PORTALNTT.COM, KUPANG – Kehidupan kota memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan desa, kehidupan kota cenderung keras. Kota merupakan pusat kehidupan bagi orang-orang yang berkerja untuk mendapatkan nafkah untuk kehidupannya.
Di pinggiran Kota Kupang, tepatnya di Kelurahan Alak, sebuah kondisi yang cukup memperihatinkan terlihat di sana, kumpulan sampah yang mengunung dan beraroma tak sedap dipenuhi lalat-lalat bertebrangan justru menjadi sandaran hidup bagi sekelompok masyarakat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak.
Penghuni TPA Alak, adalah kumpulan orang-orang yang begitu mencintai kehidupan ini. Bisa dibayangkan dengan kondisi yang sangat kumuh, tidak pernah menyurutkan sedikit pun langkah mereka mengumpulkan potongan-potongan sampah untuk dijual kembali demi mengapai rupiah sebagai penyambung hidup.
Kondisi ini menggugah Perempuan Peduli Kasih relawan FirManmu, meskipun harus menempuh perjalan yang cukup jauh tak membuat perempuan-perempuan perkasa berhati mulia ini untuk datang langsung menemui para penghuni TPA Alak, Senin (16/1).
Pantuan media ini, ketika menginjakkan kaki di TPA Alak, wajah pucat lesu terlihat dari anggota PPK FirManmu. Ada yang kecapehan, ada juga yang menggerutu sembari mengeluh karena tak tahan akan sambutan lalat-lalat liar seolah-olah memberi tanda selamat datang kepada siapa pun yang datang di sini.
Namun semua itu sirna ketika seluruh tim PPK mengayunkan langkah menemui para penghuni TPA. Diantara rasa percaya dan heran menyelimuti diri, mereka terbawa dalam kebahagiaan bersama seluruh penghuni TPA.
“Jujur ini pengalaman perdana datang ke sini. Awalanya sempat mau muntah, tapi setelah datang bertemu orang-orang di sini ternyata ada suatu kekuatan luar biasa muncul dari dalam diri. Mereka (penghuni TPA-read) orang-orang hebat yang pernah saya temui,” ungkap Marlinda Zakharias salah satu anggota PPK FirManmu.
Sementara Koordinator PPK FirManmu, Tiny Mooy, mengatakan mereka memilih TPA Alak untuk berbagi kasih karena para penghuni TPA Alak merupakan orang-orang, yang selama ini luput dari perhatian padahal mereka adalah bagian dari warga Kota Kupang.
“Mereka semua ini adalah saudara-saudara kami. Ketika kami datang memang terasa sangat aneh dengan kondisi ini karena juur ini pengalaman pertama kami, tapi setelah berada bersama mereka ternyata kebahagiaan yang sesungguhnya itu ada di sini. Mereka tidak pernah bermimpi untuk bisa mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang tidak halal seperti para pejabat berdasi yang korupsi, mereka dengan setianya mengais rejeki pada potongan-potongan sampah untuk mendapatkan beberapa rupiah saja demi mempertahankan hidup mereka,” kata Tiny.
Menurut perempuan berdarah Rote ini, sumbangan yang diberikan PPK ini memang tidak seberapa, tapi tulus merupakan kerelaan dari seluruh anggota PPK.
“Ada buku-buku bekas, pakian dan barang lainnya,” katanya.
Seorang kakek penghuni lokasi TPA, A. Bollu yang sudah 20 tahun hidup di TPA, dengan mata berkaca-kaca sembari mengisahkan perjuangan mereka mengais rejeki di sekitar TPA sekadar untuk menyambung nyawa, “kakek senang karena hari ini kami dapat kunjungan”, ungkap kakek Bollu yang hidup sebatang kara itu terbata-bata.
Menurut kakek Bollu, kehidupan memang sangat keras, terkadang Ia harus berbaring tak berdaya di dalam gubuk beratap terpal, berdinding seng bekas, karena kakinya sering bengkak. Entah penyakit apa gerangan karena Ia sendiri tak pernah berobat ke dokter atau rumah sakit.
“Kakek sering sakit bengkak di kaki tetapi cucu-cucu kakek ini yang temani kakek,” ujar kakek Bollu sembari memeluk seorang bocah yang sudah dianggap sebagai cucunya.
Salah satu penghuni TPA lainnya, Vena Klomang (24) warga asal Soe, mengaku baru bergabung di TPA Alak kurang lebih empat tahun. Bersama suami dan anak semata wayangnya mereka mengantungkan hidup di TPA.
“Kami harapkan pemerintah untuk perhatikan TPA ini kalau bisa diperluas. Dan juga buang sampah di sini saja, jangan ada yang buang di jalur dan di sini,” imbuhnya.
Ditanya tentang kondisi lingkungan di TPA yang jauh dari syarat kesehatan, Dia mengaku, tak pernah mengalami sakit bahkan anaknya juga selalu sehat dan ceria dengan situasi ini.
“Kami selalu periksa ke puskesmas sebulan sekali. Kalau lalat yang banyak ini kami anggap mereka adalah teman-teman kami yang senantiasa mengikuti kami kemana pun kami pergi mencari potongan-potongan sampah yang masih bisa kami jual,” tandasnya.
Untuk diketahui, walau digilas roda ekonomi tetapi kakek Bollu, Vena Klomang bersama penghuni TPA lainnya termasuk anak-anak selalu hidup berdampingan tanpa gesekan. Mereka (anak-anak) masih bisa tertawa dalam kepedihan, bercanda dalam keterbatasan, dan saling mencintai tanpa alasan. (Jefri)