Menggali Lagi Makna Panggilan: Guru Agama Katolik: Tuntutan Profesi dan Panggilan

  • Whatsapp
banner 468x60

Oleh: Drs. Fransiskus Sili,MPd., Guru SMK Negeri5 Manado
 

Karya kependidikan, entah yang dilakukan seorang guru (dalam arti pendidik profesional) atau yang dilakukan oleh orang tua (pendidik pertama dan terutama), atau juga yang dilakukan pemimpin, atau orang dewasa pada umumnya yang merasa bertanggungjawab dalam pemanusiaan manusia, adalah suatu karya sosial yang besar karena dampaknya sangat terasa dalam hidup pribadi dan masyarakat. Mengapa demikian, karena karya itu menyentuh pada ciri-ciri yang mendasar.
Pertama, bersifat fundamental, karena upaya pendidikan dimaksudkan untuk membantu peserta didik menemukan  makna hidup dan pola nilai yang mengarahkan hidupnya. Perkembangan peserta didik yang dimaksud supaya mereka berkembang dalam seluruh dimensi hidupnya sebagai manusia. Kedua, perkembangan diri seseorang sejak lahir sampai dewasa adalah suatu tugas hidup mesti tetap dikembangkan. Perkembangan diri yang dimaksud sudah pasti memerlukan  layanan pendidikan yang pasti juga dipengaruhi banyak hal.
Kedua, proses dan hasil pendidikan   bagi setiap orang dapat dipandang sebagai investasi kemanusiaan yang tinggi dan bersifat antisipatif dan haruslah bermutu. Namun dengan menunjuk pada banyak faktor yang terkait dalam kegiatan pendidikan, pasti mengandung banyak masalah. Tulisan ini hendak menggali makna tugas sebagai guru pada umumnya sebagai profesi di sekolah dan Guru Agama Katolik dalam kekhususannya.
 
Kewibawaan Kependidikan
 
Gambaran kompleksitas kegiatan pendidikan  di atas menghantar kita pada kesimpulan bahwa tugas seorang pendidik adalah berat namun  mulia, dan agar pendidik mampu memyumbang jasanya dalam membantu perkembangan total peserta didik seperti yang dijelaskan di atas, seorang pendidik dituntut untuk memahami dan memaknai hakekat tugasnya. Di samping itu guru dituntut untuk memiliki kewibawaan kependidikan, yang bersumber dari keunggulan pribadi yang dijiwai oleh keutamaan hidup atau nilai-nilai luhur yang dihayati serta diamalkannya.

Menurut A. Samana, kewibawaan seorang guru hendaknya merupakan kewibawaan  pedagogis, yang bertumpu pada  keutamaan pribadi dan bobot kompetensinya,yang secara nyata guru tersebut menjadi teladan hidup susila, bersemangat dalam membantu perkembangan diri siswa ke arah kedewasaan, berkecakapan keguruan yang berdasarkan keilmuan, dan dalam pergaulan yang lebih luas juga berperan sebagai warga negara yang baik.

Namun kewibawaan pedagogis seorang guru bukan terutama bersumber dari kewenangan ijasah dan nilai di baliknya, bukan juga bersumber dari SK pengangkatannya sebagai guru oleh lembaga yang berwewenang mengangkat, bukan juga bersumber dari hirarki kepangkatannya. Kewibawaan pedagogis yang dimaksud bersumber pada keutamaan pribadi serta bobot penguasaan kompetensi keguruannya tersebut mengundang kerelaan siswa untuk bersedia dibimbing oleh guru yang bersangkutan.

Jadi kewibawaan pedagogis seorang guru terkait secara erat dengan integritas kepribadiannya serta kualitas penguasaan kompetensi dari guru yang bersangkutan. Kompetensi guru itulah yang kini dikenal dengan tuntutan kompetensi guru: kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional.

