Abdi Keraf, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog.
Dosen FKM Undana Kupang
PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Dua pekan terakhir, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan dalam bentuk penganiayaan disertai pengeroyokan terhadap seseorang menjadi isu utama di media sosial dan berhasil menyita perhatian publik. Sebut saja aksi pengeroyokan terhadap AA pada Demo Mahasiswa 11 April lalu di Jakarta, yang begitu cepat menarik perhatian bahkan memantik reaksi beragam dari banyak kalangan.
Belum selesai dengan aksi di Jakarta, di Kota Kupang, pada 26 April kemarin, media sosial dan berbagai koran online kembali mengangkat peristiwa pemukulan dan pengeroyokan oleh sekelompok orang bercadar terhadap FPL, seorang wartawan di Kota Kupang, yang memicuh munculnya kecaman-kecaman dan tuntutan kepada pihak Aparatur Penegak Hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini.
Dua peristiwa yang kental dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan ini, menunjukkan adanya kekeliruhan dalam berpikir dan merespon situasi-situasi konflik yang tercipta akibat gagalnya suatu relasi sosial yang baik antar pribadi yang satu dengan pribadi lainnya. Dan yang lebih parah lagi, tindakan kekerasan yang disertai penganiayaan cenderung diekspresikan dengan cara-cara yang “brutal” dan “sadis” sebagai akibat adanya perasaan ketidaksenangan/perasaan terganggu dan ketidaksukaan kepada individu tertentu yang dianggap pantas mendapatkan intimidasi atau perlakukan kekerasan, yang mungkin saja dianggap sebagai bentuk “peringatan keras” atau punishment sebagai konsekuensi dari terganggunya hubungan antar pribadi/dengan kelompok.
Aksi pnganiayaan yang bernuansa “kejam” ini, pada akhirnya, tidak saja memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan psikologi korban, tetapi juga sekaligus menjadi tontonan publik yang tidak sewajarnya disaksikan atau dilihat bahkan direkam oleh publik, terlebih oleh kaum muda, remaja, dan anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.
Generasi muda, remaja dan anak-anak, adalah kelompok rentan yang bisa belajar dari cara-cara orang lain/orang dewasa dalam menyelesaikan suatu konflik/pertikaian dalam suatu relasi sosial. Perilaku imitasi ini, oleh anak-anak dapat terbentuk sebagai role model mekanisme diri ketika menghadapi dan menyelesaikan suatu konflik dengan orang lain.
Mereka belajar, meniru, dan kemudian mencoba mempraktikkan model-model kekerasan dalam menyelesaikan masalah/konflik dengan lingkungan. Dan bila model ini terus tumbuh dan menjalar, bukan tidak mungkin dapat berkembang menjadi salah satu penyimpangan, karena konsekuensinya selain meresahkan, mengganggu, tatatn hidup masyarakat, tetapi sekaligus merugikan diri sendiri, keluarga, dan masa depannya, serta berdampak pada ketidakharmonisannya relasi sosial di tengah masyarakat, dan lunturnya nilai-nilai kohesifitas sosial yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, kejadian-kejadian semacam ini, mau tidak mau perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Sebab, setiap perilaku kekerasan apapun bentuknya dalam menyelesaikan masalah, baik yang terjadi dalam ranah domestik maupun publik, senantiasa akan selalu melahirkan masalah baru baik pada diri personal maupun pada komunitas yang lebih besar.
Pada kasus-kasus pengeroyokan dan penganiayaan semacam yang dialami oleh FPL, korban pengeroyokan sekelompok orang tak dikenal yang diduga melakukan aksi dengan sangat brutal ini, tidak saja telah meninggalkan memar dan bekas luka fisik yang berat, lebih dari itu dapat menyebabkan terjadinya kecacatan fisik, melemahnya saraf-saraf motorik/sensorik, dan bahkan yang lebih ektrim adalah ancaman kehilangan nyawa secara sia-sia.
Sementara itu, pada aspek psikologis, perlakuan-perlakuan kekejaman yang diterima, disertai dengan ancaman-ancaman yang serius, sudah pasti akan meninggalkan luka batin yang dalam, yang muara dari semua itu, memungkinkan korban mengalami trauma, depresi, akibat mengalami keguncangan psikologi (shock psychis) yang berat yang akan selalu terbawa sepanjang hidupnya.
