PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Udara malam yang dingin, tak pernah sedikitpun menyurutkan harapannya. Justru ia begitu menikmati apa yang dia lakoni dengan sepenuh hati.
Bocah lugu, yang kini menginjak bangku sekolah dasar (SD) kelas 1 pada sebuah sekolah di Kota Kupang ini harus berjuang di tengah ketidakpastian. Betapa tidak, berbekal baskom berisi jagung rebus, ia jajakan di atas trotoar, tepatnya di ujung belokan depan Gereja Marturia, arah menuju Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II A Kupang.
Namanya Fanus, berusia 8 tahun, terlahir sebagai anak ke-4 dari 5 bersaudara. Mereka terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh bangunan dan ibunya seorang Ibu Rumah Tangga.
Terlahir dalam kehidupan keluarga yang serba sulit, membuatnya harus merelakan masa kecilnya untuk bermain-main dengan teman sebayanya dan terus belajar, berjuang menjadi penjual jagung rebus.
Bersama kedua orang tua dan sanak saudaranya, Fanus hidup di kos-kosan berukuran 3×4 meter bersama nenek, Ibu dari ayah mereka. Apa yang bisa dibayangkan jika ada 8 jiwa yg tinggal di dalam kamar berdinding bebak itu? Yang pasti sempit dan pengap…tetapi itulah yang memberi mereka rasa terlindung dari panas dan hujan.
Untuk membantu sang ibu, di saat aktifitas KBM dibatasi karena pandemi Covid-19, Fanus sudah punya jadwal tetap. Setiap harinya, ia sudah mulai beranjak dari tempat tinggalnya di daerah Lasiana sekira pukul 11.00 wita, berjalan menuju lokasi tempat ia mangkal. Jaraknya lumayan jauh dan sudah pasti ketika sampai di lokasi tubuhnya mulai terasa letih.
Ia tidak sendirian. Bersama Rolan dan Juan, kedua saudaranya, mereka bertiga siap berjuang mengais rezeki di tepian jalan kota.
Ketiak tiba di lokasi tempat berjualan, Rolan dan Juan menjajakan jagung mereka agak sedikit berjarak sekitar 15 meter dari tempat jualan Fanus, persisnya di depan ruko-ruko di samping hotel T-More.
Meskipun seorang diri, Fanus tak pernah kuatir dan ia terlihat begitu menikmati duduk di depan baskom berisi jagung rebus. Sesekali, ia menawarkan jualannya pada setiap orang atau kendaraan yang kebetulan melewati depannya, dan ingin berbelok di sudut cabang itu.
Memang cabang itu terlihat ramai, apalagi di malam hari dan para penguna kendaraan akan sedikit mengurangi kecepatan sebelum berbelok di cabang itu. Kebiasaan mengurangi kecepatan kendadaraan dimanfaatkan untuk menangkap peluang. Mungkin itulah harapannya untuk mendapatkan perhatian dari para penguna kendaraan untuk bisa sedikit menoleh padanya. Syukur-syukur ada yang menghentikan kendaraan dan menghampirinya untuk membeli jagung rebusnya.
Fanus, bocah tangguh yang tak pernah peduli akan kerasnya hidup di kota karang. Baginya, juga kedua saudaranya, yang paling penting adalah ketika baskom berisi jagung itu laku terjual dan ia bisa kembali ke rumah untuk beristirahat. Tetapi kapan bisa pulang rumah membawa hasilnya?
Hampir setiap hari Fanus bersama kedua saudaranya pulang sekitar pukul 21.00 bahkan bisa sampai pukul 22.00. Berarti total waktu yang dibutuhkan untuk jualan 12 jam. Bukankah jam kerja wajib 8 jam? Bisa dibayangkan anak sekecil itu harus tetap bertahan dengan penuh kesabaran untuk menanti sesuatu yang belum pasti? Tetapi itulah yang namanya rezeki. Itulah berkat. Kalau namanya berkat, kalau akan datang pasti akan tiba, dan kalau tidak ya…..