Tuntutan kompetensi guru di atas dihubungkan dengan tanggungjawab yang diemban guru pada umumnya. Tentang tanggungjawab guru, Syaefuddin Saud mencatat beberapa hal. Pertama, guru sebagai pengajar, yang lebih menekankan  pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajarannya. Di sini memang guru dituntut menguasai seperangkat pengatahuan keilmuan serta teknis mengajar dan terus berusaha menguasai ilmu atau bahan yang diajarkan. Kedua, guru bertugas membimbing siswa dengan tekanan pada tugas memberi bantuan bagi siswa dalam memecahkan masalah. Siswa dibantu untuk menguasai sejumlah kompetensi dan kecakapan hidup terutama agar sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya.

Tugas ini berkaitan dengan aspek mendidik karena bukan saja berkaitan dengan mentransfer sejumlah ilmu pengetahuan, melainkan juga dan terutama pembinaan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai hidup. Di sini benarlah kata dari pepatah bahasa Latin, non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah (nilai) tetapi untuk hidup. Saya yakin, banyak guru, seperti halnya dengan pergumulan pribadiku, kita terus berjuang supaya anak-anak didik memiliki nilai-nilai hidup, bukan sebagai yang diberikan dari luar melainkan berasal dari kekayaan dirinya.
Di samping itu guru bertugas sebagai administrator kelas, yang pada hakikatnya berkaitan dengan ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Tentu saja tekanan diberikan lebih pada  ketatalaksanaan bidang pengajaran. Tanggungjawab lainnya adalah mengembangkan kurikulum. Impilkasinya adalah bahwa guru selalu dituntut untuk mencari gagasan baru, membuat inovasi dalam penyempurnaan praktik mengajar.

Akhirnya, tangungjawab mengembangkan profesinya, pada dasarnya berarti tuntutan dan panggilan  untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan kualitas tugas dan tanggungjawabnya. Dan ini dalam banyak hal bergantung pada dirinya sendiri. Guru harus sadar bahwa dalam melaksanakan tugasnya,ia dituntut untuk bersungguh-sungguh, bukan sebagai pekerjaan sambilan, meskipun dalam status keguruan sebagai tenaga pendidik mungkin dikategorikan sebagai guru tidak tetap. Di sini guru dituntut untuk selalu meningkatakan pengetahuan dan kemampuan dalam rangka pelaksanaan  tugas-tugas profesinya.
 
 
Tentang Semangat Kerja Guru
 
Semangat kerja yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah  semangat dalam melaksanakan  tugas-tugas profesinya dan juga tugas lain yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru. Menurut Arikunto, seperti dikutip M. Shulton, kata semangat mengandung kekuatan internal yang mendorong seseorang melakukan sesuatu (motivasi).

Dalam kaitan dengan itu, Gibson dkk menyatakan bahwa semangat kerja itu merupakan konsep yang digunakan  jika seseorang memanfaatkan  kekuatan yang berkerja dalam dirinya untuk mengarahkan karya dan prilakunya. Semangat kerja itu kalau dikaitkan dengan semangat  mengajar,maka menurut Arikunto,  semangat mengajar dimengerti sebagai kondisi guru yang dilandasi motivasi atau kehendak untuk melaksanakan tugas profesional yang diserahkan kepadanya. Kata ini menunjuk pada kuantitas dan kualitas  kerja seorang  guru.

Gibson, dalam Shulton menjelaskan tentang kuantitas dan kualitas kerja seorang guru itu.  Kuantitas pelaksanaan tugas seorang guru meliputi frekuensi kehadiran mengajar, keseringan menyusun dan memperharui perangkat pembelajaran, selalu memperkaya buku sumber, banyaknya kegiatan evaluasi, koreksi dan umpan balik serta memanfaatkannya dalam pengembangan tugasnya. Dan kualitas pelaksanaan tugasnya meliputi kedisiplinan, ketepatan waktu pelaksanaan tugas, keseringan melakukan tugas, sabar dan tekun  dalam menangani perkembangan siswa,  serius dalam  memelihara dan mengatur sarana-prasarana dalam mengajar, dan  kesungguhan dalam membuat evaluasi hasil belajar siswa.

