Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, Guru SMK Negeri 5 Manado
Seminarium adalah tempat persemaian benih, benih panggilan. Sama seperti tempat persemaian benih, ada benih yang mati ketika masih di tempat persemaian, ada yang tumbuh lalu mati, dan ada yang dapat menghasilkan buah. Demikianlah juga dengan panggilan. Maka setelah menyelesaikan studi di SMA Katolik Giovanni Kupang, 1987, saya masuk Seminari Menengah San Dominggo Hokeng dan duduk di Kelas Persiapan Atas (KPA). Studi di Seminari Hokeng dijalankan selama 2 tahun, 1987-1989.
Di Seminari Hokeng saya mulai belajar ilmu-ilmu Gerejani, ada Pengantar Kitab Suci, Liturgi, Sejarah Gereja dan bahasa Latin. Saya sedikit mengalami perkembangan pesat dari segi baca tulis bahasa Inggris. Dalam hasil studi di kelas ini, kami sering bersaing. Utusan dari paroki kami, waktu itu, Paroki Hadakewa cukup banyak. Kami selalu gembira mana kala mendapat kunjungan dari pastor paroki, P. Frans So’o SVD. Masing-masing kami dari paroki ini akan mendapat kiriman uang dan tambahan bekal dari orangtua kami masing-masing dari kampung. Sering isi kiriman kami nikmati bersama-sama. Pada akhir Kelas Persiapan Atas 2, kami memutuskan untuk memilih: Diosesan, SVD. Seingatku, ada teman angkatan memilih Projo Pangkalpinang dan SSCC. Keduanya masih jadi imam hingga kini dan akan merayakan pesta perak imamatnya. Ada satu dua teman tak ikut lanjut ke seminari tinggi.
Dari Seminari San Dominggo Hokeng, saya melanjutkan ke Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, sebagai calon imam untuk keuskupan Larantuka. Perjalanan itu dimulai dengan Tahun Rohani (TOR) di Lela. Dalam ziarah itu kami dibimbing Rm Sensi Prakota Pr, sekarang Uskup Agung Ende dan Romo Ansel Leu Pr, dari Keuskupan Agung Kupang. Sebagai pendamping spiritual bersama Socius, Rm. Ansel Leu kerja mereka tidak ringan. Mereka harus mendampingi kami, satu kawanan besar calon imam gereja lokal: 80-an orang. Kami berasal dari keuskupan Denpasar, Ruteng, Ende (Maumere masih bergabung dengan Keuskupan Agung Ende), Larantuka, Atambua, Kupang, Weetabula dan Samarinda. Latarbelakang kultur kami berbeda, karakter dan perilaku kami amat bervariasi. Tapi asyik, kami punya cita- cita yang sama yakni menjadi imam gereja lokal. Segala perbedaan justru memperkaya kebersamaan dan formasi lanjutan kami.
Seperti ditulis Romo Wolo Stefanus, teman TOR Lela, yang sekarang jadi imam dari Keuskupan Agung Ende dan misionaris Fidei Donum di Keuskupan Bassel Swiss, “Selama setahun, Romo Sensi dan Rm Ansel Leu (imam Keuskupan Agung Kupang) mendampingi kami. Tahun rohani menjadi tahun penuh sukacita dan babak istimewa menuju imamat. Kami mendalami aspek-aspek kecakapan yang mesti dimiliki seorang calon imam seperti: Hidup rohani dan spiritualitas, intelektual, kesehatan dan sosial. Setiap hari kami bergumul dengan tema-tema itu. Kami diperkaya dengan latihan-latihan praktis yang sangat menggembirakan. Irama kehidupan kami mulai bangun pagi hingga tidur malam begitu dinamis dan menyenangkan”.
Baginya, bagi saya dan teman-teman, Uskup Sensi membantu memanusiakan calon imam dengan cara yang paling manusiawi. Kami dilatih untuk mengenal, mengekspresikan diri dan menemukan kembali diri bila kita kehilangan identitas. Saya pribadi belajar menghidupi “life-giving experience”, menerapkan secara arif “self love dan self care”. Di sinilah bekal penting seorang pendamping spiritual dan saya rasakan kekuatan dan manfaat bekal itu hingga kini.
