Drs. Fransiskus Sili, MPd, SMK Negeri 5 Manado.
Pendahuluan
Spiritualitas pada hakekatnya merujuk pada cara hidup dan cara kerja tertentu. Spiritualitas yang hendak dijelaskan di sini adalah menurut pandangan kristen. Spiritualitas kristen merupakan cara hidup (being) dan cara kerja (doing) yang berpola pada pola hidup, karya dan ajaran Yesus, yang dijiwai dan digerakkan oleh Roh Kudus dan dihayati secara personal dalam konteks masyarakat tertentu lewat bentuk-bentuk yang khas dan unik agar makin hari makin bersatu dengan Allah sendiri dan peduli pada sesama.
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO mengumumkan adanya kasus pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui di Kota Wuhan, China. Tak lama setelah itu, pada 7 Januari 2020, otoritas Tiongkok mengidentifikasi virus corona baru sebagai penyebabnya, yang untuk sementara disebut sebagai “2019-nCov”. Virus baru itu diberi nama “Virus Covid-19”.
Pada 30 Januari 2020, Direktur Jenderal WHO melaporkan wabah virus corona baru menjadi darurat kesehatan yang menjadi perhatian internasional, tingkat peringatan tertinggi WHO. Pada saat itu, ada 98 kasus dan tidak ada kematian yang tercatat di 18 negara di luar China, Direktur Jenderal WHO Secara Resmi menyatakan wabah pandemi pada 11 Maret 2020. Saat itu, lebih dari 118 kasus dari 114 negara dan total 4.291 kematian telah dilaporkan. Dan kasusnya berkembang terus menguasai dunia, meski kini di sejumlah negara sudah memperlihatkan suatu kondisi yang makin membaik.
Di Indonesia, Covid 19 telah menjadi pandemi sejak ditemukannya kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020 di Depok dan pemerintah untuk pertama kalinya mengumumkan dua kasus pasien posisif Covid 19 di tanah air.
Peningkatan kasus perhari semakin tinggi sejak akhir Agustus 2020 yang mencapai lebih dari 2000 kasus per hari. Pandemi ini membawa dampak pada semua bidang kehidupan, baik sosial ekonomi, psikologis, pendidikan, keagamaan dan sebagainya. Sistem kesehatan di Indonesia perlu ditingkatkan dalam hal kapasitas, termasuk rehabilitasi medik.
Berbagai upaya penanganan dan optimalisasi vaksinasi serta pelbagai kebjakan untuk memperlambat dan menghentikan laju penyebarannya perlu didukung. Pentingnya keterlibatan, pelayanan rehabilitasi medik dan implementasinya dimasa pandemic Covid-19 memang memerlukan strategi tersendiri yang harus dilakukan baik oleh pekerja kesehatannya, rumah sakit dan dalam koordinasi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Namun terutama penanganannya menuntut kerja sama semua pihak, membutuhkan partisipasi semua warga masyarkat melampaui sekat-sekat identitas kelompok di negeri kita. Aplikasinya di bidang pendidikan pun dapat diupayakan.
Situasi Masyarakat Aktual: Budaya Kematian Vs Budaya Cinta
Setiap spiritualitas selalu menjadi anak dari sebuah zaman. Maksudnya cara hidup (being) dan cara kerja (doing) bagi orang kristen merupakan suatu produk dari konteks masyarakat tertentu (waktu dan tempat). Spiritualitas lalu menjadi jawaban iman atas situasi masyarakat konkret dan aktual, sekaligus menjadi kritik dan fungsi kenabian terhadap situasi masyarakatnya. Konteks masyarakat kita mempengaruhi cara hidup dan cara kerja kita orang kristen. Sebaliknya juga cara hidup dan cara kerja kita sebagai orang kristen turut mempengaruhi situasi masyarakat kita. Manakah situasi aktual masyarakat kita dewasa ini?
Pertama, budaya kematian. Dalam masyarakat kita masih ada tanda-tanda budaya kematian dan kekerasan. Kita masih sering membaca atau menyaksikan budaya kematian yang menggejala dalam bentuk-bentuk kekerasan: pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, berbagai aksi protes yang anarkis, pemerkosaan dalam berbagai bentuk. Gejala ini menyebabkan orang hidup dalam ketakutan, saling curiga, tidak percaya satu sama lain dan terutama merasa tidak aman.