Semua tugas dan tanggungjawab di atas  dari hari ke hari terasa semakin berat, seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Menurut Kunandar, guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan  dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan iptek. Melalui sentuhan seorang guru, diharapkan mampu menghasilkan  peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan diri dan kompetensi yang tinggi. Dalam konteks krisis moral, tanggungjawab dan tugas guru ini  semakin mendapatkan tempatnya yang layak.

Akibat pengaruh iptek dan globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang menekankan  moralitas  kini bergeser oleh pengaruh iptek dan globalisasi. Pengaruh hiburan, pornografi dan sebagainya menempatkan kaum remaja  dalam pergaulan bebas dan materialisme. Kaum remaja sekarang cenderung mengejar kepraktisan dengan mental mie instannya, kesenangan belaka dan budaya materialisme. Inilah yang menggugah panggilan seorang guru pada umumnya, dan guru agama Katolik pada khususnya.
 
Siapakah Guru Agama Katolik?
 
Unsur-unsur yang melekat pada tuntutan profesi guru pada umumnya, pada bidang tugas seorang guru agama Katolik, mendapatkan kekhusannya. Guru Agama Katolik (katekis) adalah seorang yang karena panggilannya yang khusus yang diakui Gereja dan diperjelas atas tugas perutusan dari Uskup setempat yang menjalankan  tugas mewartakan khabar gembira Yesus Kristus  kepada peserta didiknya. Ia adalah pelayan Sabda Allah. Sebagai pelayanan sabda, ia dituntut setia pada Sang Sabda, Sabda yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus. Pola hidup seorang guru agama  adalah pola hidup Yesus sendiri (bdk. Yoh. 13:1-13).

Dalam profil guru Agama Katolik yang dikeluarkan oleh  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999), disebutkan bahwa  seorang guru agama adalah seorang yang:

a. Insyaf bahwa dirinya diutus. Dalam Evangeli Nuntiandi (EN) nomor 59 disebutkan bahwa “Kalau orang mempermaklumkan Injil keselamatan di dalam dunia, mereka melakukan hal itu atas perintah, atas nama dan dengan rahmat Kristus Juru Selamat. Itu berarti seperti halnya Yesus, Ia dengan tegas menyatakan bahwa  Ia sebagai yang diutus (bdk. Yoh. 5:30). Sebagai guru agama  bukan mengarahkan peserta didik berdasarkan gagasan pribadi,melainkan berdasarkan Injil. Guru agama katolik sebagai pendamping peserta didik berfungsi  mengantarai dalam perjumpaan Allah dengan peserta didik.

b. Kekhasan seorang guru agama Katolik adalah memberikan kesaksian hidup yang otentik. Menurut Evangeli Nuntiandi, ada 3 pertanyaan  untuk melihat profil seorang guru agama katolik: adakah anda percaya sungguh dengan apa yang diwartakan?, adakah anda menghayati apa yang anda percaya?, dan adakah anda benar-benar  mengajarkan apa yang anda hayati (dan melakukan apa yang anda ajarkan?.

c. Memperjuangkan perikemanusiaan. Menjadi guru agama Katolik berarti mengikuti pola hidup Kristus. Berpola hidup Kristus berarti mengikuti gerakan Kristus yaitu gerakan mewartakan Kerajaan Allah (bdk. Luk. 4:18-19). Dengan kekuatan ilahi guru agama katolik ikut mengubah peserta didik dan memperbaharuinya. Karena adanya kekuatan ilahi, pesan yang dimaklumkan melalui berbagai materi pengajaran ikut memperbaharui manusia pada umumnya.

d. Guru agama katolik juga dipanggil mengusahakan persatuan sebagai kerinduan umat manusia dan dan untuk menjawab kerinduan yang ditanam oleh Allah sendiri dalam hati manusia: mengusahakan damai dan persatuan dengan Allah, dengan sesama, dengan alam lingkungan dan dengan dirinya sendiri.
 