Mengikuti Romo Stef, saya coba mengenang kembali teman-teman angkatan saya di TOR 89. Tampilan kita saat itu amat bervariasi. Ada yang kocak, jenaka dan suka usik. Ada manusia kamar dan ada raja pesiar. Ada yang tampil adem, sopan dan “kudus taktis”. Jujur pasti, saya ada di salah satu kelompok kategori itu. Akhir Tahun Rohani, beberapa di antara kami harus pulang rumah, dengan berbagai alasan yang membulatkan putusan pembimbing utuk hal itu dan sebagian besarnya diterima untuk menerima jubah pertama dan melanjutkan ke Seminari Tinggi Ritapiret. Meski saya termasuk yang pulang, namun kebersamaan hidup itu begitu membekas penuh makna.
Saya coba menghitung, ternyata banyak di antara kami yang sukses. Ada yang mencapai gelar akademis tertinggi tingkat doktorat dan menjadi bagian “think tank” keuskupan: Larantuka, Kupang, Agung Ende, Ruteng. Ada yang menjadi birokrat gereja lokal. Ada yang menjadi formator, pendidik, akademisi dan penulis produktif. Ada yang menjadi pastor hebat dan gembala yg mencintai dan dicintai umatnya. Dan tidak lupa banyak teman yang menjadi bapak keluarga, awam yang bekerja di pelbagai bidang tata dunia. Asyiknya saat bertemu atau ngobrol di grup WA, kami tetap memposisikan diri sebagai teman dan sahabat TOR 89.
Dari TOR Lela kembali ke Kupang, dan menjalani bimbingan khusus dari Pst. Julius Bere SVD, di Seminari Menengah St.Rafael Kupang. Saya melewati satu tahun khusus di Seminari Menengah St. Rafael Kupang. Tugas pokok saya adalah memulai, membenahi dan menata perpustakaan Seminari Menengah. Usaha penjilidan majalah dan buletin, memesan buku ke berbagai percetakan dan penerbitan serta merancang sistem katalog untuk perpustakaan itu saya kerjakan, berbekal ilmu yang saya curi di seminari Hokeng. Semua itu saya kerjakan di saat para seminaris ada di ruang kelas. Semua kegiatan rohani dan latihan lain bagi seminaris tetap saya ikuti. Belajar lagi bersama mereka, sering menjadi tutor sebaya, bersama Frater Pastoral waktu itu, yang akhirnya juga mengundurkan diri.
Sesudah melewati masa refleksi khusus dan pengajuan lamaran, akhirnya diterima sebagai calon imam Projo Keuskupan Amboina. Berangkatlah saya ke Manado, dan masuk STF. Seminari Pineleng dan tiba Juli 1991.
Lembaran hidup tahun pertama, tahun Propadeuse, untuk mulai mengenal dunia studi di STF Seminari Pineleng. Mulai belajar kuliah dan segala jenis kegiatan latihan berpikir ilmiah. Hidup rohani dan hidup komunitas tetap menjadi warna tersendiri demi membentuk kepribadian calon imam. Setahun di bangku kuliah, perjalanan studi ini dilanjutkan di Tahun Rohani dan Novisiat.
Setahun di Tahun Rohani Pondok Emaus Tateli, (1992-1993) tempat calon imam diosesan Manado dan Amboina waktu itu, dengan pembimbing Pst. Wens Maweikere Pr, kembali lagi ke Seminari Pineleng untuk melanjutkan studi dan mencapai gelar sarjana Tahun 1997. Di Seminari Hati Kudus Yesus Pineleng, saya bersyukur mendapatkan para pembina, dosen dan staf yang bekerja mengajar dan mendampingi kami dengan ketulusan dan berusaha agar kami semua berkembang dalam semua aspek hidup sebagai manusia dan calon imam. Hasil studiku lumayan.
