.
Munculnya KHK 1917 membua kawin campur mulai ditata secara universal. Dalam KHK 1917, kawin campur dibedakan antara kawin campur beda gereja (mixta religio) dan kawin campur beda agama (disparitas cultus). Kedua jenis kawin campur ini dikategorikan sebagai halangan. Kawin campur beda gereja masuk dalam kategori halangan yang merintagi, sedangkan kawin campur beda agama masuk dalam halangan yang menggagalkan.
Dalam KHK 1917 (kan. 1060), Gereja menolak kawin campur beda gereja dengan alasan pertimbangan bahaya iman bagi pihak katolik. Namun Gereja tetap memberikan dispensasi berdasarkan keprihatinan, bahwa di satu pihak ingin mengamankan hukum ilahi dan nilai-nilainya (melindungi iman dan Gereja), tetapi di lain pihak, Gereja mau menghargai hak dan kebebasan orang-orang untuk menikah. Namun dispensasi yang diberikan dalam kasus seperti ini, menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu. Ketentuan kanon ini sebenarnya berlaku juga untuk perkawinan beda agama seperti yang ditegaskan dalam Kan. 1071.
Menjelang dan sesudah Konsili Vatikan II, teologi Gereja memperlihatkan suatu sikap yang kian berubah terhadap agama lain. Hal ini membawa pengaruhnya terhadap pandangan Gereja tentang kawin campur. Sikap Gereja dalam terang Vatikan II ternyata dalam KHK 1983, yang tidak lain merupakan pembahasan secara hukum dokumen Vatikan II. Dalam KHK 1983, kan. 1124, dikatakan: “Gereja melarang perkawinan campur antara dua yang dibaptis, dimana yang satu katolik atau diterima dalam Gereja Katolik sesudah permandian dan yang tidak meninggalkannya secara secara resmi; sedangkan yang lain dikatakan sebagai pihak yang tercatat atau termasuk dalam Gereja atau persekutuan gerejani lain, yang tak berada dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik, jika tanpa izin otoritas berwenang, dilarang”. Namun dalam Kan 1124 ini serentak dikemukakan kemungkinan diberikan dispensasi jika ada alasan yang wajar dan masuk akal.
Pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dipermandikan dan dididik dalam Gereja Katolik.
Kedua, mengenai janji yang harus dibuat pihak Katolik, pihak yang lain hendaknya diberi tahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik. Ketiga, kedua belah pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan serta sifat hakiki perkawinan kristiani, yang tak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Tentang pernyataan janji ini, dalam kan. 1126 dikatakan bahwa, Konferensi Wali Gereja setempat bertugas untuk menentukan baik cara pernyataan dan bagaimana janji itu dibuat, jelas dalam tata lahir dan bagaimana memberitahukan hal itu kepada pihak non-Katolik.
Akhirnya, tentang tata peneguhan nikah, maka dalam kan. 1128 dikatakan bahwa menjadi kewajiban orang Katolik untuk mengikuti dan terikat pada tata peneguhan (forma canonica) Katolik. Karena dalam perkawinan campur satu pihak beragama Katolik, kawin campur tersebut harus juga mengikuti ketentuan kanon ini. Mengenai hal ini dalam kan. 1127 paragraf 1 dikatakan bahwa tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan kan. 1108. Namun dalam paragraf 2 kanon ini ditegaskan bahwa jika menemui kesulitan besar maka setelah mendengar Ordinaris Wilayah, dispensasi dari tata peneguhan Katolik dapat diberikan kepada pihak Katolik di mana perkawinan ini hendak dilangsungkan. Dan jika hendak dibuat tata peneguhan nikah lain, maka demi sahnya (ad validitatem) nikah, tata peneguhan itu harus bersifat publik. Paragraf 3 dari kanon ini justru melarang peneguhan nikah suksesif.