Guru dan Guru Agama Katolik
 
“Guru” adalah kata yang bukan berasal dari bahasa Indonesia melainkan dari bahasa India yang artinya “orang bijaksana, berbudi luhur dan berwatak mulia”. “Guru” adalah sebutan yang sangat tinggi untuk seseorang yang memiliki sifat-sifat mulia tadi sehingga ia pantas dihargai sebagai seorang “Guru”. Dalam bahasa Sansekerta “gu” artinya kegelapan, dan “ru” artinya terang. Maka “guru” berarti orang yang menghantar orang lain meninggalkan kegelapan menuju terang. Secara prinsipiil yang disebut “guru” itu bisa dalam arti: seorang utusan Allah, seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang Allah dan ciptaan; bisa juga berarti: orang tua, para pengajar di sekolah, buku-buku, dan bahkan “kedisiplinan intelektual kita sendiri”. Apa saja yang dapat membebaskan manusia dari kegelapan menuju terang disebut “guru”.

Kalau kita bandingkan dengan istilah bahasa Inggris “teacher”  yang tugasnya to teach dengan beberapa arti: (1) memberi instruksi (give instructions); 2) memberi nasehat (to advocate); 3). Memberi pengaruh (to persuade) 4. Mengajari (to tell or show how to do something). Dan ada kata lain “to educate” dengan arti: refers to the overall development of knowledge and intellect, usually through the formal education system of schools and universities. Padalah kata education itu berasal dari bahasa Latin ex dan ducere yang artinya memimpin keluar. Tindakan itu dimaksudkan untuk memimpin anak-anak mengeluarkan potensi-potensinya atau memampukan anak-anak keluar dari ketertutupan diri supaya menjadi manusia yang berkembang.

Proses pendidikan sesungguhnya adalah proses pembebasan dari ketertutupan diri berupa kebodohan, ketidaktahuan, rendah diri menjadi manusia yang mampu mengeluarkan potensinya, menolong dirinya sendiri bahkan menolong orang-orang lain. Itulah proses edukasi.
Guru Agama adalah suatu panggilan mulia dalam Gereja. Kalau edukasi atau proses pendidikan saja sudah merupakan proses pembebasan; maka guru agama membantu peserta didik untuk mengalami proses penyelamatan. Penyelamatan adalah proses pembebasan bukan hanya dari kebodohan melainkan dari kedosaan.
Proses penyelamatan bukan hanya bersifat natural membuat orang bodoh menjadi pinter, melainkan bersifat supranatural, adrikodrati atau tataran rahmat, yaitu membuat manusia menjadi ilahi, rohani, beriman dan mendapatkan kebahagiaan sejati.

Dengan demikian seorang guru agama/katekis di sekolah tidak berbeda dengan kedudukan guru mata pelajaran pada umumnya, yaitu sebagai pendidik. Di Sekolah ia disebut sebagai guru, sebagai guru agama. Memiliki hak dan kewajiban kedinasan yang sama dengan guru mata pelajaran lainnya. Dalam kebersamaannya sebagai tenaga pendidik, ia ikut bertanggungjawab atas keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuan pendidik di sekolah,baik pendidikan dasar, pendidikan pertama dan menengah atas dan menengah kejuruan.
Akan tetapi karena terikat dengan kekhasan panggilannya itu, maka sebagai guru agama katolik, tanpa mengesampingkan kerja samanya dengan pimpinan sekolah dan komponen sekolah lainnya,  ia adalah seorang yang melalui profesinya itu diutus oleh Gereja. Ia berperan khusus dalam melayani sabda Allah dalam rangka karya penyelamatanNya.
 
Guru Agama katolik dalam Tradisi Gereja
 
Dr. Albertus Sujoko MSC, dalam suatu materi pelatihan kepada guru agama menjelaskan bahwa Guru Agama atau Pengajar Agama dalam Gereja disebut Magister atau Magistra. Gereja Katolik sering disebut Mater et Magistra (ibu dan buru). Kata Latin “magister” yang artinya guru, demikian Pastor Sujoko, diterangkan oleh Yves Congar O.P. dalam artikelnya yang berjudul “A Brief History of the Forms of  the Magisterium”, antara lain mengatakan, “Pada masa Gereja Purba ada fungsi pengajar yang disebut Didaskalos, yang mungkin paralel dengan fungsi para Rabbi di Synagoga dalam agama Yahudi: “Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat: pertama sebagai rasul; kedua sebagai nabi; ketiga sebagai pengajar” (I Kor 12: 28). Atau Rom 12: 7; “Jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar”. Atau Ef 4: 11: Dan Ia yang memberikan baik rasul-rasul….. dan pengajar-pengajar. Atau Kis 13: 1: “Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokia ada beberapa nabi dan pengajar (Barnabas, Simeon Niger; Lukius dari Kirene; Menahem (teman kelas Herodes) dan Saulus.