Saya teringat dengan penuh syukur mendapatkan kuliah-kuliah dari dosen-dosen muda: Pst. Yong Ohoitimur MSC yang baru pulang studi S2 di Leuven (kini Prof. Dr. Johanis Ohoitimur) dan Pst. A. Sujoko MSC, yang baru kembali dari Roma (kini Pst. Dr. A. Sujoko). Dosenku Pst Inno Renwarin MSC selalu hadir dengan gaya yang khas. Dari kuliah hukum Gereja saya teringat Pst. F.X. Wahyudi MSC. Materi kuliahnya saya catat lengkap dan diketik di komputer sesudah kuliah untuk dikoreksi oleh Beliau dan diprint kembali olehku dan dijadikan materi pembelajaran bagi saya dan sejumlah teman, frater-frater minor. Dari dosen senior, saya bersyukur mendapatkan kuliah Teologi dari Pst. Hans Kwakman MSC, Kitab Suci dari Pst. R. Sumarwata dan G. Widyo Soewondo MSC, dengan traktak yang rapi, teliti dan detail.
Pastor A. Sujoko, pembimbing dan bapa rohaniku, peran dan bantuannya tidak kecil untuk saya. Di bawah bimbingan Pst. A. Sujoko, skripsi S1 yang mulai digarap di awal tingkat 2, hampir rampung di akhir tingkat 3. Sesudah tingkat IV, angkatan kami mendapat tahun khusus untuk menyelesaikan skripsi, saya tinggal finalisasi saja sambil menunggu ujian Negara dan Ujian Skripsi. Sesuatu yang tak pernah kulupakan adalah bahwa di seminari inilah saya belajar banyak untuk mengembangkan diri dalam dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Belajar menyusun ide dan gagasan secara teratur, sistematis dan kritis. Akvitas jurnalistik berkembang pesat di masa studi.
Sejak September 1997 sampai Pebruari 1998, menjalankan Tahun Pastoral di Paroki Lorulun Maluku Tenggara, Keuskupan Amboina dan mengundurkan diri sebagai calon imam Keuskupan Amboina, Pebruari 1998. Apakah arti rentetan perjalanan studi di seminari ini?
Perjalanan menuju imamat paralel dengan perjalanan umat Israel menuju tanah terjanji. Karena itu sharing pengalaman yang hendak dituangkan di sini hendak memperlihatkan hal ini. Perjalanan menuju imamat idaman adalah sungguh suatu perjalanan hidup, perjalanan perjuangan yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan sekarang dan keselamatan kelak melalui penghayatan hidup sebagai imam. Perjalanan ini hendak saya paralelkan dengan perjalanan umat Israel menuju Kanaan. Saya akan mencoba menemukan paralelnya. Ada sejumlah pesan yang dapat ditarik daripadanya dan diakhiri dengan pesan bagi yang masih terus berjalan dan yang sudah memasuki tanah Kanaan itu.
Pertama, Kanaan mengandung janji-janji Tuhan. Bagi umat Israel, Kanaan adalah tanah perjanjian yang akan diberikan Allah kepada sebagai kediaman mereka. Kerinduan untuk menduduki tanah terjanji itu begitu kuat, begitu menyala-nyala karena ia mengandung sejumlah janji Tuhan yang membahagiakan dan menyelamatakan umat Israel, yang dilambangkan dengan kekayaan akan susu dan madu. Kanaan menjanjikan suatu hidup baru yang dilandaskan pada persaudaraan sejati antara Israel dengan Yahwe, Allah mereka dan persaudaraan di antara umat Israel.
Imamat yang pernah coba kuperjuangkan juga mengandung suatu janji. Dan janji itu bermuara pada kebahagiaan yang dibangun karena relasi personal antara murid Yesus sendiri. Panggilan menuju imamat mengandung janji: Mari ikutlah Aku, dan kamu akan menjadi penjala manusia. Siapa tak bangga bila dirinya yang sederhana dan terbatas itu dijadikan sebagai alat yang demikiam hebat di tangan Tuhan, menjadi penjala keselamatan manusia. Kebanggaan dalam keterbatasan ini sering nampak begitu kuat dalam berbagai ungkapan dari mereka yang sampai ke jenjang imamat.
