OPINI
Penulis: Drs. Fransiskus Sili, MPd, Guru SMK Negeri 5 Manado
Cinta dan pengalaman jatuh cinta biasanya tidak mengenal kriteria dan pembedaan. Seorang pemuda keturunan Cina bisa saja jatuh cinta kepada seorang gadis, anak tukang bangunan. Atau seorang yang hampir tidak tamat SD bisa jatuh cinta dengan seorang dokter yang kaya dan cantik dan keduanya menikah dan punya anak.
Cinta dan jatuh cinta biasanya berawal dari perjumpaan dalam pertemuan biasa atau kegiatan bersama yang melibatkan banyak kaum muda, baik luring maupun daring seperti sekarang ini.
Dari pertemuan atau perjumpaan, orang muda lalu berkenalan, saling tertarik. Mula-mula dalam relasi basa-basi atau sekedar pertemuan biasa. Dari telepon-menelpon, chat WA dan sms, kunjung-mengunjung, pacaran dan seterusnya. Apalagi berkat kemajuan media sosial seperti sekarang ini. Akhirnya mereka jatuh cinta dan membentuk relasi khusus dan menetap dan masuk ke jenjang perkawinan.
Cinta, apalagi kalau cinta personal berawal dari saling bertemu dan saling kenal itu. Dan kalau mungkin dapat berakhir dengan perkawinan. Dengan kata lain, proses dapat diurutkan sebagai berikut: mengenal-mencintai dan akhirnya kawin. Tetapi rupanya orang-orang muda zaman ini, seperti pernah dicatat Dr. Alex Paat, mudah memutarbalikkan urutannya: begitu kenal, lalu kawin, baru kemudian cinta. Bahkan lebih gawat lagi, kawin dulu baru mengenal dan untuk menumbuhkan rasa cinta.
Dalam dunia muda-mudi ini, masa berpacaran adalah masa “masa perkenalan” antara pria dan wanita (orang muda) yang saling merasa tertarik untuk menumbuhkan dan menjalin suatu hubungan pribadi yang bercorak khusus. Sebagai insan sosial, ‘kita’ (baca: orang muda) membutuhkan teman, sahabat, kenalan, dll. Akan tetapi relasi seorang pacar berlainan dengan relasi antar teman atau sahabat biasa. Itulah sebabnya, hubungan merekapun merupakan hubungan yang bercorak khusus dan masa berpacaran adalah masa untuk meningkatkan relasi khusus tersebut.
Sebagai kesempatan untuk meningkatkan relasi khusus di antara mereka masa berpacaran hendaknya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti ditulis Dr. A. Sujoko. Pertama, mengenal diri satu sama lain. Bila orang sudah dimabuk asmara, apa saja rela dibuat untuk mendapatkan hati dan cinta kekasihnya. Bahkan tak jarang ia tak peduli dengan usaha memperdalam pengetahuan dan pengenalan yang benar tentang kekasihnya itu.
Ia tak peduli untuk mencari tau informasi yang jelas dan benar tentang dimensi-dimensi positif dan negatif dari dirinya sendiri dan pasangan. Padahal pengenalan tentang siapakah pacarnya, bagaimana latar belakang keluarga atau orang tuanya, watak atau tempramennya, dan terutama agama atau keyakinan yang dihayati pasangannya sangat penting. Mereka cendrung sibuk saja dengan urusan-urusan sepele: makan di luar rumah, nonton, kencan, hiburan dan sebagainya. Segala kelemahan dan kekurangan dikalahkan oleh rasa cinta yang menggebu. Padahal yang perlu diperhatikan adalah, orang baru mencintai kalau sudah mengenal, orang baru bisa kawin kalau sudah mencintai, orang baru bisa mencintai dan kawin kalau sudah mempertimbangkan rupa-rupa hal, sebab perkawinan adalah pengabdian cinta dan bukan permulaan perkenalan.
Perlu diingat bahwa proses ini bukanlah hal gampang karena tiap orang cendrung menyimpan dalam dirinya banyak hal, yang sering tak tersentuhkan oleh orang lain. Itulah soalnya!