Latar belakang terjadinya kawin campur itu bermacam-macam. Karena itu setiap masalah harus ditangani kasus demi kasus. Pertama, pluralisme agama. Pluralitas telah menyusup masuk ke hampir semua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang agama. Hidup di alam pluralisme menuntut orang untuk saling menghormati kekayaan dan identitas sendiri dan apa yang menjadi identitas dan kekayaan milik orang lain. Sebagai anggota gereja yang hidup di tengah pluralisme agama, muda-mudi Katolik tidak bisa tidak senantiasa berelasi dengan orang-orang yang tidak seagama, bukan saja relasi dalam arti biasa melainkan relasi khusus yang berakhir dengan perkawinan. Hal ini membuka kemungkinan terjadinya kawin campur.
Kedua, dalam kasus kawin campur lain, ada yang menikah karena terdesak oleh situasi ‘kecelakaan’. Karena semakin terbukanya pergaulan di antara orang-orang muda, dan kurangnya pendidikan seksualitas di tengah pesatnya perkembangan di bidang informasi, seks dapat dibicarakan dan dipraktekkan di luar nikah. Akibatnya misalnya, kehamilan yang tidak dikehendaki. Situasi ini bisa membuat orang memilih kawin campur, entah demi nama baik keluarga atau untuk menyelamatkan si janin. Ketiga, besarnya peranan cinta dan kebebasan. Saling mencintai secara tulus dan besarnya kebebasan memilih antara orang-orang muda dapat juga membuka kemungkinan terjadinya kawin campur. Keempat, sulitnya menemukan kecocokan pasangan yang seiman juga bisa membuat orang rela untuk memilih kawin campur. Kelima, perkawinan campur dapat juga terjadi karena orangnya yang sungguh beriman. Justeru karena orangnya sungguh beriman maka ia tak rela meninggalkan imannya, meski dengan alasan untuk menikah. Kawin campur dipilih sebagai alternatif tengah agar tidak kehilangan cinta dan imannya. Tentu saja masih ada banyak alasan lain yang melatarbelakangi berbagai fakta perkawinan campur.
Kawin campur tetap membawa berbagai dampak, entah bagi suami-isteri kawin campur itu, kehidupan iman anak, atau pendidikan rohani mereka dan berdampak juga bagi kehidupan umat dan masyarakat.
Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup, dan agama yang dihayati merupakan salah satu dimensi yang paling menyentuhh kedalaman pribadi manusia. Nilai-nilai agama dan perasaan keagamaan bisa mempengaruhi relasi suami-isteri menuju kehidupan relasional dalam keluarga yang harmonis. Dalam kawin campur, faktor perbedaan agama justeru bisa menjadi kendala. Perbedaan agama menyulitkan “persejiwaan dan persehatian”.
Kesulitan yang dialami oleh pasangan kawin campur ini, juga berdampak pada kehidupan religius anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tersebut. Dari pelbagai penanangan kasus dalam keluarga kawin campur, akan timbul soal misalnya dalam penentuan agama mana yang akan dianut anak-anak, soal pendampingan anak di waktu sakit atau meninggal atau di saat-saat penting khusus dalam hidup sang anak. Hal ini bisa menjadi duri dalam kehidupan keluarga yang dapat menimbulkan keretakan dalam keluarga. Belum lagi situasi hidup dalam kawin campur akan membawa dampak bagi kehidupan Gereja dan masyarakat.
Meskipun demikian harus disadari juga bahwa karena perkawinan adalah suatu putusan pribadi yang membutuhkan tanggungjawab. Kenyataan bahwa perwujudan visi iman agak sulit direalisasikan dalam keluarga kawin campur sudah disadari oleh pasangan yang akan menikah dalam situasi kawin campur.