Kedua, karena Kanaan mengandung janji kemakmuran, persaudaraan dan kebahagiaan, maka ia menjadi ideal dan idaman bagi setiap umat Israel. Ketika mengalami penderitaan yang hebat di Mesir, mereka begitu rindu kembali ke tanah leluhurnya Abraham. Kerinduan itu mengatasi setiap penderitaan dan kesulitan yang menghadang di depan mata mereka. Karena imamat mengandung janji bagi setiap murid Yesus, maka imamat lalu menjadi idaman bagi banyak orang, juga pernah menjadi idaman bagiku sendiri. Karena itu saya berani meninggalkan banyak hal enak dan menjanjikan dan coba menjalani panggilan hidup sebagai calon imam, mulai dari Seminari Menengah dan Seminari Tinggi di Flores, dan akhirnya di Seminari Tinggi Hati Kudus di Pineleng.
Ketiga, perjalanan menuju tanah terjanji dan pengalaman hidup di dalamnya sungguh merupakan merupakan suatu proses belajar, belajar tentang hidup sebagai umat dan bangsa di hadapan Allah, belajar bagaimana seharusnya hidup menurut kehendak Allah. Kesulitan di padang gurun, misalnya, sering menjadi kesempatan menguji iman dan kesetiaan kepada Allah dan kehendakNya.
Kehadiran dan tugas pewartaan para nabi, juga dimaksudkan untuk membantu umat Israel agar tetap setia kepada Allah, atau sekurang-kurangnya agar mereka belajar apa dan bagaimana kehendak Allah bagi mereka. Bahkan cara hidup bangsa–bangsa kafir pun atas salah satu cara untuk menguji iman dan cinta mereka akan Allah.
Sejalan dengan pengalaman Israel, saya menemukan juga bahwa perjalananku menuju imamat dulu merupakan suatu proses belajar, belajar melihat imamat bukanlah sekedar suatu status hidup melainkan suatu panggilan hidup. Sebagai panggilan hidup, imamat mengandaikan Allah yang memanggil, dan keterbukaan orang yang dipanggil untuk belajar mengenal diri dengan jujur dan rendah hati dan belajar menemukan kehendakNya atas dirinya.
Nilai ini yang lebih penting. Saya masih menyimpan arsip surat pengunduran diri saya sebagai calon imam diosesan Amboina (tgl. 9 Pebruari 1998): “…setelah bergumul dan berefleksi dengan diri sendiri dan panggilan ini, melalui aneka pengalaman studi dan pengalaman karya pastoral di tengah umat, yang digumuli terus dalam doa, maka atas berkat rahmat Allah dan didorong oleh RohNya, saya memutuskan mengundurkan diri sebagai calon imam diosesan Amboina. Keputusan ini saya ambil setelah mempertimbangkan keadaan diri pribadi yang dipenuhi dengan aneka kelemahan yang mendatangkan benturan dalam banyak hal. Saya sadar bahwa imamat yang luhur mengandung suatu tuntutan, dan perjuangan untuk membenahi pelbagai kelemahan diri memerlukan suatu proses panjang lagi..”.
Meskipun demikian aneka pengalaman hidup bersama, khususnya berbagai bentuk pendampingan dari Uskupku, para dosen dan staf pembina dan rekan-rekan sekomunitas ikut membantuku menemukan arti suatu panggilan hidup. Dan atas semua bantuan, dukungan dan pendampingan saya ucapkan banyak terima kasih. Sesederhana apa pun bantuan mereka, dampaknya bagaikan riak gelombang air yang menyebar ke semua penjuru Semuanya telah ikut membentuk diri saya seperti adanya sekarang ini.