Dalam bahasa Yunani  tugas mengajar disebut didache dan orang yang mengajar disebut Didaskalos. Dari kata itu pula muncul kata didaktik yaitu ilmu tentang bagaimana caranya mengajar dengan baik.

Dosen Teologi Moral STF. Seminari Pineleng ini menjelaskan bahwa fungsi mengajar agama di dalam Gereja berkembang sampai paling tidak bisa kita bedakan menjadi tiga kelompok: Pertama adalah Magisterium Gereja (Paus dan Para Uskup); kedua adalan para teolog; ketiga adalah para katekis. Pada sekitar abad ke-2 fungsi mengajar itu sudah biasa dikaitkan dengan kegiatan episkopus yang duduk di cathedra.” Cathedra (tempat duduk uskup) adalah tanda jabatan uskup, menjamin kesinambungannya, estafet pergantiannya dan ajaran yang disampaikan oleh Uskup itu. Dan kita dapat berbicara secara khusus tentang “Tahta Santo Petrus” (Cathedra Petri) karena Petrus adalah orang pertama yang mengakui imannya kepada Kristus dan berdasarkan pengakuan Petrus itu Kristus mendirikan Gereja-Nya. Cathedra adalah sama dengan apa yang kita sebut Magisterium”.

Lebih lanjut, Sujoko menjelaskan bahwa dalam perkembangannya istilah “Magisterium” kemudian punya arti Kuasa Mengajar. “Kuasa Mengajar ini kemudian ditetapkan sebagai istilah teologis untuk menunjuk pada Kuasa Mengajar Gereja Katolik dengan pengertian yang khusus pula, yaitu kuasa yang dimiliki oleh Paus sebagai pengganti St. Petrus dan bersama dengan para uskup”.
 
 
Guru Agama Katolik sebagai Pendidik
 
Pertama-tama harus dikatakan bahwa tugas mengajar adalah salah satu tugas Gereja yang melanjutkan tritugas Yesus Kristus: memimpin, mengajar dan menguduskan. Tugas mengajar Gereja itu dilaksanakan oleh para anggotanya sesuai dengan fungsi dan kharisma masing-masing. Fungsi adalah berkaitan dengan kedudukannya dalam Gereja yaitu sebagai Paus dan Uskup, sebagai teolog atau sebagai katekis. Sedangkan kharisma berkaitan dengan bakat atau karunia yang dimiliki setiap orang.
Tugas guru agama katolik di dalam Gereja adalah sangat jelas yaitu menyampaikan ajaran iman bersama-sama dengan para petugas mengajar yang lainnya. Secara khusus pengajaran iman itu disampaikan kepada anak-anak peserta didik di sekolah-sekolah. Sehingga guru agama katolik itu disebut pendidik. Kalau mendidik kita mengerti sebagai edukasi, maka tugas guru agama katolik ialah membimbing anak-anak untuk keluar dari pengaruh kuasa dosa menuju keselamatan. Di bidang iman anak-anak harus dibantu untuk memahami misteri iman atau rahasia kehendak
 
Ada tiga nilai manusawi yang hakiki yang disebutkan dalam FC no. 37 sebagai nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam pendidikan anak-anak di dalam keluarga. Nilai-nilai itu ialah:
 
Pertama, memiliki sikap yang benar terhadap harta duniawi. “Anak-anak harus dididik dalam sikap lepas bebas berkaitan dengan milik barang-barang duniawi. Mereka harus ditumbuhkan dalam semangat hidup sederhana dan hemat dan sepenuhnya yakin bahwa manusia itu berharga di dalam dirinya sendiri, bukan karena apa yang dimilikinya.”

