(Sebuah refleksi teologis, oleh Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)
PORTALNTT.COM, KUPANG – Bunuh diri adalah salah satu isu yang sangat kompleks dalam perspektif teologi Kristen, terutama karena menyangkut pergumulan manusia dengan penderitaan, keputusasaan, dan relasi dengan Allah. Dalam menanggapinya, kita perlu memandangnya melalui kasih dan kebenaran Firman Tuhan.
Untuk itu, kita dapat belajar dari pengalaman Ayub, yang menghadapi penderitaan luar biasa, dan Daud, yang hidup dalam ancaman maut dari Saul.
1. Penderitaan Ayub: Sebuah Contoh Ketabahan dalam Ujian
Ayub adalah tokoh Alkitab yang mengalami penderitaan yang tidak terbayangkan. Dalam waktu singkat, ia kehilangan kekayaan, anak-anaknya, dan kesehatannya. Teman-temannya bahkan menuduhnya sebagai penyebab penderitaannya sendiri. Dalam keadaan ini, Ayub merasakan kedukaan yang begitu mendalam sehingga ia mengutuk hari kelahirannya:
“Biarlah binasa hari kelahiranku, dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada mengandung!” (Ayub 3:3).
Ayub tidak pernah secara eksplisit menyatakan keinginan untuk mengakhiri hidupnya, tetapi ia mempertanyakan alasan keberadaannya di tengah penderitaan. Ayub menunjukkan bahwa bahkan orang yang benar sekalipun dapat mengalami keputusasaan. Namun, yang menarik adalah Ayub tetap mempertahankan dialognya dengan Allah. Ia tidak menyerah dalam imannya, meskipun ia tidak sepenuhnya memahami maksud Allah dalam penderitaannya.
Ayub akhirnya menyadari bahwa Allah memiliki rencana yang jauh lebih besar dari pemahamannya. Dalam Ayub 42:5-6, ia berkata:
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
Penderitaan Ayub mengajarkan bahwa meskipun kita tidak mengerti alasan di balik penderitaan kita, kita dipanggil untuk tetap percaya kepada kedaulatan Allah. Kehidupan, meskipun penuh dengan penderitaan, tetap berada di dalam tangan Allah, yang setia memelihara dan membawa kita kepada maksud-Nya yang mulia.
2. Daud: Di Tengah Ancaman dan Keputusasaan
Daud adalah tokoh lain yang menghadapi tekanan besar dalam hidupnya. Ketika Saul, raja yang iri padanya, mencoba membunuhnya, Daud harus hidup dalam pelarian, jauh dari keluarga dan rumahnya. Mazmur-mazmur Daud menggambarkan pergumulan emosional yang mendalam selama masa ini:
“Sampai berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Sampai berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (Mazmur 13:2).
Seperti Ayub, Daud juga mengalami keputusasaan. Namun, Daud memiliki kebiasaan untuk membawa keluh kesahnya kepada Allah. Mazmur 13, yang dimulai dengan keluhan, diakhiri dengan pernyataan iman:
“Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersukacita karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.” (Mazmur 13:5-6).
Ketika hidupnya terancam, Daud tidak memilih untuk mengakhiri hidupnya, tetapi ia memilih untuk bersandar kepada Allah. Ia percaya bahwa Allah akan melindunginya dan bahwa hidupnya ada dalam tangan Allah. Ini adalah teladan iman yang menginspirasi kita untuk mencari penghiburan dan kekuatan dalam hubungan dengan Tuhan di tengah pergumulan.
3. Pandangan Alkitab tentang Bunuh Diri
Dalam Alkitab, ada beberapa contoh orang yang mengakhiri hidup mereka sendiri, seperti Saul (1 Samuel 31:4-5), Ahitofel (2 Samuel 17:23), Zimri (1 raja-raja 16:18) dan Yudas Iskariot (Matius 27:5). Tindakan ini selalu digambarkan dalam konteks keputusasaan dan terpisahnya hubungan dengan Allah.
Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa kehidupan adalah pemberian Allah yang kudus dan berharga (Mazmur 139:13-16). Kita tidak memiliki otoritas untuk mengambil nyawa kita sendiri, karena hidup kita adalah milik Allah:
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah,—dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Korintus 6:19-20).
Bunuh diri seringkali merupakan hasil dari keputusasaan yang mendalam, rasa tidak berdaya, atau perasaan bahwa tidak ada harapan. Namun, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk membawa pergumulan kita kepada Allah, yang adalah sumber pengharapan sejati. Dalam Yesus Kristus, kita memiliki pengharapan, bahkan di tengah penderitaan:
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).
4. Pelajaran Teologis: Harapan di Tengah Penderitaan
Ayub dan Daud menunjukkan bahwa dalam penderitaan yang paling kelam, ada pengharapan di dalam Allah. Keduanya mengajarkan bahwa membawa keluh kesah kita kepada Allah adalah langkah iman yang penting. Bahkan ketika kita tidak memahami situasi kita, Allah tetap setia dan peduli.
Sebagai gereja, kita juga dipanggil untuk menjadi komunitas yang mendukung mereka yang sedang berjuang dengan pikiran untuk mengakhiri hidup mereka. Kita dipanggil untuk menunjukkan kasih Kristus, mendengarkan tanpa menghakimi, dan mengarahkan mereka kepada harapan yang ada di dalam Yesus.
Kesimpulan
Penderitaan adalah bagian dari kehidupan, tetapi melalui pengalaman Ayub dan Daud, kita belajar bahwa keputusasaan tidak harus menjadi akhir dari cerita kita.
Bunuh diri bukanlah jalan keluar, karena hidup ini adalah anugerah Allah yang berharga. Sebagai orang percaya, kita memiliki pengharapan di dalam Yesus Kristus, yang telah menanggung penderitaan kita dan memberikan hidup-Nya bagi kita. Dalam Dia, kita dapat menemukan kekuatan untuk bertahan dan pengharapan untuk masa depan, bahkan di tengah kegelapan.
Kiranya kita terus bersandar kepada Allah dan menjadi saluran kasih-Nya bagi mereka yang sedang bergumul.
Kiranya keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan penghiburan untuk terus hidup dalam pengharapan.
Kiranya semua pengalaman hidup dan cerita hidup membuat kita berefleksi, introspeksi dan mengevaluasi diri. Ingat hidupmu berharga, hidup hanya sekali, nikmati dan syukurilah. Tuhan Yesus beserta kita.