Maka wajar, reaksi yang muncul dari berbagai kalangan, mengecam dengan keras para pelaku, dan menuntut pihak aparat hukum untuk sesegera mengusut tuntas dan menangkap para pelaku secara cepat dan terang benderang, dan menghukumnya secara berat, bukan sekedar seruan rasa solidaritas dan kemanusiaan belaka, namun lebih dari itu, mencerminkan ketidaknyamanan sosial, suatu perasaan ketidaktentraman atau ketergangguan secara sosial oleh karena adanya aksi-aksi kekerasan yang kerap mengancam bahkan menghilangkan nyawa seseorang.
Kecaman dan tuntutan ini, merupakan reaksi psikologi masyarakat yang sangat relevan dan wajar dengan situasi-situasi maraknya tindak kriminal di tengah masyarakat. Masyarakat merasa perlu untuk menyuarakan, bahkan “berteriak” dengan keras, dan sekaligus menaruh harapan dan kepercayaan penuh kepada pihak aparat penegak hukum, agar para pelaku ditindak tegas guna mendapatkan hukuman setimpal untuk memberikan efek jera yangbtidak saja pada pelakunitu sendiri, tapi sekaligus sebagai pembelajaran sosial.
Menanggapi berbagai respon masyarakat ini, pihak aparat tentu harus melihatnya sebagai modal utama untuk terus membenah diri dan selalu bekerja secara profesional agar senantiasa memperoleh kepercayaan publik. Bahwa hukum tak boleh pandang bulu, siapapun pelaku tindak kejahatan, harus ditindak dan diproses secara hukum untuk memberikan jaminan terhadap hak-hal orang lain.
Karena itu, pihak aparat hukum harus mampu menunjukkan sikap tegas dan bertindak adil, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang beragam dari masyarakat terhadap kinerja penegak hukum. Sebab, penting bagi penegak hukum untuk senantiasa menjaga kepercayaan publik demi terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat.
Namun, bila institusi penegak hukum pada akhirnya tidak mampu menunjukkan kinerja positif dalam penanganan kasus-kasus di masyarakat, terkesan lambat dalam penanganan dan pengungkapan kebenarannya, tidak mampu bersikap dan bertindak adil tanpa pandang bulu, hal ini bakal menjadi salah satu preseden buruk, dan efeknya akan memicu menurunnya ketidakpercayaan (distrust) kepada institusi itu sendiri..
Bila hal ini terjadi, artinya kepercayaan masyarakat kepada institusi dan aparatur penegak hukum semakin memburuk, maka sangat mungkin masyarakat lebih memilih menggunakan cara-cara “pengadilan jalanan” yang tentunya diharapkan tidak boleh terjadi. Karena itu, perlu ada sinergisitas antara aparatur hukum dengan berbagai elemen masyarakat untuk secara konsisten bahu membahu menciptakan situasi-situasi sosial yang kondusif dan terbebas dari praktik-praktik kepentingan kelompok atau golongan tertentu dalam penanganan kasus-kasus kejahatan di tengah masyarakat.
Bersinergi berarti, masyarakat harus mampu bekerja sama, memahami dengan baik alat-alat indikator kinerja penegakan hukum, serta bersikap kooperatif dalam membantu kerja penegakan hukum, dan bukannya serta merta menilai negatif terhadap capaian kinerja penegak hukum. Sebaliknya, pihak penegak hukum pun senantiasa terus mendorong dan menunjukkan sikap profesionalismenya dalam mengemban tugas-tugas dalam memelihara keamanan dan ketertiban; penegakkan hukum; serta memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.
Kita tentu berharap, dalam menangani kasus seperti pengeroyokan terhadap FPL ini, aparat penegak hukum, khususnya kepolisian negara, mampu menunjukkan kesungguhan dan profesionalisme mereka yang akan tergambar melalui capaian-capaian hasil dalam mengungkap kasus ini dengan terang benderang. Hal ini tentunya akan sangat berimbas pada peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Masyarakat tentu menaruh harapan besar, agar berbagai kasus kekerasan dan tindak kriminal yang terjadi, termasuk kasus pengeroyokan terhadap wartawan FPL ini, senantiasa dapat segera terselesaikan demi penegakan hak-hak kemanusiaan yang seadil-adilnya, serta terpeliharanya kehidupan yang aman dan tentram.