PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Wajahnya pucat, dengan pakian seadanya, seorang ibu duduk di sebuah pondok sederhana dengan tatapan kosong. Entah apa yang terlintas di dalam pikiran si ibu?
Ketika kuhampiri dirinya, si ibu yang sedang termenung itu kaget dan menyapa diriku penuh ramah dengan senyuman ketulusan yang begitu mengugah rasa.
Nama ibu itu Martha Taopan (53). Perempuan kelahiran TTS ini hidup bersama suaminya Nahor Metkono (55) di sebuah pondok nan sederhana di lahan milik orang, di RT 34 RW 15, kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, NTT.
Keterbatasan ekonomi membuat keluarga ini hanya mampu menjalani hidup apa adanya di Kota Kupang, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kehidupan di ibu kota memang tidak segampang yang dipikirkan. Segala sesuatu harus mengandalkan uang demi mencukupi kebutuhan hidup.
Jika kita tak mampu bersaing dalam kerasnya perjuangan hidup maka sudah barang tentu kita akan mengalami kesusahan atau penderitaan.
Setiap manusia tentu tidak ingin hidup dalam lingkaran penderitaan atau hidup susah. Namun tak dapat dipungkiri masih banyak orang yang menjalani hidup seperti itu. Tak heran jika potret kemiskinan itu tidak saja ditemui di kampung ataupun daerah pedalaman tapi di kota Kupang pun ada.
Ketidak beruntungan itu bukan karena kehendak sendiri tapi ada beberapa hal juga yang mendasari itu terjadi.
Kota Kupang sebagai ibukota provinsi NTT menjadi daerah tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai daerah yang ada di NTT maupun dari luar NTT. Bisa dilihat ratio perbandingan orang asli Kupang dan pendatang sangat jauh berbeda.
Sama halnya dengan ibu Martha Taopan yang datang dari sebuah desa di TTS mengikuti suaminya untuk mengadu nasib di kota yang saat ini tengah gencar bergerak menuju Smart City.
Ketiadaan keahlian dan berbekal Ijasah SD, keseharian ibu Martha hanya sebagai seorang ibu rumah tangga.
Untuk menambah kebutuhan dalam keluarga, Ibu Martha Taopan terpaksa harus menjadi tukang cuci di rumah tetangga.
“Saya bantu cuci pakian di tetangga. Upahnya tidak tetap, mereka kasih berapa pun saya terima,” katanya pada media ini, Selasa (17/3/2020).
Dalam kesederhanaan hidup itu, penderitaan ibu Martha semakin lengkap dengan sakit gondok yang dialaminya sejak 2003 silam.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup, apalagi biaya pengobatan sakit yang diderita. Kesulitan yang dialaminya itu hanya mampu diterima dengan lapang dada. Semangat luar biasa ditunjukkan ibu Martha demi membesarkan 6 orang buah hati mereka.
Ibu Martha mengakui penderitaan yang dialaminya dijalani dengan lapang dada bersama suami dan anak-anak.
“Tahun lalu sudah mau operasi di RSU Prof. W.Z. Yohanes Kupang tapi tidak jadi karena kata dokter sudah sangat besar (gondok) sehingga beresiko. Dianjurkan rujuk ke Surabaya tapi kami tidak punya uang jadi suami bilang kita pulang saja,” katanya.
Meskipun sudah sangat besar, namun kata Ibu Martha, gondok di lehernya tidak terasa sakit lagi. Hanya saja ia tidak bisa bergerak leluasa seperti biasanya.
“Mau bagaimana lagi pak, saya terpaksa menjalani saja. Kalau tidak berusaha kasihan anak-anak mau makan apa? Selain itu mereka punya kebutuhan untuk sekolah sehingga saya harus tetap semangat dan bersyukur pada Tuhan,” ungkap Ibu Martha dengan wajah pasrah.
Sementara sang suami, Nahor Metkono mengaku kehidupan mereka apa adanya karena dirinya hanya sebagai tenaga honor pada dinas kebersihan sehingga semua yang terjadi dalam kehidupannya selalu disyukuri.
“Saya waktu itu kerja dari jaman pak S.K Lerik mulai dari kota administratif sampai saat ini. Waktu itu sempat berhenti ikut kawan jadi buruh bangunan, tapi akhirnya masuk kembali ke dinas kebersihan di jaman Wali Kota pak Jonas Salean,” kisah Nahor.
Menjalani rutinitas sebagai tenaga kebersihan, Nahor mengatakan sejak jam 4 pagi ia harus sudah bangun dan berangkat ke kantor untuk mulai melaksanakan tugasnya.
“Kerja dari jam 4-10 lalu istirahat. Sore kerja lagi mulai jam 3-6. Hari Sabtu dan Minggu tetap bekerja kalau tidak maka kota ini akan banyak kotoran dimana-mana,” jelasnya.
Diakuinya, sebagai kepala keluarga ia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga maupun kebutuhan anak-anak.
“Tetap bersyukur pada Tuhan dan tetap bekerja selagi masih kuat,” katanya.
“Beginilah hidup kami, suka tidak suka kami tetap menjalaninya,” tambahnya.
Saat ini anak pertama dan kedua telah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA namun tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi karena ketiadaan biaya.
Sementara anak ketiga mereka kini berada di bangku SMA kelas 2. Anaknya kelima di kelas 3 SMP dan si bungsu kini berada di bangku kelas 3 SD.
Meskipun hidup dalam keterbatasan, Nahor dan Martha selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tetap bersyukur dan selalu berusaha.
“Saya ajarkan kepada anak-anak untuk tetap semangat dalam mengejar masa depan mereka. Bagi anak sulung dan yang kedua, saya selalu minta mereka untuk cari pekerjaan, kalau ada lowongan dimana biar mereka melamar. Dan yang terpenting saya tekankan kepada mereka agar jangan malu melakukan pekerjaan apa saja selama itu halal,” pungkas Nahor. (Jefri Tapobali)