Refleksi Minggu , 27 April 2025 (Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)
Bacaan : Roma 15:1-13
Nats pembimbing : Efesus 4:2-3
Shalom, Salam Paskah untuk kita semua. Minggu pertama setelah kebangkitan Yesus saat ini kita diajak oleh Rasul Paulus untuk merenungkan topik Orang yang lemah dan orang yang kuat dalam terang tema “Kasih Kristus memampukan kita untuk saling menerima” (mohon maaf temanya tidak sesuai yang ada dalam daftar bacaan karena saya biasa membuat refleksi mengikuti yang ada dalam TDTK sebagai panduan). Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa hal penting dari bacaan ini disesuaikan dengan tema kita:
A. Pengantar teks dan konteks
1. Situasi Jemaat Roma
Jemaat di Roma adalah jemaat multikultural, terdiri dari orang Yahudi Kristen dan orang bukan Yahudi (Yunani/Romawi) Kristen. Ada ketegangan antara dua kelompok ini, khususnya tentang:
• Makanan halal-haram (Rm 14:2-3)
• Hari-hari raya (Rm 14:5)
• Hukum Taurat dan tradisi Yahudi
Paulus ingin agar perbedaan ini tidak menjadi alasan perpecahan, tetapi menjadi kesempatan untuk saling melayani dan membangun serta saling menerima dan mengasihi satu dengan yang lain. Dalam Roma 14, terjadi perselisihan antara yang kuat dan yang lemah. Paulus membahas perbedaan soal makanan dan hari khusus. Ia menyebut dua golongan:
• Orang yang lemah dalam iman: biasanya orang Yahudi Kristen yang masih memegang hukum makanan dan hari raya Yahudi.
• Orang yang kuat dalam iman: biasanya orang bukan Yahudi Kristen yang tidak merasa terikat dengan hukum Taurat.
Paulus tidak menyalahkan salah satu pihak, melainkan menasihati agar mereka:
• Tidak menghakimi satu sama lain (14:4)
• Tidak menjadi batu sandungan (14:13)
• Mengejar damai sejahtera dan saling membangun (14:19)
Dalam pasal 15, Paulus memperdalam ajakan untuk menghidupi semangat Kristus (kasih) dalam menerima sesama yang berbeda. Paulus memanggil mereka yang kuat(mature, dewasa dalam iman) untuk memikul beban mereka yang lemah. Fokus bukan pada hak pribadi (mencari kesenangan kita sendiri), melainkan pada tanggung jawab terhadap sesama(kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat). Ini adalah prinsip kasih dan pengorbanan, bukan sekadar toleransi/simpati.
Paulus mengutip Mazmur 69:10, menunjuk pada pengorbanan Kristus. Kristus rela menanggung penderitaan, bukan untuk diri-Nya, tetapi untuk menyelamatkan orang lain (Kristus tidak mencari kesenangan-Nya sendiri).
Pernyataan ini memuat inti dari argumen Paulus: bahwa Kristus adalah teladan tertinggi dari kehidupan yang tidak berpusat pada diri sendiri, melainkan hidup dalam kasih yang rela berkorban demi kemuliaan Allah dan demi kebaikan orang lain. Ini menjadi dasar teologis bahwa pengorbanan demi sesama adalah tindakan orang Kristen sejati. Ini menjadi model tertinggi pengorbanan (kasih), dan standar etika bagi orang percaya, khususnya yang merasa diri “kuat” dalam iman. Calvin menekankan bahwa Kristus adalah teladan sejati kerendahan hati dan kasih. Ia menulis:
“Paulus menunjukkan bahwa bahkan Kristus, yang memang paling layak untuk menyenangkan diri-Nya sendiri, justru memilih untuk menderita. Jadi, tak seorang pun boleh merasa bahwa dirinya terlalu tinggi untuk merendahkan diri dan menanggung beban orang lain.” Calvin melihat ini sebagai panggilan bagi orang Kristen untuk mati terhadap diri sendiri dan hidup bagi orang lain.
Paulus kemudian mengarahkan jemaat kepada otoritas Kitab Suci. Segala tulisan dalam Perjanjian Lama adalah sumber ketekunan dan pengharapan. Ini menegaskan bahwa pengharapan Kristen bersumber dari kebenaran Allah yang tidak berubah. Pernyataan Paulus dalam Roma 15:4 ini sangat penting dalam teologi dan penggembalaan, karena menegaskan otoritas Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, sebagai sumber ketekunan dan pengharapan bagi orang percaya. Kitab Suci Perjanjian Lama tetap relevan bagi umat Perjanjian Baru. Meski ditulis “dahulu” isinya tetap hidup dan aktif untuk membangun orang percaya dalam iman dan pengharapan. Fungsi ganda Kitab Suci:
• Sebagai sumber ketekunan (hypomonē): membantu kita bertahan dalam penderitaan.