Kedua, menyadari batas antara idealisme dan kenyataan. Pada umumnya tiap orang memiliki gambaran yang ideal tertentu tentan calon pasangan hidupnya nanti. Gambaran yang dimaksud tidak saja mencakup segi fisik, misalnya tinggi badan, ganteng-cantiknya atau unsur fisik lainnya, tetapi juga sikap dan kepribadian, hobi dan kesenangan pasangan, agama dan kebiasaan, latar belakang pendidikan dan budaya dsb.
Faktor-faktor ini dapat disesuaikan dengan proses identifikasi. Makin banyak persamaan atau keserasian di antara mereka berdua, maka akan mudah tercapai penyesuaian. Akan tetapi lain kali apa yang diidealkan itu tidak mudah didapatkan. Karena sulitnya menemukan idealisme ini, maka orang yang sedang berpacaran harus mampu menjembatani yang ideal yang diharapkan dan kenyataan yang dihadapi dalam diri pasangannya. Kalau tidak, kecewa dan frustasi bakal menimpa mereka. Dan kalau ini dipertahankan dan dibawa masuk dalam perkawinan akan membahayakan perkawinan mereka itu sendiri. Kalau orang dapat menerima dirinya sendiri maka orang dengan mudah juga untuk menerima pasangan apa adanya. Meskipun sulit, inilah prasyarat untuk mengalami cinta sejati.
Maka memurnikan motivasi cinta menjadi hal mendasar.
Pengalaman jatuh cinta adalah pengalaman khusus dan luar biasa, karena di dalamnya orang merasa dicinta sebagai pribadi: sebagai pria dan wanita. Pengalaman ini sungguh menarik dan membantu orang melihat sesuatu di luar dirinya atas cara yang baru. Akan tetapi pengalaman cinta seperti ini belum boleh dijadikan dasar perkawinan yang bersifat menetap itu. Pengalaman itu masih diselubungi dengan impian romantis karenanya belum bisa disebut cinta yang sejati, meskipun pengalaman itu begitu mendebarkan hati kedua insan. Apalagi cinta seperti itu berawal dari daya tarik fisik semata-mata.
Kita harus mengajukan beberapa pertanyaan seperti: apa tujuan perkawinan, apa artinya menjadi suami-istri, artinya menjadi orang tua, dsb. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah masuk dalam wilayah etis bahkan moral teologis. Hal masuk rumah tangga adalah suatu masalah serius dalam hidup manusia.
Oleh sebab itu keputusan untuk menikah perlu direnungkan dengan tenang, diperlukan waktu untuk menguji ketahanan dan motivasi cinta dan dibebaskan dari pengaruh-pengaruh luar supaya orangnya secara bebas dapat mengambil keputusan dan bertanggungjawab atas pilihannya.
Dr. Singgih Gunarsah pernah mencatat: “Memilih teman hidup merupakan tugas maha berat. Tidak semudah apa yang dikatakan orang: mendapat jodoh. Memang, jodoh yang baik harus dicari dan dipilih dengan saksama lagi bijaksana. Ini berarti bahwa pilihan betul-betul melalui proses pertimbangan dan tak hanya berdasarkan cinta semata-mata atau napsu birahi saja.”
Kemampuan dan motivasi cinta psikofisik. Sebagai mahluk hidup, kita membutuhkan makanan, beristirahat atau merasakan adanya dorongan untuk menyentuh dan disentuh, dipegang atau dipuaskan secara fisik, maupun secara seksual. Ada saat dimana kita merasakan dorongan seks begitu kuat. Meskipun begitu, kita adalah mahluk yang tidak saja memiliki kebutuhan badani, melainkan kita hadir juga sebagai pribadi di tengah lingkungan sesama.
Dalam perjumpaan dengan lawan jenisnya, orang muda tertarik oleh karena adanya dorongan seksual yang keluar dari dirinya. Naluri seksual ini begitu mempengaruhi sehingga orang tidak saja ingin disentuh atau dipegang atau lawan jenisnya melainkan ingin bersetubuh dengan dia. Meskipun naluri ini cukup kuat, tapi ia tidak bertahan lama. Ia akan segera hilang dan muncul kembali kalau ada dorongan atau rangsangan yang baru. Rangsangan ini sering datang tiba-tiba, tanpa kita memikirkannya lebih dahulu.
