Refleksi Minggu, 11 Mei 2025 (Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)
Bacaan : Yohanes 20:19-29
Nats pembimbing : Yohanes 20:27
Shalom, di minggu kedua bulan budaya GMIT, bersama basodara etnis Sumba dan Flores kita akan memaknai budaya dalam ibadah kita saat ini dengan tema “Sentuhan fisik yang memulihkan” Berdasarkan Yohanes 20:19–29. Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa hal penting dari bacaan ini disesuaikan dengan tema dan perayaan bulan budaya saat ini:
A. Pengantar teks dan konteks
Dalam kisah Injil Yohanes 20:19–29, kita melihat bahwa Yesus yang bangkit tidak hanya hadir secara rohani, tetapi Ia datang dengan tubuh-Nya yang terluka (fisik), dan membiarkan murid-murid-Nya, khususnya Tomas, menyentuh-Nya. Mengapa sentuhan itu penting? Karena sentuhan fisik dari Yesus menjadi sarana pemulihan iman, pengusiran ketakutan, dan pengakuan akan keilahian-Nya. Menurut N.T. Wright, seorang teolog Perjanjian Baru, “Kebangkitan Kristus bukan sekadar kabar sukacita, tetapi juga merupakan tindakan pemulihan yang menyentuh realitas manusia secara penuh; tubuh, jiwa, dan roh.” Mari kita renungkan bagaimana sentuhan fisik Yesus dalam kisah ini menjadi lambang dan alat pemulihan, bukan hanya bagi Tomas, tetapi juga bagi kita semua.
1. Mengapa murid-murid begitu takut kepada orang Yahudi sampai mengunci pintu (ayat 19a)
Yesus baru saja disalibkan oleh otoritas Romawi atas tekanan pemimpin Yahudi. Para murid melihat sendiri betapa brutal dan cepatnya eksekusi itu dilakukan. Mereka menyaksikan:
• Penangkapan Yesus di taman Getsemani.
• Pengadilan cepat dan penuh manipulasi.
• Hukuman mati yang memalukan dan menyakitkan.
Para murid tahu bahwa mereka adalah pengikut Yesus yang dikenal publik, mereka takut bahwa mereka akan dianggap sebagai komplotan penghasut atau pengikut ajaran sesat, dan akan ditangkap atau dibunuh juga (Yohanes 20:19 menyebut secara eksplisit: “karena takut kepada orang-orang Yahudi”).Ini adalah ketakutan eksistensial, ketakutan akan kehilangan nyawa, martabat, dan masa depan. Tidak mengherankan jika mereka bersembunyi dan mengunci pintu. Selain ketakutan fisik, para murid juga:
• Diliputi rasa bersalah karena meninggalkan Yesus di saat terakhir.
• Bingung dan kecewa karena harapan mereka bahwa Yesus akan memulihkan kerajaan Israel secara politik tidak terjadi.
• Luka batin karena kehilangan Guru yang mereka kasihi.
• Kabar tentang kubur kosong, dan kesaksian beberapa perempuan yang melihat Yesus semakin membingungkan mereka dan bisa jadi mereka semakin takut karena orang Yahudi akan berpikir bahwa merekalah yang mencuri mayat Yesus (Matius 27:62-64).
Para murid tidak hanya kehilangan pemimpin, tapi juga harapan, arah hidup, dan kepercayaan diri. Dalam istilah psikologi pastoral, para murid mengalami “trauma religius” perasaan bahwa segala hal rohani yang mereka pegang teguh telah hancur.
Rudolf Bultmann “Krisis eksistensial pasca-salib” melihat bahwa pengalaman para murid setelah kematian Yesus adalah pengalaman krisis eksistensial. Dalam teologi eksistensialnya, ia menyebutkan bahwa: “Kematian Yesus bukan hanya tragedi historis, tetapi juga kehancuran harapan eksistensial para murid.” Dengan kata lain, salib membuat seluruh kerangka pemahaman religius mereka runtuh.Mereka sebelumnya percaya bahwa Yesus akan menjadi Mesias yang membebaskan Israel secara politis, tetapi salib mengguncang total persepsi mereka tentang Allah, Mesias, dan masa depan.
