PORTALNTT.COM – Injil hari ini berkisah tentang mujizat penggandaan roti; Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki (Belum termasuk perempuan dan anak-anak). Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, 2 Raja-raja 4:42-44, kita juga menemukan kisah mujizat penggandaan makanan yang dilakukan nabi Eliza.
Nabi Eliza melipatgandakan makanan yang cuma sedikit hingga bisa dimakan oleh 100 orang. Dan dalam Injil, Yesus memberi makan lima ribu orang dari lima roti dan dua ikan. Mujizat ini merupakan salah satu mujizat besar dan penting dan tercatat dalam keempat Injil.
Setelah melakukan mujizat-mujizat penyembuhan terhadap orang sakit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Yesus dan Yesus kembali melakukan mujizat dengan memberi makan kepada orang banyak itu. Selain tentang kuasa yang ada pada-Nya untuk melakukan apa saja, ada hal yang mau Yesus ajarkan kepada para murid melalui mujizat ini, yakni tentang kepedulian dan solidaritas.
Kepeduliaan itu muncul pertama-tama dari Yesus sendiri hingga Ia bertanya: “Di manakah kita akan membeli roti, sehingga mereka ini dapat makan?” Yesus bukan kebingungan untuk memberi makan, tetapi Ia hendak menguji iman para murid, Ia mau melihat sejauh mana kepedulian mereka.
Jawaban dari Filipus terlihat sangat masuk akal dan sangat logis, bahwa roti seharga dua ratus dinar tidak akan bisa mencukupi sekalipun mereka mendapatkan potongan kecil. Jawaban Andreas terkesan lebih baik tetapi tetap ada keragu-raguan di dalamnya.
“Di sini ada seorang anak, yang membawa lima roti jelai dan mempunyai dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?” Yesus lalu mengambil lima roti dan dua ikan itu, Ia mengucap syukur dan menyuruh para murid membagi-bagikannya. Setelah makan, para murid pun masih mengumpulkan sisa dua belas bakul penuh.
Para murid dan orang-orang yang hadir pada waktu itu mungkin tidak membayangkan hal ini akan terjadi. Ketika para murid telah terkunci dalam ruang kemustahilan, di saat itulah Yesus merubah pengharapan yang tidak berarti itu menjadi rahmat bagi orang banyak. Harapan yang hanya secuil dari para murid itu telah menjadi jembatan pernyataan kasih dan kuasa Yesus.
Yesus hendak mengajarkan sebuah pengajaran penting kepada para murid dan kepada kita sekalian tentang kepedulian dan solidaritas. Seringkali kita ada dalam situasi kekurangan dan kita pun tidak melibatkan Tuhan dalam pergumulan kita.
Terkadang dalam situasi kekurangan itu, kita mungkin melibatkan Tuhan, meminta Dia campur tangan, tetapi kita masih tetap acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap kehidupan sesama yang mungkin lebih berkekurangan dari kita. Kita pun cenderung lebih mudah bersyukur ketika kita dalam situasi kelimpahan, dari pada saat kita berkekurangan dan menderita.
Kepekaan dan kepedulian kita kepada sesama yang menderita bukanlah sebuah perhitungan matematis, perhitungan untung-rugi.
Solidaritas kita harus lahir dari hati yang berbelas kasih, dalam wujud pemberian diri, meskipun kita sendiri dalam kekurangan. Bukankah setiap anugerah yang kita terima, sekecil apa pun itu berasal dari Tuhan? Setiap anugerah itu adalah rahmat, tetapi juga berisi tanggung jawab. Kita pun bertanggung jawab atas kehidupan sesama kita, terlebih mereka yang kurang beruntung.
Saat ini kita masih hidup dalam situasi pandemi Covid 19 yang melumpuhkan banyak aspek kehidupan. Kita diminta menjaga jarak fisik, tetapi jangan sampai kita membuat jarak dalam cinta kasih, dalam kemanusiaan.
Masih banyak sekali orang yang kelaparan saat ini, dan itu tidak hanya kelaparan roti/makanan, tetapi juga kelaparan perhatian dan cinta kasih. Orang-orang itu bisa jadi ada dalam rumah kita, keluarga kita sendiri, yang butuh diperhatikan, didengarkan dan dibantu. Sekecil apa pun yang bisa kita lakukan, lakukanlah! Tuhan akan memberkatinya menjadi rahmat bagi mereka. (John Bahy)