Akar terdalam dari tumbuhnya budaya kematian adalah the will to power (Alfred Adler) karena orientasi hidup perfokus pada hasrat untuk memiliki harta, kuasa dan posisi, prestise atau popularitas (Eric Fromm). Yesus menyebut budaya kematian sebagai kuasa mamon. Ciri-ciri budaya kematian akibat kuasa mamon ini adalah membenci atau membunuh kehidupan, mematikan manusia, menolak persaudaraan dan menyangkal pluralisme dan kenyamanan hidup bersama. Pembakaran rumah ibadat atau faslitas umum (kantor pemerintahan, pos keamanan, pos penyekatan dan lain-lain), di samping menjadi ekspresi budaya kematian serentak menjadi kritik atas agama dan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kedua, situasi masyarakat yang kian mengancam: Virus Corona 19 atau Covid 19 tiba-tiba menjadi hantu dan teror bagi umat manusia dan bangsa kita memasuki akhir tahun kedua. Ia berpotensi menyerang siapa saja, tanpa pandang suku, agama, tingkat pendidikan dan kehidupan ekonominya. Begitu banyak korban dan pahlalwan berjatuhan: para dokter dan tenaga medis, relawan dan ribuan anggota keluarga telah menjadi korban. Meski berbagai upaya penanganan dan vaksinasi sedang dijalankan, korban terus berjatuhan dan ancamannya makin menggila.
Di samping menjadi pandemi yang mengancam umat manusia dan dunia, ia serentak menjadi kritik atas pola kehidupan masyarakat pra-covid 19. Pola hidup manusia sebelum covid 19 adalah pola hidup yang menekankan logika keuntungan ekonomi, perilaku konsumeristis, model sikap hidup tamak, rakus dan serakah, eksploitasi sewenang-wenang atas alam karena dilihat sebagai obyek semata, dan sikap individualistis dan acuh tak acuh pada alam dan sesama.
Meskipun kita gelisah di tengah aneka keprihatinan, kita tetap bergembira karena dalam masyarakat yang sama tetap tumbuh tanda-tanda budaya cinta. Budaya cinta ini menggejala dalam berbagai bentuk kasih seperti dialog dan kerja sama dalam penelitian ilmiah, berbagai wujud kegiatan amal kasih, serta berbagai gerakan relawan lintas kelompok, doa bersama lintas agama yang masih memberi rasa aman dan damai, ada harapan dan saling percaya dan saling menerima meski tetap hidup dalam aneka perbedaan. Berbagai bentuk budaya cinta ini sebenarnya adalah hasil dari dorongan Roh.
Akar terdalam dari budaya cinta adalah the will to meaning, suatu hasrat universal untuk membangun suatu hidup yang bermakna dan berorientasi pada pengakuan dan penghargaan terhadap kehidupan bersama, being, jauh melampaui having akan harta, kuasa dan popularitas. Jauh melampaui batas suku, agama, ras dan unsur identitas apapun. Ciri dari budaya cinta adalah menghargai dan membela kehidupan, mendukung persaudaraan dan kenyamanan hidup bersama, mendukung vaksinasi dan keberagaman. Dalam tradisi kristen, cara hidup dan kerja yang menghargai kehidupan, persaudaraan dan pluralitas ini diyakini sebagai hasil karya Roh, yang mendorong manusia melakukan apapun yang baik, yang benar, yang jujur dan adil dan yang berkenan kepada Allah dan manusia.
Ada tiga pertanyaan yang pantas diajukan.
Pertama, siapa yang bertanggungjawab dalam penanganan Covid 19? Apakah pemerintah yang berkuasa atau oposisi? Ataukah kelompok pemerintah atau rakyat jelata? Apakah ini hanya menjadi tanggungjawab orang kaya dan berpendidikan tinggi? Kedua, adakah orang di negeri ini yang tidak menghendaki agar Covid sebagai wabah yang mengancam segera diatasi? Ketiga, di atas sudah dijelaskan bahwa konteks masyarakat kita mempengaruhi spiritualitas kita orang kristen.
Sebaliknya juga cara hidup dan cara kerja kita sebagai orang kristen turut mempengaruhi situasi masyarakat kita. Masih tetap timbul kesulitan, bagaimana dengan kelompok orang yang tidak menerima cara hidup dan cara kerja kita sebagai orang kristen?