2. Yesus menampakkan diri: menghadirkan damai dalam ketakutan dan memulihkan (ayat 19b)
Yesus tidak menunggu para murid menemukan-Nya. Dia datang ke tempat persembunyian mereka, menembus pintu yang terkunci, “Yesus datang, berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19). Yesus tidak menunggu mereka siap, tidak menunggu mereka pulih, atau bertobat terlebih dahulu. Ia menembus pintu terkunci—secara fisik maupun batin—untuk masuk ke dalam ketakutan terdalam para murid dengan sapaan “shalom”. Ini bukan sekadar sapaan sopan atau ucapan klise, tetapi, seperti kata Rudolf Bultmann, ini adalah: “deklarasi dari realitas baru.” Yesus tidak datang untuk menyalahkan mereka yang lari, menyangkal, dan bersembunyi. Dia datang membawa:
• Pengampunan atas kegagalan mereka.
• Keteguhan untuk menggantikan ketakutan mereka.
• Damai sejati yang tidak berasal dari dunia, tetapi dari salib dan kebangkitan.
Yesus datang bukan untuk menghukum para murid karena ketakutan dan kegagalan mereka (seperti Petrus yang menyangkal-Nya), tetapi memberi pengampunan bahkan sebelum mereka meminta. Kata pertama Yesus kepada para murid adalah “Damai”, bukan “Mengapa kamu lari?” Ini adalah transformasi spiritual dari ketakutan menjadi keberanian, dari rasa bersalah menjadi percaya dan berpengharapan. Inilah titik balik murid-murid sehingga menjadi rasul yang berani memberitakan Injil karena mereka telah diterima kembali dalam persekutuan dengan Yesus.
3. Yesus menunjukkan luka-Nya (ayat 20)
Setelah Yesus hadir, menyapa dengan penuh damai dan memulihkan, Ia menunjukkan luka (di tangan dan lambung juga kaki) dalam Lukas 24:39 “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku; Aku sendirilah ini.” Luka menjadi tanda pengenal ilahi, bukan cacat tubuh. Dalam dunia yang sering menyembunyikan luka dan kelemahan, Yesus justru menunjukkannya. Mengapa Yesus menunjukkan luka-Nya?
1) Luka Yesus bukanlah simbol kegagalan, tapi saksi abadi dari kasih yang menebus. Dalam budaya manapun, bekas luka sering dianggap sebagai “bukti” pengalaman hidup. Demikian juga dalam iman Kristen, luka salib menjadi meterai cinta Allah.
2) Yesus menunjukkan bahwa kebangkitan tidak berarti melarikan diri dari penderitaan, tetapi mengatasi penderitaan tanpa menghapus kisahnya. Luka-luka itu berbicara kepada para murid (dan kepada kita) bahwa Tuhan tidak jauh dari penderitaan kita. Jürgen Moltmann, teolog salib dan harapan, berkata: “Allah tidak bisa disebut Allah tanpa salib. Allah yang tidak terluka bukanlah Allah yang dapat dipercaya oleh orang yang menderita.” Kristus yang bangkit dengan luka-Nya adalah pengharapan bagi mereka yang terluka, karena Dia tahu apa artinya ditolak, disakiti, dan menderita.
3) Dengan memperlihatkan luka-Nya, Yesus mengundang para murid (dan juga Tomas nantinya) untuk percaya melalui realitas penderitaan yang telah ditebus untuk memberi pengharapan baru. Ini adalah cara Yesus berkata: “Imanmu tidak harus menghindari penderitaan. Tapi lihatlah Aku, Aku telah melaluinya, dan menang.” Dalam pastoral, ini sangat penting: kesembuhan sejati dari “luka” tidak berarti menghapus masa lalu, tetapi membiarkannya ditebus dan dijadikan bagian dari kesaksian hidup dan pengalaman iman.