Keempat, perjalanan menuju tanah terjanji mengandung risiko: bisa sampai atau tak sampai. Karena perjalanan ke Kanaan begitu jauh dan lama maka sebagian umat Israel justeru tak memasuki tanah itu, justru karena banyak tantangan. Bahkan Musa pun mengalami nasib seperti kebanyakan umatnya: Inilah negeri yang Kujanjikan… tapi engkau takkan ke sana…”. Kasihan Musa. Ia sudah berjuang sekian lama membimbing bangsa itu tapi ia sendiri tak diizinkan menikmati tanah itu. Bukan karena ia tak layak atau Tuhan menghukumnya, melainkan karena Tuhan tak menghendakiNya.
Panggilan menuju imamat juga mengandung risiko untuk sampai atau tak sampai. Mungkin usaha dan kesetiaan kita sudah nyata dan nampak bahwa kita sebenarnya layak tak sanggup memenuhi berbagai syarat untuk imamat. Saya mengalami seperti Musa, Tuhan tak mengizinkan saya sampai ke imamat, cuma sampai di tepi saja, ketika sedang menjalani TOP.
Risiko ini tidak menunjukkan bahwa kita layak atau tak layak (karena biar tak layak, dapat saja dipilih dan dilayakkan Tuhan), atau laku atau laku (karena tak semua orang pernah mencoba jalan ini), atau karena Tuhan menghukum karena dosa dan kelemahan diri, atau karena kesucian hidup semata Saya sadar bahwa bukan inilah kriterianya, karena ada juga yang meski sudah sampai ke imamat toh akhirnya meninggalkan imamatnya.
Sebabnya yang utama adalah karena Tuhan tak menghendaki saya menikmati kebahagiaan hidup imamat itu. Saya justru sudah mengalami kebahagiaan selama perjalanan panjaang itu dan Ia menghendaki saya mengembangkan kebahagiaan itu melalui cara dan bentuk hidup yang lain. Meskipun demikian saya yakin, Tuhan sungguh menghargai usaha dan kesetiaanku untuk mencari dan menemukan kehendakNya.
Menurut pengalamanku, kekuatan dasar yang memungkinkan saya menemukan arti suatu panggilan hidup dan apa kehendak Tuhan atas diriku adalah hidup doa yang mendalam. Tidak saja hidup doa dan Ekaristi selama masih berada di seminari sampai pada keputusan finalku itu, meninggalkan jalan ke imamat yang sudah diperjuangkan 12 tahun, melainkan hidup doa dan Ekaristi yang terus dipelihara dan dikembangkan sampai saat ini. Itulah sebabnya saya menemukan bahwa kekuatan hidupku seperti sekarang ini adalah semata-mata karena kasihNya yang ditimba melalui doa dan Ekaristi.
Saya berharap dan mendoakan agar para seminaris, atau petugas pastoral apa pun tetap menjadikan doa sebagai kekuatan dasar dalam proses menuju imamat. Doa dan Ekaristi itulah yang memberikan kekuatan untuk belajar menemukan panggilanNya dan bertahan di dalamnya. Melalui aneka pengalaman hidupmu, studi dan karyamu selama ini, anda akhirnya dapat menemukan suatu putusan akhir, sanggup memilih hidup sebagai imam atau harus mencari jalan lain.
