PORTALNTT.COM – Anggota DPR dari PDI-P Budiman Sudjatmiko, dalam satu komentarnya di Twitter, menyebut Benny K. Harman (BKH) mitra diskusi atau rekan debat berkualitas di Senayan. Pengakuan ini disampaikan Budiman untuk menjawab pertanyaan seorang follower tentang siapa anggota DPR yang dianggapnya berkualitas dalam rapat-rapat DPR.
Intelektual dan pegiat HAM Rocky Gerung mencatat BKH sebagai politisi dengan latar belakang kepedulian yang kuat terhadap HAM dan keadilan. Rocky menunjuk riwayat BKH sebagai aktivis HAM cukup lama di era Orba serta tema keadilan yang diangkat BKH dalam disertasi doktoralnya yang bertajuk “Perjuangan Hukum Menegakkan Keadilan”.
Rohaniwan Katolik dan pejabat KWI Rm. Benny Susetyo menyebut BKH garam dan terang dalam dunia politik melalui kiprah dan pemikirannya. Romo Benny juga menilai BKH sebagai figur yang menjalankan politik berkeadaban, figur yang berpolitik untuk melayani kepentingan publik, bukan untuk jadi benalu politik.
Tiga tokoh dengan latar belakang berbeda di atas menyampaikan pesan yang sama: BKH politisi berkualitas. Penilaian Budiman berkenaan dengan kualitas intelektual BKH. Sementara, penilaian Rocky dan Romo Benny berkenaan dengan kualitas moral BKH.
Tapi, penilaian berapa tokoh ini kontras dengan anggapan sebagian orang NTT tentang BKH. Bagi sebagian warga Flobamora, BKH politisi yang tak punya komitmen membela prinsip “Kita Bineka”. Anggapan ini buntut dari tudingan yang beredar kurang lebih setahun terakhir bahwa BKH mendukung kelompok-kelompok Islam radikal, seperti HTI atau FPI, yang mau mengubah NKRI jadi khilafah. Mamma mia!
Jika ditelusuri, tuduhan mendukung organisasi Islam radikal ini dipicu ketidaksetujuan BKH terhadap langkah aparat negara atau kebijakan pemerintah dalam menyikapi sepak terjang organisasi-organisasi yang mengancam kebinekaan dan menolak Pancasila sebagai ideologi negara.
Tudingan itu muncul pertama kali awal tahun 2017 setelah BKH mengkritik Kapolda Jawa Barat yang membenturkan ormas tandingan bentukannya dengan FPI di Jawa Barat. Kritik BKH itu rupanya (sengaja) dibaca sebagai penolakan terhadap upaya aparat keamanan untuk menindak aksi anarkis FPI. Penilaian yang jelas keliru karena yang ditentang BKH bukan kewajiban aparat keamanan untuk menindak aksi anarkis FPI, tapi cara kewajiban itu dijalankan.
Cara penanganan oleh Kapolda Jawa Barat jelas tak dapat dibenarkan. Kenapa memperhadapkan massa FPI dengan massa ormas lain? Bukankah cara seperti itu memicu konflik dan kekerasan horisontal antarelemen masyarakat. Apalagi, menangani aksi anarkis elemen masyarakat manapun adalah tugas aparat keamanan. Jadi, pesan di balik kritik BKH itu jelas: menindak aksi anarkis yang dilakukan siapapun adalah tugas aparat keamanan negara, bukan warga masyarakat biasa.
Tudingan mendukung organisasi radikal lagi-lagi muncul pada pertengahan 2017. Ketika itu BKH menyampaikan tanggapan kritisnya terhadap kebijakan pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017. Perppu ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila atau yang menyebarkan paham radikalisme. Ormas yang kemudian dibubarkan pemerintah dengan dasar Perppu ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tanggapan kritis BKH itu jelas tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap organisasi yang bertentangan dengan Pancasila atau yang menyebarkan radikalisme dalam masyarakat. BKH sendiri, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah untuk membubarkan ormas macam itu.
Tapi, dalam pendirian BKH, pemerintah baru dapat mengambil langkah pembubaran setelah lembaga pengadilan menetapkan sebuah ormas sebagai organisasi yang bertentangan dengan Pancasila atau yang menyebarkan paham radikal. BKH menolak langkah pembubaran yang dilakukan pemerintah secara sepihak.
Dengan itu BKH mengingatkan pemerintah agar tidak sewenang-wenang. Mengabaikan otoritas pengadilan dalam soal ini adalah kesewenang-wenangan kekuasaan eksekutif yang sangat berpotensi mengancam hak asasi warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Langkah pembubaran sepihak adalah watak negara kekuasaan (machtstaat) yang bertentangan dengan negara hukum (rechtsstaat).
Menimbang sikap BKH dalam dua kasus itu, tudingan bahwa ia mendukung kelompok Islam radikal jelas tanpa dasar atau mengada-ada. Justru sebaliknya, sikap BKH itu layak dapat acungan jempol karena adil tanpa pandang bulu. Fakta bahwa FPI atau HTI jadi masalah bagi kehidupan bersama di negeri majemuk ini bukanlah alasan untuk membenarkan segala cara menindak mereka, bukanlah alasan untuk mengecualikan mereka dari perlakuan yang adil.
Saya pun teringat dengan pesan Paus Fransiskus. Pada awal 2017 ia berpesan kepada umat Kristiani agar membangun jembatan dialog dan saling pengertian dengan yang berbeda, bukan sebaliknya membangun tembok pemisah atau mengobarkan kebencian. Build bridges, not walls. Sehubungan dengan pesan itu, Paus Fransiskus menyampaikan, “Don’t respond to evil with evil”. Bukankah pesan Paus ini tercermin dalam sikap BKH di atas? Bravo BKH! (*)