4. Kehadiran Yesus memberi pengharapan dan kuasa untuk bersaksi (ayat 21-23)
Yesus sekali lagi mengucapkan “shalom” untuk menyatakan pengharapan dan pemulihan secara total kepada para murid agar mereka kembali kepada misi awal panggilan mereka. Yesus tidak sekadar muncul untuk menunjukkan bahwa Dia hidup, shalom bukan hanya sekedar ucapan tetapi symbol kekuatan baru untuk kembali bersaksi dan melayani seperti ungkapan Yesus “Aku datang untuk melayani bukan untuk dilayani”. Dia datang dengan misi dan misi itu sekarang diteruskan kepada para murid. Yesus berkata: “Sama seperti Bapa mengutus Aku…” Para murid dipanggil bukan untuk menciptakan jalan baru, tetapi menghidupi dan menyatakan Injil yang sama, Injil yang memulihkan, menyelamatkan, dan menghadirkan damai di tengah dunia yang terluka.
Yesus tidak sekadar berkata dalam pengutusan-Nya, tetapi menghembuskan nafas-Nya sendiri. Ini menggemakan tentang“penciptaan kembali” (Kejadian 2:7) “Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya.” Yesus, dalam kebangkitan-Nya, menciptakan kembali manusia rohani. Dengan hembusan Roh Kudus itu, para murid: Dihidupkan kembali secara rohani, dibentuk sebagai ciptaan baru, untuk hidup bukan dalam ketakutan, tapi dalam kuasa Roh. Ini adalah tanda bahwa penciptaan baru dimulai di tengah ruang trauma, di balik pintu ketakutan, Tuhan meniupkan hidup baru.
2 Korintus 5:17 “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, iaadalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Ayat ini menekankan transformasi total yang terjadi dalam hidup orang yang percaya kepada Kristus. Identitas lama yakni dosa, rasa bersalah, luka masa lalu telah digantikan dengan identitas baru sebagai anak Allah yang ditebus.
Yesus sudah berjanji akan mengirim Roh Kudus sebagai Penolong. Di sinilah janji itu dimulai, bukan hanya untuk memberi semangat, tetapi untuk memampukan mereka menjalankan pengutusan. Menurut teolog Leon Morris, ini adalah pralude Pentakosta, Roh Kudus sudah diberikan secara simbolik dan nyata sebagai kuasa penyertaan Kristus dalam pelayanan para murid. Efesus 4:22–24 “Yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” Menjadi ciptaan baru bukan hanya perubahan luar, tetapi pembaruan total dari dalam pikiran, sikap, dan cara hidup.
Setelah “menjadi ciptaan baru” yang sudah dipulihkan dan diperbaharui, para murid diberi kuasa. Yesus memberi murid-murid-Nya otoritas untuk menyatakan pengampunan dosa. Tapi bukan berarti mereka menjadi pemilik pengampunan. Hanya Allah yang mengampuni dosa (Markus 2:7). Maka, murid-murid bukan pemberi pengampunan, tapi mereka: Mewakili Kristusdalam pelayanan rekonsiliasi, mengabarkan Injil yang memberi pengampunan dan meneguhkan atau menolak pengampunan tergantung pada respon orang terhadap Injil. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus: “Kami adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami. Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah.” (2 Korintus 5:20).
John Calvin menekankan bahwa: “Kuasa ini bukan kuasa absolut untuk mengampuni dosa, tetapi kuasa pelayanan Firman, di mana para pelayan menyampaikan pengampunan kepada orang-orang yang bertobat dan menyatakan penghakiman kepada yang menolak Kristus.” Artinya: Ketika murid-murid atau hamba Tuhan mengabarkan Injil, dan seseorang bertobat, mereka boleh menyatakan bahwa orang itu sudah diampuni oleh Tuhan. Sebaliknya, jika seseorang menolak Injil, para pelayan boleh menyatakan bahwa dosanya tetap ada (karena ia menolak pengampunan dari Tuhan).