Ketika kini hidup di luar seminari, saya menyadari bahwa tantangan hidup sebagai imam memang tak pernah selesai. Akan tetapi bagi mereka yang sudah sampai di puncak imamat, sebabnya imam melepaskan imamatnya, antara lain karena mulai meninggalkan hidup doa dan Ekaristi. Perjuangan yang panjang ke imamat antara lain agar bisa mempersembahkan Ekaristi atas nama Kristus di tengah dan bersama umat, maka kalau sudah menikmati kebahagiaan imamat janganlah meninggalkan atau lalai merayakan Ekaristi di tengah kesibukan karya pastoral sebagai imam. Menyedihkan kalau tanpa alasan khusus ada imam yang tidak merayakan Ekaristi. Doa bisa dibuat oleh imam dan awam, berkotbah mungkin ada awam yang lebih hebat, tapi Ekaristi hanya bisa dipersembahkan oleh imam. Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup seorang imam, sama seperti ia menjadi pusat dan puncak hidup Gereja. Ekaristi menjadi sumber hidup rohaninya, karena di dalamnya dilaksanakan karya keselamatan seluruh umat manusia di mana umat manusia diperdamaikan dengan Allah dan dari mana mengalirlah segala rahmat hidup ilahi. Saya kira catatan kecil ini juga berlaku untuk para imam sekaligus biarawan. Ekaristi dan hidup doa kiranya menjadi sumber kekuatan rohani untuk tetap setia dan konsekuen mempersembahkan hidup yang sungguh dibaktikan kepada Tuhan, Kristus dan Gerejanya. Dan atas cara ini bisa menimalisir kisah-kisah seputar krisis penghayatan imam dan hidup religius, termasuk penghayatan kaul-kaul kebiaraan, kemurnian dan ketaatan dewasa ini.
Akhir kata, pesan buat para imam. Konsili Vatikan II mengajarkan dan menegaskan bahwa Yesus Kristus gembala abadi telah mendirikan Gereja kudus dan mengutus rasul sama seperti Ia sendiri diiutus (LG. Art 18). Para imam, meskipun tidak memiliki puncak imamat dipersatukan dengan Uskup dan berkat sakramen tahbisannya, ia memiliki kuasa suci untuk mengambil bagian dalam imamat Kristus sebagai Imam Perjanjian Baru.
Maka mereka memiliki kekhasan dalam tugas sebagai pemimpin umat beriman. Mereka hendaknya memberikan kesaksian tentang kasih Allah yang terpancar melalui suatu “keberlainan” gaya hidup, sebagai seorang gembala yang baik dan sungguh menjalankan tugas imamatnya, bukan untuk satu dua tahun melainkan sampai selamanya, dan menjadi pemersatu yang menghantar manusia kepada kesatuan dengan Allah dan memperkenalkan Allah di tengah hiruk-pikuknya dunia ini. Ini hanya dapat dibangun melalui suatu relasi yang khas, relasi yang intim-mesra dengan Kristus sendiri.
Sekali lagi, kekhasan imamat jabatan justeru terletak pada hubungan intim-mesra dengan Kristus sebagai Kepala dan Gembala umatNya itu. Konsili Vatikan II dengan sengaja memakai istilah in persona Christi, bukan representatio Christi. Maksud Konsili adalah bahwa seorang imam tidak pernah mewakili Kristus yang berhalangan hadir, tetapi imam justru menjadi tanda efektif dari Kristus sebagai Kepala. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa imamat jabatan menjadi tanda bahwa umat tidak dapat membentuk dan membina diri atas kuasanya sendiri, melainkan tergantung dari Kristus dan bertumbuh atas dasar karya keselamatan Kristus. Di sini peranan imam menjadi tak tergantikan.
Konsekuensinya adalah dalam fungsinya sebagai pemimpin umat, imam tidak boleh mencari kepentingannya sendiri, tetapi senantiasa mencari dan melaksanakan kehendak dan kepentingan Kristus. Dan atas cara ini membantu umat agar senantiasa hidup menurut kehendak Kristus.
Pesan bagi para imam di atas hendaknya menjadi dorongan bagi para calon imam. Seminarium bagaikan tempat persemaian benih, ada benih yang mati ketika masih di tempat persemaian, ada yang tumbuh lalu mati, dan ada yang dapat menghasilkan buah. Yang sanggup menghasilkan buah dan tiba di Kanaan imamat mengandaikan bahwa sudah terjadi transformasi menurut pola hidup Kristus terus-menerus, juga sudah melewati suatu akhir pemurnian motivasi panggilan, lalu mengambil keputusan final secara dewasa dalam konteks panggilan tadi. Dan masa studi adalah masa penting untuk itu: belajar tekun dan belajar berpikir kritis, menguji diri dalam seluruh aspek hidup, dan memurnikan motivasi panggilan dan menyelaraskan dengan tuntutan hidup imamat.