Nilai yang mau ditekankan di sini adalah sikap lepas-bebas terhadap harta duniawi. Manusia lebih bernilai daripada harta. Manusia harus dihormati sebagai manusia, bukan karena hartanya atau kedudukan sosialnya. Nilai ini sangat penting untuk melawan konsumerisme; mengumpulkan uang dengan manghalalkan sagala cara, dan pengurasan sumber alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
 
Kedua, pendidikan keadilan dan solidaritas. “Di dalam masyarakat yang diwarnai oleh ketegangan dan konflik-konflik kepentingan akitbat egoisme dan individualisme, anak-anak harus dididik untuk mememiliki rasa keadilan dan solidaritas dengan sesamanya. Anak-anak harus dilindungi bukan hanya supaya tidak terpengaruh oleh situasi masyarakat itu, melainkan sebaliknya supaya ditanamkan kepada mereka semangat untuk mengasihi tanpa membedakan orang, terlebih perhatian kepada orang miskin dan mereka yang membutuhkan.”

Nilai yang mau ditanamkan di sini ialah perasaan simpati dan empati dengan sesama manusia yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Dalam hidup bermasyarakat yang baik, maka nilai tolong-menolong semacam itu sangatlah penting. Manusia semakin menjadi manusia apabila ia menolong dan mengasihi sesamanya yang membutuhkan bantuan. Manusia akan semakin gagal menjadi manusia kalau ia hanya mengingat kepentingan dirinya saja dan tidak peduli terhadap orang lain. Ia akan lebih gagal lagi sebagai manusia apabila merugikan dan mencelakakan orang lain.
 
Ketiga, sikap yang benar terhadap seksualitas. “Pendidikan seksualitas yang menuju pada kemurnian cinta adalah mutlak bagi anak-anak di dalam keluarga. Karena dengan pendidikan seks yang sehat anak-anak akan berkembang dalam kematangan kepribadian yang memampukan mereka untuk mengembangkan rasa hormat terhadap tubuhnya yang terarah pada kesucian perkawinan (“nuptial meaning” of the body). Sungguh, orangtua kristiani punya tugas untuk mencermati tanda-tanda panggilan Allah di dalam diri anak-anaknya, sehingga perhatian khusus perlu dicurahkan untuk memberikan pendidikan seksualitas yang menghormati kemurnian sebagai bentuk kesucian terindah berupa pemberian diri.”
 
Guru Agama Katolik sebagai Pewarta
 
Mewartakan Injil adalah tugas setiap umat beriman, khususnya para katekis. Pewarta adalah saksi dan saksi adalah seseorang yang mengalami secara pribadi apa yang diwartakan. Kita memberikan kesaksian tentang apa yang kita alami bahwa Allah sungguh baik kepada semua orang. Nilai rohani ini tidak boleh luntur dari hati kita para guru agama, imam dan pewarta pada umumnya. Dalam tugas pewartaan melalui bidang pembelajaran, dalam lingkup sekolah guru agama sebagai seorang pelayan sabda melalui kesempatan yang tersedia oleh jam belajar menurut kurikulum, mewartakan misteri penyelamatan, yang sistematikanya berkembang menurut tingkat pendidikan. Dengan tidak membebani guru agama/katekis seperti guru mata pelajaran lainnya,guru agama Katolik di samping tugas pokok yang disebutkan di atas, dapat berperan serta membangun peserta didik meningkatkan mutu iman katoliknya, lewat kegiatan pembelajaran dan aneka  pelayanan pastoral di sekolah. Meski harus dicatat, untuk hal terakhir, tentu ada beda antara situasi di sekolah katolik dan sekolah negeri.

Pertanyaannya, apa yang perlu kita wartakan kepada para peserta dididik? Familiaris Concortio menyebut lima nilai iman kristiani yang perlu kita tumbuhkan di dalam diri anak-anak didik kita.
Pertama, anak-anak secara bertahap harus dihantar pada pengenalan akan misteri keselamtan yang telah mereka terima. Mereka yang sudah dibaptis perlu diajak untuk berkembang di dalam rahmat baptisan itu. Misteri keselamatan adalah inisiatif Allah untuk menjumpai manusia yang berada di dalam dosa, menebuskan dari dosa-dosa dan membawanya ke dalam keselamatan.