5. Yesus menampakkan diri kepada Tomas (ayat 24-29)
Tomas sering dianggap sebagai si “peragu,” tetapi dalam konteks pasca-penyaliban, ia sebenarnya adalah orang yang mengalami luka batin yang dalam. Ia tidak hanya kehilangan pemimpin, tetapi juga harapan dan makna hidup. Dalam istilah psikologi pastoral, Tomas bisa dilihat sebagai pribadi yang:
• Mengalami trauma religius karena kematian brutal Yesus.
• Merasa dikhianati oleh realitas, karena semua keyakinannya runtuh.
Yesus memberi perhatian khusus kepada Tomas, 8 hari kemudian Yesus kembali menampakkan diri kepada para murid dan Tomas juga ada pada waktu itu. Yesus hadir secara khusus untuk memulihkan Tomas dari trauma dan luka batinnya.Permintaannya menyentuh luka Yesus adalah simbol dari kehausan akan keyakinan yang nyata, ia butuh sentuhan untuk bisa percaya kembali. Yesus tidak marah terhadap Tomas. Iamenyediakan apa yang Tomas butuhkan: kehadiran-Nya, luka-Nya, bahkan mengizinkan sentuhan fisik.Yesus tahu bahwa:
• Iman yang terluka butuh pemulihan secara personal.
• Tubuh-Nya yang bangkit dan terluka adalah jembatan antara keraguan dan keyakinan.
Dalam Yesus, kita melihat bahwa Tuhan tidak alergi terhadap luka dan keraguan manusia. Ia justru menghadapinya, membiarkan diri-Nya disentuh, agar manusia bisa kembali percaya. Tomas menjawab dengan kalimat yang paling kuat dalam Injil Yohanes: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Ini adalah pengakuan ilahi. Tomas tidak hanya mengakui bahwa Yesus hidup, tetapi bahwa Yesus adalah Allah sendiri. Keraguan berubah menjadi iman yang mendalam setelah ia bersentuhan dengan Yesus.
Yesus sedang menanggapi Tomas, yang sebelumnya berkata iatidak akan percaya sebelum melihat dan menyentuh luka-luka Yesus (ay. 25). Setelah Yesus menampakkan diri dan memperkenankan Tomas menyentuh-Nya, Tomas percaya (ay. 28). Namun Yesus menegaskan bahwa iman sejati tidak bergantung pada bukti fisik. Iman sejati adalah percaya tanpa harus menyaksikan secara langsung.Yesus memuji mereka yang tidak mengalami pengalaman seperti Tomas, tetapi tetap percaya. Ini menunjuk ke arah gereja masa depan, termasuk kita semua yang percaya tanpa pernah melihat Yesus secara fisik.Ungkapan “berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” adalah berkat bagi semua orang percaya setelah kebangkitan, yang hidup dalam zaman tanpa kehadiran fisik Yesus. Ini menegaskan bahwa iman kita sah dan diberkati, walaupun kita tidak mengalami Yesus secara visual seperti para murid.
2 Korintus 5:7 “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat.” Rasul Paulus menegaskan bahwa kehidupan orang percaya dipandu oleh iman, bukan oleh penglihatan lahiriah.
Ibrani 11:1 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”Iman adalah keyakinan dalam hal-hal yang belum tampak, tetapi diyakini dengan teguh karena janji Tuhan.