Bahaya-bahaya dan berbagai kesulitan yang bakal timbul akibat perbedaan agama sudah disadari sebelum mereka memutuskan menikah. Dan kalau mereka sudah memutuskan untuk menikah, maka mereka bertanggugjawab dan siap mengahadapi konsekuensi pilihan dan putusan itu. Meskipun demikian Gereja tidak mungkin membiarkan kawanannya yang masuk dalam situasi khusus dan sulit itu. Tetap ada pendekatan pastoral dan model pendampingan yang dibutuhkan untuk keluarga-keluarga yang hidup dalam situasi khusus. Dengan demikian untuk meminimalisir kesulitan seperti yang dijelaskan di atas, manakah model pendekatan pastoral bagi keluarga kawin campur?
III. Mencari Model Pendekatan Pastoral bagi Keluarga Kawin Campur
Melihat latar belakang terjadinya kawin campur, kita dapat menyimpulkan bahwa perkawinan campur bukanlah yang ideal, kalau ditempatkan dalam rangka pengembangan iman dan perjuangan menuju keselamatan. Meskipun demikian konsekuensi sebagai sosialitas manusia juga tak bisa dihindari. Akan tetapi mengingat besarnya dampak bagi kehidupan suami-isteri,anak-anak dan bagi umat dan masyarakat, maka sikap waspada tetap dibutuhkan. Kewaspadaan ini menuntut agar Gereja perlu berbuat sesuatu agar orang yang belum menikah dapat mempersiapkan diri dan memasuki pernikahan secara bertanggungjawab, dan agar mereka yang sudah terpaksa menikah dalam kawin campur tetap bertahan dalam dan menghayati perkawinannya secara maksimal dan bertanggungjawab. Inilah tantangan pastoral Gereja sekarang.
Bagian terakhir ini memusatkan perhatian kita untuk mencari model pendekatan pastoral bagi kelurga kawin campur. Artinya,, menghadapi realitas kawin campur, secara pastoral, apa yang seharusnya dapat dibuat sehingga idealisme perkawinan kristiani dapat dicapai.
Pendekatan pastoral yang dimaksudkan di sini adalah pelbagai usaha memimbing, menyadarkan serta mengarahkan setiap orang kristen agar semakin dekat dengan Kristus. Pastoral dimengerti sebagai sikap, kata dan tindakan yang berkaitan dengan kegembalaan Tuhan, atau mengusahakan sesuatu agar umat dalam apapun situasi hidup mereka tetap merasakan kegembalaan Tuhan sendiri yang dihadirkan melalui kegiatan penggembalaan Gereja.
Bagaimanapun juga pasangan kawin campur adalah keluarga yang hidup dalam situasi khusus. Kekhususannya terletak pada kenyataan bahwa mereka memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang tidak seiman. Setiap keputusan menikah dalam kawin campur mengandung dua hal menarik. Pertama, mereka adalah orang-orang beriman yang serius dalam agamanya. Karena itu mereka tidak tega meninggalkan agamanya begitu saja, meski dengan alasan untuk mendapatkan pasangan yang nonkatolik dan menikah dengannya.
Sebagai orang beriman serius mereka sungguh membedakan soal perkawinan sebagai bagian hidup yang manusiawi dan agama sebagai hal yang personal dan fundamental karena menyangkut pemaknaan hidup dan pencapaian keselamatan.
Kedua, perbedaan agama sebagai faktor mendalam ikut mempengaruhi kepribadian dan penghayatan hidup seseorang: cara berpikir,merasa dan bertindak. Bagi suami-isteri, perbedaan agama dapat menjadi hambatan serius untuk mengusahakan hubungan yang terbuka, erat dan penuh kepercayaan. Soal melemahnya iman katolik dan masalah permandian dan pendidikan anak, yang justeru menjadi pokok keprihatinan Gereja tidak bisa dianggap remeh. Namun karena putusan menikah dalam kawin campur sudah diambil maka kerelaan hidup dalam konsekuensi atas pilihan itu harus diterima oleh pasangan yang menikah dalam kawin campur.
