Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd
Ada yang bilang tahun 2020 ini Cuma terdiri dari 4 bulan, Januari-Februari-Maret-CORONA. Memang benar COVID-19 mengubah banyak hal dalam hidup kita, termasuk yang kita sudah rencanakan dalam Resolusi 2020. Tetapi salah satu hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah waktu, waktu akan terus berjalan, begitu juga hidup kita.
Kita hidup dalam waktu, namun kalau ditanya apa itu waktu, kebanyakan kita enggan menjawabnya. Itulah kenyataan yang kita alami dan harus kita akui. Terkadang kita menjadi heran, mendengar orang mengeluh bahwa waktunya terlalu panjang atau terlalu pendek dan berlalu begitu cepat. Yang lain mengatakan bahwa waktunya pendek dan cepat, yang lainnya mengatakan waktunya panjang dan membosankan. Pada hal setiap kita mengalami waktu yang sama dalam tahun 2020 ini, yakni 12 bulan, 52 minggu, 366 hari, 8784 jam, 737.040 menit, dan 3.722.240 detik. Itu berarti yang menjadi tanggungjawab kita sebenarnya buan soal panjang-pendeknya waktu, tetapi penggunaan waktu itu sendiri. Sukses dan gagal dalam hidup dan karya itu toh tergantung pada bagaimana caranya kita menggunakan waktu secara kreatif dan produktif.
Kita tidak dapat menyimpan dan mengumpulkan waktu. Tiap bulan, minggu, hari, jam, detik berlalu dan tak pernah dapat kembali. Tidak mungkin kita mengalami dua kali waktu yang sama, seperti kita pun tak mungkin mandi dua kali dengan air yang sama di sungai yang sedang mengalir. Detik yang dapat kita gunakan, ialah detik yang sekarang, yang barusan saja kita alami.. kasihan, kalau detik-detik itu berlalu tanpa digunakan secara maksimal.
Setiap hari sebenarnya kita menerima dari Tuhan. Sang Pemilik Waktu itu bagaikan buku dengan lembaran baru yang kosong. Kita masing-masing diberi kebebasan untuk: entahkah membiarkannya tetap kosong begitu atau mengukir dan mengisinya, lembar-demi lembar dengan berbagai kegiatan bermakna bagi diri dan sesama.
Waktu telah diberikan Tuhan kepada kita dengan cuma-cuma, sebagai harta berharga, tidak untuk dipendam tetapi digunakan supaya dapat berguna dua atau tiga kali lipat. Orang yang memendamkan karunia itu dan tidak mengembangkannya dalam injil tentang talenta dikutuk sebagai hamba pemalas dan jahat dan tidak pantas untuk Kerajaan surga.
Tahun 2020 akan segera berlalu dan sesuai Protokol Kesehatan kita tidak berpesta secara meriah seperti tahun-tahun sebelumnya dengan meriah, kembang api dan berkumpul dengan banyak orang. Kita dilarang untuk membuat keramaian dan merayakan pergantian tahun di rumah sendiri.
Di masa pandemi ini, kita terus diingatkan dan kiranya makin menyadari bahwa larangan membuat kerumunan bukan hanya sebuah norma hukum, tetapi juga suatu norma dalam hati nurani.
Diharapkan bahwa setiap warga memiliki kesadaran, mau menaati petunjuk pemerintah dan para petugas medis, demi kepentingan bersama. Semua warga dihimbau agar mampu menahan diri dari hasrat untuk berkerumun, apalagi kalau hanya untuk memenuhi keinginan sementara dan sekelompok orang saja. Norma-norma itu bertujuan agar kita turut mewujudkan semangat berbela rasa: hidup dalam kesadaran akan keberadaan sesama di sekitar kita. Lagi pula kalau kita mengaku sebagai orang beragama, norma-norma tersebut jelas merupakan bagian dari intisari ajaran agama.
Wabah corona membantu kita lebih sadar bahwa manusia itu makhluk sosial, sehingga ia memang membutuhkan relasi dengan sesama. Manusia tidak terlempar sendirian di dunia. Menjadi makhluk sosial mengandaikan dua hal: diriku sudah terbentuk dengan baik, dan karena itu, saya mampu membangun relasi yang baik dan benar dengan sesama. Dalam situasi khusus wabah corona, menjadi diriku berarti tidak mudah ikut ramai dalam kerumunan, apa lagi kalau kerumunan itu penuh resiko bagiku dan bagi sesama.
Fenomena ‘berkerumun’ yang terjadi di tengah pandemi corona menimbulkan pertanyaan: Mengapa orang masih berani berkerumun tanpa mengindahkan aturan pembatasan sosial dan fisik? Mudah dimengerti bahwa sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama. Tetapi untuk sungguh menjadi makhluk sosial, diperlukan satu tahap yang lebih serius: orang sudah selesai dengan dirinya, menjadi pribadi, mampu menerima dan menghargai diri. Kalau tahap itu belum tuntas, maka sangat mungkin bahwa corak ‘makhluk sosial’ diterjemahkan secara dangkal: individu yang suka tenggelam dalam kerumunan. Tentu tak mudah mengatur orang yang suka tenggelam dalam kerumunan.
