Oleh: John Bahy
Saya teringat akan sebuah kisah inspiratif tentang seorang yang bernama Tenzing Norgay. Ijinkan saya membagikan sedikit kisahnya.
Sir Edmund Hillary, yang berasal dari Selandia baru, adalah orang pertama yang berhasil mencapai puncak gunung Everest, gunung tertinggi di dunia. Namun di balik kisah sukses luar biasa Sir Edmund Hillary, ada cerita tentang seseorang yang tidak kalah menariknya. Orang itu adalah Tenzing Norgay.
Tenzing Norgay adalah seorang penduduk asli Nepal yang bekerja sebagi pemandu, atau _Sherpa_ dalam bahasa lokal, bagi para pendaki gunung yang berniat mendaki gunung Everest.
Keberhasilan Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 29 Mei 1953 tentu saja menjadi sangat fenomenal. Karena keberhasilannya itu, Sir Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang terkenal di seluruh dunia.
Tapi, mengapa Tenzing Norgay tidak ikut menjadi terkenal dan mendapatkan juga semua yang di dapatkan oleh Sir Edmund Hillary? Padahal ia adalah pemandu yang menentukan keberhasilan Sir Edmund Hillary mencapai puncak Everest. Kalau dia mau, dia bisa saja menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest dan bukan Sir Edmund Hillary.
Dari sekian banyak reporter yang telah menunggu kepulangan mereka, ada seorang reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay.
Reporter: Bukankah Anda seorang Sherpa bagi Edmund Hillary? Tentunya posisi Anda berada di depannya, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak gunung Everest? Mengapa Anda melakukan itu?
Tenzing Norgay: Tugas saya adalah mengantarnya, dan saya bahagia telah melakukannya. Mencapai puncak adalah impian Edmund Hillary, bukan impian saya. Impian saya adalah berhasil membantu mengantarkannya meraih impiannya.
Tenzing Norgay tidak menjadi serakah akan ketenaran atau rakus menjadi populer, sekalipun kesempatan itu ada di depan matanya. Ia bahagia telah menjadi pengantar bagi orang lain.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dapat melihat sebuah percikan cahaya dari spiritualitas hidup Yohanes Pembabtis, tentang kerendahan hati yang ia miliki ketika ditemui dan diwawancarai oleh beberapa orang imam dan orang Lewi.
Atas pertanyaan mereka, Yohanes bersaksi bahwa ia bukan Mesias, bukan juga Elia atau nabi yang akan datang. Tanpa menyebut nama identitas, ia justru menyatakan diri sebagai “suara orang yang berseru-seru di padang gurun: luruskanlah jalan Tuhan.” Tentang Yesus, Yohanes berkata _”Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.”_ Membuka tali kasut adalah pekerjaan seorang hamba kepada tuannya. Tetapi Yohanes Pembabtis bahkan menggambarkan dirinya lebih rendah dari hamba.
Yohanes adalah seorang berjiwa besar yang mengatakan sebuah kejujuran tentang siapa dirinya. Ia rendah hati, tidak egois, merendahkan diri, dan tidak menganggap dirinya hebat meski dalam pandangan orang ia adalah seorang tokoh spiritual, tokoh besar pada masa itu.
Sikap dan tindakan Yohanes Pembabtis sungguh penuh dengan kerendahan hati. Dia menyadari bahwa dirinya hanya seorang utusan yang bertugas memberi kesaksian tentang terang yang sesungguhnya. Dia adalah pembuka jalan bagi kedatangan Mesias yang dinanti-nantikan. Meskipun demikian, tidak sedikit pun Yohanes merasa kecil hati. Murid-muridnya pun tidak dipertahankannya untuk dirinya sendiri, melainkan diarahkan kepada Yesus.
Pada zaman sekarang, banyak orang gemar mencari-cari nama, haus akan popularitas dan ketenaran. Mereka menghalalkan segala cara agar bisa mendapat pujian dan sanjungan dan cenderung angkuh. Mereka berpikir bahwa dengan merendahkan orang lain, mereka akan ditinggikan. Bahkan dalam sebuah aksi pelayanan pun orang tak lagi membesarkan nama Tuhan tetapi dirinya sendiri.
Mari belajar kerendahan hati dari Yohanes Pembabtis. Ia sangat sadar diri bahwa ia hanyalah utusan yang mengantar orang kepada Kristus. Ia hanya alat di tangan Tuhan. Kita sekalian yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pelayanan, ibarat keledai yang ditunggangi oleh Yesus ketika memasuki kota Yerusalem. Jika kita berpikir bahwa diri kitalah yang dipuji dan dielu-elukan oleh orang banyak, dan kita mengangkat kedua kaki depan kita ke atas, maka Yesus dapat jatuh ke tanah.