• Sebagai penghiburan, dorongan dan penguatan(paraklēsis): memberi penguatan batin akan janji-janji Allah.
Dua hal ini menumbuhkan pengharapan (elpida). Pengharapan Kristen berdasar pada karakter Allah yang setia. Kitab Suci mengungkapkan Allah yang tidak berubah dalam janji dan kasih-Nya (lih. Ibrani 13:8; Mazmur 119:89). Tom Wright (N.T. Wright) menafsirkan ayat ini dalam konteks komunitas Kristen Yahudi dan non-Yahudi di Roma. Ia menekankan bahwapengharapan Kristen bukan khayalan kosong, tetapi sesuatu yang berakar dalam sejarah nyata kesetiaan Allah, sebagaimana dicatat dalam Kitab Suci.
2. Doa Paulus
Selanjutnya, Paulus mendoakan agar jemaat dikaruniakan kerukunan, sehati, sepikir, satu suara, walau berbeda latar belakang. Paulus tidak sekadar memohon agar mereka setuju dalam berpendapat, tetapi agar mereka memiliki pola pikir dan sikap yang serupa seperti Kristus (bdk. Filipi 2:5).Tujuannya adalah kemuliaan Allah, bukan kemenangan satu golongan atas yang lain. Ini adalah panggilan kepada kesatuan rohani yang melampaui perbedaan budaya dan tradisi. Paulus tidak memerintahkan kerukunan secara hukum/tradisi, tetapi memohonkan kepada Allah, karena hanya Roh Kudus yang bisa mempersatukan jemaat yang berbeda latar belakang (Yahudi & non-Yahudi di Roma).
Paulus tidak berkata semua harus berpikir sama dalam semua hal, tapi harus memiliki semangat Kristus yang sama dalam saling menerima, rendah hati, dan membangun sesama dalam kasih.
Akhirnya Paulus berkata: Terimalah satu akan yang lain (proslambanesthe allēlous). Artinya:
• Kata kerja proslambanō berarti: menyambut dengan hangat, menerima dengan ramah ke dalam persekutuan, menerima sebagai anggota keluarga.
• Ini bukan sekadar “berdamai”, tapi menyiratkan penerimaan sepenuh hati dan aktif, seperti dalam hubungan persaudaraan.
Sama seperti Kristus juga telah menerima kamu, artinya:
• Kristus tidak menerima kita karena kita layak, tetapi karena kasih karunia-Nya.
• Kristus menerima kita dalam kelemahan dan keberdosaan, tanpa menunggu kita menjadi sempurna dulu.
• Tujuan akhir dari penerimaan satu sama lain adalah untuk kemuliaan Allah, bukan kenyamanan pribadi atau reputasi komunitas/golongan tertentu.
Paulus menjelaskan bahwa Kristus menjadi pelayan: Bagi orang Yahudi, untuk menunjukkan bahwa Allah setia pada janji-janji-Nya. Bagi bangsa-bangsa lain (non-Yahudi), supaya mereka juga memuliakan Allah karena belas kasihan-Nya.
Paulus kemudian mengutip berbagai ayat dari Perjanjian Lama (Mazmur, Ulangan, Yesaya) untuk menunjukkan bahwa inklusivitas bangsa-bangsa bukanlah ide baru, melainkan bagian dari rencana Allah sejak semula. Orang Yahudi dan bukan Yahudi dipersatukan dalam pujian kepada Allah, bukan dalam argumen tentang hukum Taurat. Dalam bagian ini, Paulus sedang menyimpulkan argumentasinya tentang bagaimana jemaat yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi (bangsa-bangsa lain) harus hidup dalam kesatuan dan menerima satu sama lain.
Untuk mendukung hal itu, ia mengutip empat bagian dari Perjanjian Lama yang berasal dari berbagai bagian hukum Taurat, Mazmur, dan Nabi. Dengan mengutip kitab-kitab Perjanjian Lama, Paulus ingin menyatakan: “Lihat, wahai saudara-saudara, gagasan bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi akan turut serta memuliakan Tuhan bukanlah sesuatu yang baru! Itu sudah tertulis dalam Taurat, Mazmur, dan para nabi.”Artinya, keikutsertaan bangsa-bangsa (non-Yahudi) dalam keselamatan dan penyembahan kepada Allah adalah bagian dari rencana kekal Allah, bukan sekadar tambahan karena Israel gagal.