Kita mengalami bersama bahwa tahun 2020 adalah tahun krisis terbesar di dunia. Virus corona membuat segalanya berubah dengan cepat dan menyeluruh. Seluruh aspek hidup kita diterpa badai virus corona. Banyak penderitaan terjadi, banyak orang kehilangan pekerjaan, terlebih lagi, banyak orang kehilangan nyawa, entah karena terpapar atau menjadi pahlawan kemanusiaan seperti para nakes yang mengorbankan hidupnya bagi kita. Para dokter dan tenaga ahli, para medis, keluarga dan saudara sebangsa telah menjadi korban virus mematikan ini. Meski semua ahli di berbagai belahan dunia bergelut dengan ilmu dan penelitian untuk menemukan dan menguji serta membagikan vaksin dengan berbagai jenis, toh, kita menyadari bahwa semua berharap mengarah pada pengakuan akan belas kkasihan dan kekuasaaan Tuhan. Sehingga semua kita, meski berbeda agama berdoa mohon bantuan dan perlindungan Tuhan. Biarlah semua pengalaman perjuangan dan usaha kita baik sebagai bangsa maupun warga bumi ini terus bergerak maju menuju titik terang, dan semua pengalaman pahitnya terbenam, tenggelam bersama sang waktu 20020. Kini, di saat-saat terakhir menjelang pergantian tahun, kita diajak sepertinya untuk STOP, sama seperti Para Pembalap juga memiliki waktu untuk Pit-Stop untuk mencharge-lagi kekuatan untuk bertarung lebih hebat dan tangguh dari sebelumnya. Di atas segalanya, kita sama seperti orang Samaria dalam Injil, kita mau bersyukur untuk semua yang baik dan menyenangkan, untuk semua keberhasilan yang kita peroleh. Kita bersyukur atas karunia waktu yang telah kita terima di tahun 2020 dengan segala suka-dukanya. Kita juga mau mengenangkan dan mendoakan semua yang berjasa dalam hidup dan karya kita secara pribadi dan bersama, baik sebagai warga bangsa maupun anggota Umat Allah.
Menyadari kelemahan dan kekurangan kita, kita juga pantas mohon ampun dari Tuhan. Kita pantas saling memafaatkan seraya membangun tekad baru untuk hidup bersama secara lebih baik di negeri ini yang kita sadari amat pluralis. Oleh karena itu marilah memaknai beberapa jam sebelum perpisahan tahun ini juga sebagai waktu untuk STOP dan merefleksikan setahun yang kita lewati ini. Untuk mengenang kemenangan tapi juga kesalahan kita, Janji yang kita tepati dan ingkari, waktu bagi kita membuka diri untuk petualangan baru, atau menutup diri dari rasa takut untuk disakiti.
Layar tahun 2020 perlahan-lahan kita gulung dan sebentar lagi kita turunkan. Tentu sudah sekian banyak badai, topan dan angin yang menerpa dan meniupi layar tahun hidup kita dan mungkin sebagiannya rabik dan terkoyak-koyak. Pasti penyelesalan tiada hentinya atas semua kemalangan dan kegagalan di tahun yang akan lewat. Namun di hati kecil, masing-masing kita tentu menyimpan damba dan niat suci untuk hidup lebih baik di tahun penuh berkat dan penuh pengharapan ini. Pemerintah dan bangsa kita memiliki sejuta cita untuk mewujudkan cita-cita bangsa kita.
Tahun Baru berarti mendapat kesempatan lain, kesempatan memaafkan, melakukan lebih banyak. memberikan lebih banyak, dan lebih mampu mencintai, dan terutama berhenti mengkhawatirkan bagaimana kalau sudah normal, sudah tanpa covid, dan mulailah menghadapi situasi Covid ini apapun yang akan terjadi. Maka ingatlah di perpisahan tahun sebentar untuk selalu mengusahakan Hukum Cinta Kasih Matius 22:37-40, Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28, yaitu “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” dengan makin dekat dengan Tuhan, bersikap baik terhadap sesama, bukan hanya malam ini, tetapi sepanjang tahun bahkan sepanjang hidup kita.
Mari kita terus berjalan, menyongsong dan mengarungi tahun baru dengan keyakinan ini bahwa Roh Tuhan senantiasa berkarya membimbing dan menuntun kita sekalian. Ke dalam tanganNya kita serahkan tahun 2020 dengan semua pengalamannya, juga cita-cita, niat, harapan dan usaha hidup kita di tahun baru, 2021.
Orang Roma mengatakan : “Tempora mutantur et nos mutamur in illis”. Waktu berubah terus dan kita pun hanyut di dalamnya. Kita masuk di dalamnya, namun tak akan terhanyut, karena kita punya satu harapan bahwa Tuhan senantiasa hadir dan menyertai setiap jejak langkah perjalanan dan peristiwa hidup kita di tahun baru nanti, sama seperti Ia menyelenggarakan hidup kita di tahun 2020. Mari kita berdoa semoga tahun 2021 menjadi satu tahun kebahagiaan, berisi 12 bulan kedamaian, 52 minggu saling menghargai, 366 hari kasih sayang, 8784 jam penuh solidaritas, 537.040 menit toleransi sebagai sesama makluk Tuhan, 3.722.240 detik doa penuh pasrah pada belas kasih Tuhan. Selamat Tahun Baru 2021.