Di atas semuanya itu, disiplin hidup dan kerja yang menjadi pusat orientasi pembinaan dan studi itulah yang menjadi modal bagi saya untuk mengembangkan diri dan hidup dalam bentuk profesi apapun. Kekhasan ini yang selalu kupertunjukkan dimana pun saya hidup dan bekerja. Yang jelas, selalu menampilkan keberlainan hidup dan karya sebagai orang yang pernah belajar di seminari.
Suatu hal yang juga tak kulupakan adalah aktivitas fisik dan olahraga wajib sebagai sarana latihan mengolah kebugaran fisik calon imam. Lari pagi di setiap hari Rabu sebelum Misa pagi itu adalah hal wajib, tanpa tawar-menawar. Jangan main-main dengan aturan ini. Ini memang untuk para frater meski banyak staf yang juga ikut lari pagi. Untuk apa? Bukan saja supaya kuat secara rohani tetapi juga kuat dan bugar secara fisik,karena keyakinan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Saya mengamati, maaf kalau pengamatan ini salah, sekali lagi maaf, aspek ini kini sering diabaikan. Mungkin lari pagi sudah dihilangkan. Sering kita menyaksikan, banyak calon masih frater sudah mulai banyak sakit. Ada juga banyak imam muda yang sakit-sakitan. Dan kerena itu perhatian besar pihak Gereja dan keuskupan atau tarekat diberikan kepada mereka. Pasti banyak biaya dikeluarkan untuk itu. Sementara banyak imam yang sehat dan aktif dalam berbagai tugas dan karya perutusan karena mengolah dan menjaga keseimbangan kebugaran tubuh dan rohani, sering kurang mendapat apresiasi. Namun semua perhatian yang kualami dulu, hidup rohani, akademik, sosial dan fisik ikut membentuk totalitas kepribadian yang berkembang secara seimbang. Meski bidang studi dan ilmiah tetap amat terasa, bukan saja waktu di seminari tetapi juga kini di luar.
Saya masih ingat pertanyaan pokok di ruang ujian kompehensif untuk meraih gelar Magister Pendidikan di Universitas Negeri Manado, April 2011. “ Membaca gaya menulis, sistematika berpikir dan keteraturan dalam diksi dan konsep, saya tidak bertanya banyak. Saya tahu betul, tesismu mulai ditulis ketika libur semester pertama dan engkau berinisiatif menghubungiku untuk menjadi pembimbing, meski belum ada SK resmi pembimbingnya. Cuma ini pertanyaan saya, “Apakah engkau alumni STF.
Seminari Pineleng?”, tanya seorang penguji dan pembimbing tesisku. Saya kaget dengan pertanyaan ini dan memang cuma ini pertanyaannya. “Ya Prof, kami sudah terbiasa demikian. Terkait dengan pokok ujian dan kuliah-kuliah di sini, sejujurnya bisa kukatakan bahwa banyak materi kuliah bisa saya pelajari secara mandiri, kecuali satu bidang ilmu: Statistik. Makasih banyak atas kesempatan belajar di sini, tetapi semakin banyak yang saya pelajari ternyata semakin banyak yang saya tidak tahu; dan terutama terima kasih karena boleh mengenal sedikit bidang ini di sini (statistik, red)”, ujarku merendah.
Sungguh, saya tidak menyesal mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai calon imam, dan saya bangga karena telah melewati suatu proses panjang sampai keputusan penting ini, setelah dibina dan membina diri dan mendapatkan banyak hal berharga yang tak kudapatkan di luar seminari. Terima kasih Seminariku, terima kasih Seminariku: Seminari Menengah San Dominggo Hokeng Flores, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Flores, dan STF. Seminari Pineleng, Manado. Khusus buat Seminari Hati Kudus Pineleng (STFSP), selamat ulang tahun, 15 Agustus 2021. Terima kasih Seminariku…Jayalah selalu di negeriku dan tak akan terlepas dari ingatan hatiku***