Paulus menegaskan bahwa persatuan bukan datang dari kesepakatan soal hukum Taurat, tetapi dari pengakuan bersama akan Kristus dan pujian kepada Allah. Orang Yahudi tidak perlu menuntut bangsa lain untuk mematuhi semua aspek hukum Musa, dan orang bukan Yahudi juga tidak boleh menghina tradisi Yahudi. Yang menyatukan mereka adalah Kristus, dan ekspresi nyata dari kesatuan itu adalah pujian bersama kepada Allah. N.T. Wright “Penerimaan bangsa-bangsa non-Yahudi bukanlah catatan kaki dalam Injil; melainkan merupakan inti dari rencana Allah sejak semula. Perjanjian Lama telah membayangkan suatu hari di mana semua bangsa akan menyembah Allah Israel bersama-sama.”(Mazmur 86:9).
3. Doa penutup dan Pengharapan Paulus
Roma 15:13 adalah sebuah doa penutup yang sangat kuat dan indah dalam rangkaian argumentasi Paulus tentang kesatuan umat Allah, khususnya antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Paulus tidak menyebut hukum Taurat, kebudayaan, atau prestasi moral sebagai sumber pengharapan, melainkan Allah sendiri. Ini menegaskan bahwa pengharapan Kristen tidak berasal dari usaha manusia, melainkan dari karakter dan janji Allah yang setia. Dalam konteks persatuan antara orang Yahudi dan non-Yahudi, hal ini sangat penting, karena pengharapan tidak datang dari menjadi “Yahudi” atau “bukan Yahudi”, melainkan dari iman kepada Allah yang berjanji dan setia.
Paulus mendoakan agar jemaat mengalami kepenuhan(dipenuhi), bukan sekadar “cukup” dengan dua hal penting:Sukacita: kegembiraan rohani yang datang dari relasi denganAllah dan damai sejahtera:kedamaian batin dan relasional, termasuk damai antar sesama (Yahudi dan non-Yahudi).Semuanya ini terjadi “dalam iman” artinya, iman adalah sarana atau saluran yang membuka hati untuk mengalami sukacita dan damai dari Allah. Paulus menunjukkan bahwa hidup Kristen bukan hanya tentang ajaran moral/tradisi, tetapi tentang kuasa rohani. Roh Kudus adalah sumber kekuatan ilahi, bukan kekuatan diri sendiri.
Tujuannya bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk berlimpah-limpah (perisseuō) meluap dalam pengharapan. Ini adalah visi hidup Kristen yang dinamis: sukacita, damai, dan pengharapan yang tidak bisa dibendung, karena semua itu datang dari Roh Kudus. Douglas Moo: “Doa Paulus memperlihatkan bahwa hidup Kristen bukan hanya kehidupan yang memiliki harapan, tetapi kehidupan yang meluap dengan harapan karena dasar pengharapan itu adalah Allah sendiri.”
B. Pesan teks disesuaikan dengan tema
Paulus menulis kepada jemaat di Roma yang terdiri dari dua kelompok utama: orang Yahudi (dengan latar belakang hukum Taurat, tradisi, dan identitas eksklusif), dan orang bukan Yahudi(yang datang dari dunia kafir dengan latar belakang berbeda total). Dalam konteks ini, perbedaan keyakinan, kebiasaan, dan cara hidup sangat nyata, dan cenderung menimbulkan pertikaian. Karena itu, Paulus memberi seruan tegas agar mereka: “Menerima satu sama lain, sama seperti Kristus telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7).
Paulus tidak mendasari penerimaan pada kesamaan budaya, pendapat, atau kekuatan iman. Ia mendasarkan penerimaan pada kasih dan karya Kristus. Kristus tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, melainkan menanggung “cercaan” demi keselamatan kita (Roma 15:3).
Kasih Kristus adalah kasih yang rela berkorban, menanggung beban, dan merangkul orang lain yang berbeda. Ia tidak memilih-milih siapa yang pantas diterima, sebaliknya, Ia menerima kita semua saat kita masih lemah dan berdosa. Paulus mengajak jemaat meneladani Kristus:
“Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat, dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri” (Roma 15:1). Di sinilah terlihat bahwa kasih Kristus bukan hanya teladan, tetapi juga kuasa: Kita dimampukan untuk tidak egois, kita dipanggil untuk menanggung beban sesama, kita didorong untuk membangun satu sama lain dalam kasih. Penerimaan satu terhadap yang lain bukan sekadar toleransi, tetapi tindakan aktif yang didorong oleh kasih yang berasal dari Kristus. Kasih dan penerimaan tidak bisa dilakukan dalam kekuatan sendiri. Hanya Roh Kudus yang dapat memampukan kita untuk hidup dalam kasih, damai, dan pengharapan, meskipun kita berbeda satu sama lain. Kasih Kristus memampukan kita untuk saling menerima melalui tuntunan Roh-Nya.