Sr. Joyce Ridick dalam Kaul, Harta Melimpah Dalam Bejana Tanah Liat, mengungkapkan dengan jelas : “Tubuh kita mengandung kebutuhan naluri yang menjadi dasar kontak prasadar antara diri kita dan dunia. Tubuh kita mengaktifkan jalinan relasi dengan sesama, misalnya posisi badan, kehangatan, perhatian atas kekasaran terhadap orang yang secara emosional, seksual, atau fisik”
Pada taraf kemampuan fisik ini, secara spontan kita merasa tertarik akan apa saja mendahului kemampuan refleksi kita. Tubuh kita memang terbentuk dengan aneka kemampuan untuk bereaksi, atau mencari kepuasan tertentu, merangsang dan dirangsang, dan seterusnya.
Keinginan mencinta dalam taraf ini sering muncul dalam bentuk cinta kedagingan atau cinta eros. Dalam taraf ini nilai yang lebih diprioritaskan lebih bercorak badaniah/naluriah, dimana “nilai tubuhku” untuk orang lain dan sebaliknya “nilai tubuh orang lain” untuk diriku. Meskipun demikian, seksualitas kita tidak sebatas itu saja. Oleh karena itu pemurnian motivasi cinta psikofisik harus diusahakan terus-menerus agar bisa mencapai taraf yang lebih tinggi yaitu kemampuan dan motivasi cinta psiko-sosial.
Motivasi cinta dalam level ini bergeser dari kebutuhan-kebutuhan jasmani kepada kebersamaan hidup atau hidup sosial. Bila dibandingkan dengan kemampuan taraf pertama, maka cinta pada level ini bersifat obyektif dan menuntut tanggung jawab sosial. Dan oleh karena relasi sosial dan persahabatan itu adalah tindakan pria dan wanita, maka semestinya ia bertanggungjawab atas apa saja yang dibuat atas relasi sosial itu. Pada taraf ini orang mencintai pasangannya sebagai pria dan wanita yang punya daya tarik sosial, dan bukan sekedar sebagai obyek yang berjenis kelamin belaka. Bercinta dimaksudkan demi perkembangan pribadi kedua belah pihak. Tujuan sosial dan perkembangan secara bersama ini diletakkan di atas mengejar kesenangan atau kenikmatan sekejab.
Singkatnya, kemampuan dan motivasi cinta tahap ini hendak membantu penyempurnaan diri secara fisik maupun kejiwaan dan memungkinkan yang lain membantu perkembangan dan penyempurnaan diri kita. Dalam aspek sosial, cinta dan seksualitas mendapat horison demi kebaikan bersama, bukan demi pemuasan kesenangan naluriah-badaniah. Motivasi ini harus dimurnikan menuju motivasi cinta agape.
Bila kemampuan dan motivasi cinta pada dua taraf di atas, lebih bercorak spontan dan mengandung taraf relasi seksual dan sosial, maka cinta pada taraf ketiga ini membuka cakrawala lebih tinggi dan yang dapat memungkinkan orang sampai pada cinta sesama yang murni dan khas manusiawi. Di sini orang mencinta bukan lagi karena daya tarik fisik atau karena sifat-sifat yang membantu kebersamaan hidup tetapi terlebih kepada sikap mencintai orang seperti apa adanya. Dengan kemampuan ini kita dapat menemukan nilai-nilai cinta yang lebih rohani dan murni berdasarkan kebenaran dan kebaikan orang yang dicintai dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya kepadanya.
Cinta pada taraf ini merupakan suatu keputusan untuk membaktikan diri pada orang lain yang dicintai, memberikan diri sepenuhnya baik secara fisik, sosial maupun rohani. Dengan demikian mutunya akan menjadi lebih mendalam dan tahan uji sebagai penyerahan diri kepada yang dicintai, dan bukan sekedar menginginkan tubuh orang lain sebagai pemuas naluri seksual, atau membangun relasi yang bercorak sosial.
Berkaitan dengan ini, mengutip Wojtyla, Sr. Joyce Ridick mengingatkan: “cinta secara psikologis menjadi penuh apabila mengandung nilai pribadi dan bukan karena mendapat obyek kenikmatan dan kesenangan entah secara fisik atau social”. Dalam cinta yang demikian terkandung penyerahan diri total dalam arti spiritual dan moral. (***)