Meskipun demikian, pasangan kawin campur mutlak membutuhkan perhatian Gereja berupa bantuan-bantuan rohani (FC. 78). Wujud perhatian Gereja dapat dilihat dalam dua model pendekatan berikut ini:
Langkah awal dalam model pendekatan prefentif, yaitu mempersiapkan anak dan kaum muda untuk hidup berkeluarga. Usaha persiapan ii mesti dimulai dari keluarga masing-masing. Orang dan keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang tak tergantikan untuk mengusahakan pendidikan anak-anak, termasuk mempersiapkanya untuk memasuki jenjang perkawinan. Sekolah-sekolah dan kampus Katolik kiranya juga mengemban tugas yang sama.
Di samping itu pembentukan kelompok khusus kaum muda, seperti Choice, OMK, KKMK, PMKRI dll dapat menjadi ajang pertemuan kaum muda. Di sana mereka dapat bertemu dengan orang-orang muda yang seiman dan dapat menjalin persahabatan khusus yang mengarah pada dan berakhir dengan perkawinan.
Meskipun persiapan dalam keluarga dan Gereja ‘memadai’ dan memang hal ini sudah berlangsung lama dalam Gereja, akan tetapi realitas kawin campur tetap saja tak dapat dihindari, mengingat keberadaan kita sebagai kelompok minoritas. Maka tugas kita sebagai Gereja adalah mempersiapkan mereka yang secara khusus akan masuk dalam kawin campur. Hal ini pun dalam praktek persiapan nikah di paroki-paroki dan keuskupan sudah berlangsung sejak lama. Kalau persiapan nikah bagi pasangan yang katolik-katolik membutuhkan waktu 3 bulan, maka persiapan bagi pasangan kawin campur memerlukan waktu lebih lama.
Persiapan bagi para calon pasangan nikah selalu membutuhkan team khusus yang melibatkan team kerja pastoral dari berbagai disiplin ilmu dengan suatu kurikulum tetap dan terpadu. Hal ini sudah menjadi pola yang umum di setiap paroki. Team ini akan memberi perhatian khusus sejak persiapan sebelum peneguhan perkawinan sampai pendampingan bagi keluarga sesudah menikah. Dalam proses persiapan ini, bahaya, kesulitan dan tantangan bagi keluarga pada umumnya dan keluarga pasangan kawin campur khususnya dijelaskan. Para pastor paroki ketika menerima para calon yang melapor atau mendaftar selalu menganjurkan kepada calon untuk memurnikan dan menguji kembali pilihan mereka mengingat kesulitan dalam keluarga kawin campur. Namun keputusan terakhir selalu diambil oleh pihak Katolik dan pasangannya.
Sedangkan untuk keluarga-keluarga kawin campur sendiri, model pendekatan kuratif, untuk pemeliharaan kiranya lebih cocok. Dasar pelayanan Gereja terhadap keluarga kawin campur yaitu “Gereja melayani keluarga” (FC. 65).
Dari Gereja sendiri, tugas melayani keluarga dilihat sebagai mandat dari Kristus sendiri. “Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yoh. 21:15). Sedangkan dari sudut keluarga, masalah-masalah yang dihadapi keluarga bisa menjauhkan mereka ari Gereja dan Kristus. Oleh karena itu tugas pastoral Gereja bagi keluarga memang amat penting dan melibatkan seluruh anggota Gereja.
Gereja memiliki gembala-gembala resmi seperti para uskup dan para imam. Di sekitar mereka ada begitu banyak awam yag bisa diberdayakan untuk berpartisipasi dalam karya penggembalaan Gereja. Tanggungjawab bersama atas pastoral keluarga di keuskupan terletak di tangan para uskup diosesan. Dalam pelaksanaannya, para uskup dibantu oleh para imam, khsususnya para pastor paroki dan diakon. Kaum religius pun dapat memberikan partisipasi dan bantuan untuk pastoral keluarga. Sumbangan mereka terletak pada pembaktian hidup mereka kepada Allah dan kerajaanNya. Mereka dapat mengembangkan pelayanannya demi kebaikan keluarga dan kelestarian nilai-nilai, ikut mempersiapkan kaum muda untuk perkawinan dan bentuk hidup lainnya (FC. 74). Sedangkan kaum awam, teristimewa para ahli yang disiapkan secara khusus dapat ikut memberi penerangan, nasehat, bimbingan dan dukungan yang membantu keluarga-keluarga dalam menghayati perkawinannya sebagai bentuk tanggap akan kasih Allah.