Jika waktu sudah mulai malam, ketika perut mulai kosong dan butuh asupan makanan, Fanus hanya bisa bertahan dengan sebotol air yang dibawanya dari rumah. Tapi malam ini, Jumat (6/8/2021) Fanus begitu beruntung karena ada tangan penuh kebaikan yang melewati tempat itu dan memberikannya sebungkus nasi.
Tanpa menunggu lama, Fanus membuka bungkusan nasi itu dan melahapnya hingga habis. Melihatnya memakan nasi bungkus itu, air mata saya jatuh perlahan-lahan membasahi pipi. Sulit kubayangkan kalau aku ada di posisi Fanus. Apakah aku mampu bertahan?
Nasi bungkus itu begitu berharga dan telah memberikan energi baru untuk tubuh mungilnya. Sesudah menikmati pemberian itu, Fanus selalu terlihat riang gembira dan sesekali melompat-lompat kecil.
“Impian tidak dapat terwujud dengan sendirinya, namun impian akan datang ketika kita berusaha untuk meraihnya”
Baginya, hidup adalah perjuangan dan menurut pengalaman si kecil ini, setiap perjuangan harus dimenangkan, tetapi bukan untuk mengalahkan lawan melainkan melawan nasib. “Sempurnakan usaha dengan doa, kemudian bersabar menunggu hasil yang sempurna,” ujarnya mungkin mengulangi nasehat sang ibu. Saya sendiri heran, anak kecil ini punya keyakinan iman begitu dalam.
Saya pun menghampiri bocah mungil itu untuk sedikit bercerita dengannya. Terlihat dari tutur katanya, Fanus anak yang pemberani, karena ia tanpa canggung dan malu menjawab setiap pertanyaan yang terlontar. Saya sendiri pun bisa belajar dari anak sekelas dia. Karena telah menghabiskan banyak waktunya, saya ingin ia segera pulang rumah.
Sambil terus memperhatikannya dengan kekaguman, saya lalu memintanya memanggil kedua saudaranya. “Untuk apa Om, tanyanya padaku sambil menunjuk dua saudaranya. “Om ingin membeli semua jagung rebus kalian”, jawabku singkat.
Sesudah membeli sisa jagung mereka, saya menawarkan jasa untuk menghantar mereka kembali ke rumah mereka.
“Makasih Om, tidak repot, ini saja sudah cukup membantu kami agar pulang lebih cepat”, ujarnya padaku. “Dengan senang hati, karena dari kalian om bisa belajar sesuatu, daya juang tanpa pernah menyerah mengenal lelah”.
Di tengah jalan menghantar mereka, saya berhenti di sebuah mini market, membelikan sejumlah sembako yang ingin saya serahkan kepada orangtuanya. Mereka begitu bahagia karena bisa pulang lebih awal dan mendapat bingkisan sembako dengan kondisi jualan yang laku terjual semua.
Fanus tetap menjadi Fanus bocah penjual jagung rebus yang tetap berjuang di tengah kerasnya hidup di ibukota provinsi NTT.
Jika kita melewati jalur itu, luangkan waktu sebentar dan merogoh kocek, membeli jagung rebus milik Fanus ataupun kedua saudaranya.
Banyak orang mengakui bahwa jagung rebus ini enak. Mungkin? Pasti, karena direbus dengan hati yang berpengharapan dan penuh kasih sayang dari seorang ibu dan dijual dari seorang anak yang tak putus harapan.
Merubah nasib itu suatu proses panjang bukan yang instan. Tetapi Lao Tze, seorang filsuf Cina mengatakan: “Suatu perjalanan yang panjang, atau pekerjaan yang berat, kalau langkah pertama sudah dimulai, separuh perjalanan atau pekerjaan itu sudah selesai”.
Kalau engkau terlahir susah, tidak punya keadaan… itu bukan salahmu. Tetapi ketika engkau berhenti berjuang merubah nasib, itu baru salahmu. Fanus, bocah kecil itu telah memberi kita contoh. Anak kecil ini telah mulai dengan perjalanan panjang itu. (Jefri Tapobali)