B. Impilkasi disesuaikan dengan tema dan perayaan bulan budaya
1. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, banyak orang hidup dengan luka yang tak terlihat. Luka karena kehilangan, kegagalan, pengkhianatan, atau rasa malu. Ada juga luka karena iman yang pernah goyah, doa yang terasa sia-sia, atau pengalaman rohani yang mengecewakan. Semua ini kita sebut “trauma masa kini”, termasuk trauma spiritual, di mana orang merasa ditinggalkan oleh Tuhan atau merasa Tuhan diam saat mereka paling membutuhkan-Nya. Hal ini sangat mirip dengan apa yang dialami para murid setelah penyaliban Yesus. Mereka bukan hanya kehilangan seorang guru. Mereka kehilangan segala harapan yang telah mereka bangun selama tiga tahun mengikut Yesus. Terhadap orang-orang inilah kita hadir sebagai gereja dan pelayan (murid) yang mewakili Yesus untuk menyentuh ruang hati mereka sehingga terjadi pemulihan.
Di era digital yang tidak lagi mengutamakan kehadiran fisik membuat banyak orang rindu untuk menikmati perjumpaan fisik dalam perkunjungan-perkunjungan pastoral, pertemuan-pertemuan keluarga dan kebersamaan lainnya. Karena itu, berusahalah untuk saling bertemu, berkomunikasi dan saling memulihkan (sekalipun sibuk). Karena banyak rumah tangga yang kehilangan momen ini, suami sibuk dengan pekerjaan, isteri sibuk dengan urusan rumah, anak-anak sibuk dengan dunianya sendiri (bermain game online). Perjumpaan dan kebersamaan orang tua dan anak dan keluarga mulai memudar sehingga membuat kebanyakan orang cepat merasa putus asa dan frustrasi karena merasa sendirian. Saya ingat dulu, ada budaya makan bersama di meja makan. Di meja inilah tempat kami berkomunikasi dan mendengar nasehat orang tua. Saya rasa ini budaya yang harus tetap dijaga.
2. Yesus hadir di ruang ketakutan para murid, dan Dia masih hadir hari ini di ruang-ruang batin yang terkunci oleh luka, trauma, dan dosa. Dalam konteks pelayanan GMIT atau siapa saja yang sedang mengalami trauma spiritual, Yesus yang bangkit berkata: “Aku datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memulihkanmu.” Dan pengampunan-Nya tidak menunggu kita sempurna, pengampunan-Nya mendahului, dan kasih-Nya membuka pintu yang kita tutup rapat.
Dalam budaya Sumba, dikenal istilah “soba”, yaitu prosesi adat untuk memulihkan hubungan yang retak antara dua pihak yang bertikai atau terjadi pelanggaran adat. Sebelum proses penghakiman adat berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan pendekatan untuk memulihkan keharmonisan. Proses ini bukan dimulai dari tuntutan, tapi dari kerinduan untuk menyatukan kembali. Seperti Yesus yang datang bukan dengan murka tetapi dengan damai, dalam “soba”, yang utama adalah mengembalikan damai dan kesatuan, bukan menghukum. Ini mencerminkan kasih Kristus yang memulihkan sebelum menuntut perubahan.
Dalam masyarakat Flores, khususnya etnis Ngada, Ende, atau Manggarai, dikenal tradisi “tubu-ngala” (istilah bisa berbeda di tiap daerah), yaitu ritual pengakuan salah dan rekonsiliasi setelah pelanggaran norma adat atau hubungan sosial yang rusak. Ritual ini biasanya dilakukan di rumah adat, di mana seorang yang bersalah akan membawa persembahan dan datang secara rendah hati kepada yang dilukai. Namun, menariknya, dalam banyak kasus, pihak yang terluka sudah terlebih dahulu membuka hati, bahkan menyambut kedatangan orang yang bersalah dengan makanan dan pelukan. Ini mencerminkan bagaimana Kristus terlebih dahulu datang kepada kita, menembus pintu-pintu batin kita, dan memulihkan kita dalam kasih.