Kedua, anak-anak perlu belajar untuk menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran (Joh. 4:23), khususnya melalui doa-doa dan liturgi Ekaristi. Anak-anak perlu memiliki pandangan rohani yang benar seturut ajaran Gereja. Mereka harus beriman dan percaya kepada Allah Bapa yang mahabaik. Mereka tidak boleh disesatkan dengan penjelasan-penjelasan lain tentang kekuatan-kekuatan gaib atau kepercayaan sia-sia yang bertentangan dengan iman kristiani.

Ketiga, anak-anak perlu dilatih dalam berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan martabat mereka sebagai ciptaan baru (Ef. 4: 22-24) dan dipanggil menuju kekudusan. Perilaku anak-anak yang sudah dibaptis haruslah juga mencerminkan kekuatan iman. Mereka harus bertumbuh dalam prinsip-prinsip kristiani yang kuat.

Keempat, anak-anak perlu dididik untuk tumbuh dalam kematangan dan mencapai kepenuhan Kristus (Ef. 4:13) dan membaktikan diri mereka bagi pembangunan Tubuh Mistik Kristus.
Kelima, sadar akan panggilan mereka, anak-anak itu hendaknya bertumbuh dalam kesadaran untuk memberikan kesaksian tentang pengharapan yang ada dalam diri mereka dan menjadi garam serta terang dunia yang dapat mengubah lingkungan hidupnya menjadi tanda datangnya Kerajaan Allah.

Akhirnya guru agama perlu menyadari tujuan pewartaan iman, dimana ia mengambil bagian di dalamnya. Tujuan itu antara lain menumbuhkan iman melalui pewartaan lisan maupun berbuatan, memelihara iman yang sudah ada sehingga tetap bertahan dalam pelbagai kesulitan dan tantangan, mengakui iman supaya tetap disadarkan sebagai orang yang sudah beriman, mengembangkan iman supaya menjadi lebih kuat dan lebih mendalam, mewartakan iman sebagai tanda kedewasaan iman bahwa kita dipanggil bukan hanya untuk beriman, melainkan untuk mewartakannya kepada sesama, supaya semua orang memperoleh keselamatan.

Di samping hal pokok yang mesti selalu disadari, direfleksikan dan direformat adalah kenyataan  dan kesadaran bahwa isi tugasnya sebagai guru pada umumnya dan sebagai guru agama katolik  diyakini sebagai  tugas yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Mereka meyakini bahwa  melalui karyanya mereka dilibatkan  untuk ikut membantu perkembangan remaja dan generasi muda pada umumnya oleh Tuhan. Inilah bobot kekuatan  yang mendatangkan semangat yang harus terus-menerus dibaharui.
 
Hanya atas cara itu guru dapat melaksanakan tugasnya dengan semangat,gembira dan bahkan berkorban bagi anak didik. Paul Suparno yakin bahwa  tugas mendidik yang disadari berasal dari Tuhan  untuk membantu anak-anak menjadi pribadi yang cerdas dan baik itu diterima dan dikembangkan dengan penuh kesadaran dan kegembiraan. Dengan melakukan tugas itu mereka menjadi orang yang patuh kepada Tuhan. Kepatuhan kepada perintah Tuhan itulah yang makin membuat para guru bahagia dalam hidupnya dan semangat dalam  melaksanakan tugas mendidik mereka.
 
Bahan bacaan:
Kunandar, Guru Profesional, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
M. Shulton, Membangun Semangat Guru, Pressindo,Yogyakarta, 2009
Udin Syaefuddin Saud, Pengembangan Profesi Guru, Alfa Beta, Bandung, 2010
A. Samana, Profesionalisme Keguruan, Kanisius, Yogyakkarta, 1994
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Guru Agama Katolik, Jakarta, 1999
Paul Suparno, Spiritualitas Guru, Kanisius, Yogyakarta, 2019
Departemen Dokpen KWI., Familiaris Concortio, Jakarta, 1993
 
 

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60