Douglas Moo memberi pandangan:
“Penerimaan Kristus atas umat-Nya menjadi dasar dan kekuatan moral untuk saling menerima satu sama lain. Hal ini bukan hanya perintah etis, melainkan respons atas kasih karunia yang telah diterima.”Moo menekankan bahwa kasih Kristus adalah dasar dan kekuatan untuk kita bisa menerima sesama. Tanpa kasih Kristus, penerimaan sejati tidak mungkin terjadi. Thomas Schreiner menegaskan bahwa meneladani kasih Kristus tidak berasal dari kekuatan diri, tapi dari kemampuan yang diberikan oleh Roh Kudus.
C. Impilkasi disesuaikan dengan tema
1. Kita hanya dapat saling menerima jika kita memiliki kasih Kristus yang memampukan kita untuk tidak egois, rendah hati dan memelihara kerukunan sebagai sesama saudara dan keluarga Allah (familia Dei. Jika kasih persaudaraan dan semangat kekeluargaan sebagai bagian dari keluarga Allah tidak kita miliki maka kita hanya akan mencari kesenangan pribadi, kesombongan dan berpotensi konflik dan perpecahan.
Dalam Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT, GMIT sebagai gereja milik Tuhan digambarkan sebagai Keluarga Allah (familia Dei). Sebagai Keluarga Allah, GMIT merupakan suatu persekutuan persaudaraan sebagai anak-anak dari satu Bapa, ditebus oleh darah Yesus Kristus, dibaptis dalam satu baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus untuk mengambil bagian dalam satu meja perjamuan keselamatan Tuhan dan menyongsong datangnya Kerajaan Allah dalam kesempurnaan. Dasar familia Dei adalah Allah Tritunggal (bnd. Ef. 2:19-20), yakni Allah yang ada dalam persekutuan (perichoresis) Bapa Sang Pencipta, Anak Sang Penyelamat dan Roh Kudus Sang Penghibur dan Pembaharu.
Sebagai Bapa, Allah menerima semua anggota GMIT sebagai anak-anak-Nya, yang sama dikasihi-Nya tanpa diskriminasi. Sebagai Sang Penyelamat, Yesus Kristus menjadi dasar yang mendasari dan menopang kehidupan dan pelayanan GMIT (bnd. 1Kor. 3:11). Sebagai Sang Penghibur dan Pembaharu, Roh Kudus berdiam dalam hati setiap anggota GMIT dan sekaligus menjadikangereja sebagai rumah Allah (rumah bersama).
2. Kasih Kristus mengubah cara kita memperlakukan sesama yang berbeda secara tradisi, adat istiadat dan budaya serta suku bahkan berbeda pendapat dan pandangan sekalipun. Kita hanya akan menerima setiap perbedaan yang ada jika kasih Kristus menjadi dasar dalam relasi kita dengan sesama. Orang yang memiliki kasih tidak hanya akan berelasi dengan sesama suku, teman/sahabat yang “se-jalan”, “se-paham”, “se-frekuensi” tetapi juga akan tetap menjalin relasi dengan sesama yang berbeda pendapat dan pandangan yang sering dianggap “musuh”.
GMIT menekankan bahwa sebagai keluarga Allah, jemaat dipanggil untuk hidup dalam persaudaraan yang melampaui batas-batas suku, budaya, dan status sosial. Setiap anggota diperlakukan sebagai saudara seiman, mencerminkan kasih Kristus yang inklusif dan menyatukan. Kasih Kristus bukan hanya kasih yang kita nikmati secara pribadi, tetapi kasih yang mengubah relasi kita dengan orang lain.
Karena Kristus telah menerima kita dalam segala kelemahan dan kegagalan kita, maka kita pundipanggil untuk menerima orang lain, bukan berdasarkan kesamaan atau kekuatan mereka, tetapi berdasarkan anugerah yang sama.
3. Penerimaan terhadap sesama adalah tindakan iman yang memuliakan Allah. Menerima sesama bukan hanya demi “harmoni” dalam relasi sosial dan pelayanan, tetapiini adalah tindakan yang memuliakan Allah. Setiap kali kita memilih kasih, kita sedang mencerminkan hati Allah kepada dunia. Roh Kudus memampukan kita untuk saling menerima. Amin.