3. Yesus menembus pintu yang terkunci bukan hanya secara fisik, tetapi juga pintu adat, budaya, dan hati manusia. Dalam budaya Sumba dan Flores, ada nilai-nilai luhur yang sejalan dengan Injil: pemulihan relasi, damai yang mendahului penghukuman, dan kasih yang menyambut dalam kelemahlembutan. Hal ini menunjukkan bahwa Kristus yang bangkit tidak asing dalam budaya kita. Ia bekerja juga melalui simbol, nilai, dan tradisi lokal yang mengandung hikmat pemulihan. Yang terpenting adalah Yesus hadir, memberi damai dan pemulihan bagi setiap kita yang mengalami keputusasaan, kekecewaan, kehilangan harapan bahkan trauma religius.
4. Kata pertama yang Yesus ucapkan ketika menampakkan diri kepada murid adalah kata yang penuh makna, “shalom”. Kata ini sering kita ucapkan dan menjadi ciri khas orang Kristen. Kiranya kata ini tidak sekedar ucapan biasa “basa-basi” tetapi harus dimaknai sebagai ungkapan pemulihan. Dengan mengucapkan shalom berarti kita sedang menghadirkan damai sejahtera di manapun kita berada termasuk menghadirkan damai sejahtera di tengah keputus asaan, kekecewaan, kehilangan dan konflik yang dialami oleh orang-orang di sekitar kita. Kita adalah “agen shalom”.
5. Banyak jemaat kita memiliki “luka” akibat: konflik keluarga, pengalaman masa lalu (kekerasan fisik/KDRT dan kekerasan seksual, kemiskinan), luka karena kegagalan atau dosa pribadi, dll. Yesus yang bangkit dan menunjukkan luka-Nya tidak menyuruh kita melupakan luka itu, tetapi mengundang kita untuk membiarkan kasih-Nya menyentuh luka itu, dan menjadikannya tanda kemenangan, seperti luka-Nya sendiri.Setelah melihat luka Yesus, murid-murid itu bersukacita karena mereka melihat Tuhan. Mereka yang ada dalam ketakutan dan rasa bersalah melihat kembali harapan dengan penuh ungkapan syukur dan sukacita. Ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadi hakim ketika melihat orang lain menderita. Justru kita harus menjadi “pengacara” yang membela dan menguatkan orang yang menderita bahwa sesungguhnya Yesus ada bersama mereka dan turut merasakan penderitaan/luka yang mereka alami.
6. Yesus mengutus murid-murid dalam konteks kegagalan mereka, mereka yang pernah lari, menyangkal, dan takut. Tapi justru kepada mereka yang gagal, Yesus memberi mandat baru: “Aku mengutus kamu.” Ini sangat dalam secara teologis. Tuhan memakai orang-orang yang terluka dan pernah jatuh, untuk menjadi saksi kasih karunia-Nya. Ini juga sangat relevan dengan banyak pelayan dan jemaat GMIT yang merasa tidak layak. Namun, dalam Kristus, pengampunan dan pemulihan menjadi dasar pengutusan. Kita diutus bukan karena kita layak tetapi karena kita dilayakkan. Semua pengalaman masa lalu menjadi pengalaman iman yang akhirnya menjadi kesaksian nyata dari sentuhan kasih Tuhan yang memulihkan, memberi pengharapan dan kuasa untuk melayani dan bersaksi.
7. Dalam budaya kita (termasuk dalam konteks pastoral di GMIT), sentuhan fisik—pelukan, genggaman tangan, atau kehadiran nyata—adalah bagian dari solidaritas dan pemulihan emosional. Karena itu budaya perjumpaan dan pertemuan secara fisik dan komunikasi dari hati ke hati perlu untuk ditingkatkan karena disitulah letak “sentuhan fisik yang memulihkan” relasi dan hubungan kita dengan sesamabahkan dengan Tuhan.
Selamat mempersiapkan diri, kiranya refleksi ini menjadi tambahan referensi untuk kita memperkaya pemberitaan kita. So’damolek neu ita babasan.