Mengingat kompleksitas masalah yang dialami keluarga kawin campur dan melihat begitu banyaknya aset Gereja yang bisa diharapkan terlibat, ada beberapa usulan kemungkinan pendampingan pastoral. Namun sikap pastoral yang ditempuh perlu memperhatikan beberapa prinsip umum antara lain: menghormati hak manusia untuk memilih status hidup, menghormati kebebasan dan hati nurani, menghormati hak orang untuk menikah dan memeluk agama serta menyadari arti janji sebelum peneguhan perkawinan.
Pertama, mendorong para pemimpin gereja untuk memperhatikan dan memberikan hati pada pelayanan terhadap keluarga kawin campur.
Kedua, alangkah baiknya kalau dibentuk pula kelompok khusus keluarga kawin campur agar memudahkan pelayanan bagi mereka. Situasi keluarga mereka berbeda dengan keluarga kristiani pada umumnya. Jadi dasar adanya kelompok khusus keluarga kawin campur adalah keluarga-keluarga ini karena jauh dari idealisme untuk membentuk keluarga katolik, sering dilihat sebagai keluarga bermasalah. Banyak dari mereka juga enggan melibatkan diri dalam kehidupan bersama di tengah umat dan masyarakat. Pembentukan kelompok ini memudahkan proses pendampingan lanjut bagi mereka, dan mereka sendiri pun dapat saling memberikan dukungan, sehingga tidak merasa ditinggalkan.
Ketiga, memberdayakan Badan Koordinasi Keluarga Antaragama karena masing-masing agama melihat keluarganya sebagai bagian dari tanggungjawabnya. Kerja sama seperti ini perlu melibatkan agama-agama terkait. Bimbingan masyarakat setiap agama di setiap Kementrian agama bisa membangun koordinasi di antara mereka dalam pendampingan keluarga kawin campur.
Keempat, bagaimanapun juga perlu ada upaya melibatkan keluarga-keluarga kawin campur dalam hidup menggereja, karena mereka bukanlah keluarga ‘kelas dua’. Akhirnya perlu dikembangkan secara maksimal pastoral keluarga bagi keluarga kawin campur. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa keluarga kawin campur pun termasuk anggota Gereja dan karena itu mereka tetap harus dirangkul dan digembalakan. Karya penggembalaan ini mengambil modelnya dari sikap dan teladan Yesus sendiri, yang mencari dan menyelamatkan semua (Luk. 19:10) dan terus menerus berusaha agar “semua yang diserahkan Bapa kepadaNya tidak hilang binasa melainkan beroleh hidup kekal” (Yoh. 6:39).
Pantas diingat bahwa di antara suami-isteri sendiri perlu ditumbuhkan sikap cinta kasih dan kesetiaan antarpasangan sambil terus menghargai hak dan kebebasan mereka untuk menikah dan hak mereka untuk memeluk agama. Mereka tetap didorong dan dibantu agar tetap setia dalam imannya, bagaimanapun Gereja hanya membantu.
Penutup
Perkawinan campur tetaplah menjadi suatu realitas sosial dan kehidupan keluarga itu sendiri tetaplah menjadi realitas majemuk. Karena itu menghadapi realitas seperti ini perlu ditumbuhkan cara pandangan khusus, memperhitungkan aneka faktor kesekitaran dan tidak menggunakan sudut pandangan tertentu, apalagi kalau itu sempit. Kawin campur adalah keluarga dalam situasi khusus, maka penangannya pun harus dengan cara yang khusus. (***)