Spiritualitas sosial : Belajar dari Cara Hidup dan Karya Yesus
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Redemptoris Missio art. 18 menulis bahwa Injil bukanlah sesuatu melainkan seseorang yang punya wajah dan nama yang jelas: Yesus dari Nasareth. Yesus inilah berkeliling dari desa ke desa dan dari kota ke kota mewartakan Injil Kerajaan Allah. Kerajaan Allah menjadi proyek Allah dalam Yesus. Pewartaaan tentang Kerajaan Allah itulah sekarang dilanjutkan oleh Gereja. Maka sebagai Gereja kita perlu belajar dari pribadi Yesus. Yesus mewartakan Kerajaan Allah melalui sabda dan ajaranNya dan melakukanNya sendiri melalui sikap dan perbuatanNya, terutama melalui mujisat. Maka kita perlu belajar bagaimana cara hidup dan karya Yesus itu di tengah konteks masyarakatnya.
Sebelum tampil ke hadapan umum Yesus selama kurang lebih 30 tahun hidup dan bergaul dengan masyarakat setempat sambil membuka mata dan telinganya untuk mencermati situasi itu. Dengan hatiNya yang penuh belas kasihan Ia ikut merasakan apa yang dialami manusia zamannya dan memberikan solusi real melalui suatu visi dan cita-cita tentang masyarakat baru. Ia menentang dan memprotes berbagai situasi sosial yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat kecil. Dari keyakinan inilah timbul suatu visi baru tentang Kerajaan Allah. Di dalamnya Allah sendiri menjadi raja dan semua manusia siapapun dia hidup bersama sebagai saudara. Dan untuk mewujudkan visi baru itu, Ia sendiri memilih pengorbanan diri sebagai wujud pelayanan konkret yang total dan tanpa batas. Itulah yang kiranya menjadi semangat hidup dan karya kita sebagai orang kristen sepanjang zaman, terutama juga dalam menghadapi bahaya covid 19. Karena spiritualitas seperti ini tidak serta-merta diyakini juga oleh orang dari kelompok berbeda, maka spiritualitas keagamaan tertentu boleh menjadi dasar semangat para pemeluknya tetapi serentak mesti melampauinya dan menjadi atau menghasilkan suatu spiritualitas sosial. Spiritualitas sosial berarti kesadaran yang senantiasa dikembangkan, bahwa semua aktivitas keagamaan kita: ibadat, pewartaan, pelayanan dan persekutuan, harus selalu terbuka untuk menghasilkan kepekaan sosial pada berbagai keprihatinan sosial. Spiritualitas sosial ini berangkat dari dua keyakinan dasar berikut.
Pertama, dunia dan masyarakat kita sedang sakit karena Covid 19 telah menjadi penyakit yang mengancam dan dengan demikian menjadi musuh bersama. Masalah ini bukan soal tanggung jawab pemerintah yang berkuasa atau pihak aposisi, bukan saja para penguasa atau rakyat jelata, melainkan menjadi tanggungjawab bersama seluruh warga masyarkat tanpa peduli apapun agamanya.
Kedua, karena ia telah menjadi penyakit yang mengancam kita semua tanpa pandang bulu. Sejak kasus pertama Covid 19 di tanah air dan rentetan panjang tanpa henti kasus selanjutnya dengan berbagai upaya pemerintah dan masyarakat, kita masih mengalami situasi yang mengkuatirkan seperti sekarang ini. Problem kita di tanah air adalah kita masih membatasi cara pandang kita dalam menangani kasus ini menurut bingkai agama sendiri, dan lupa bahwa penyakit zaman ini mesti segera diatasi, karena semua orang dari suku dan agama manapun, pasti menghendaki pemulihan segera keadaan demi kenyamanan hidup bersama. Kecuali kalau di negeri kita yang sedang sakit ada pihak yang sedang mencari kesempatan untuk bermain di air keruh covid 19.
Menghadapi bahaya virus corona 19, semua komponen bangsa ini dituntut untuk bekerja sama demi suatu cita-cita bersama: mengatasi virus corona dan menghentikan dampaknya. Sebagai seorang Katolik, saya terinspirasi dari sabda Yesus dalam Injil: “Barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk. 9:40). Dan “Siapa tidak bersama Aku, Ia melawan Aku, dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan” (Luk. 11:23). Sabda Yesus ini menjadi kiranya menjadi inspirasi agar kita semua menjadi satu, bersatu padu, bukan dalam kesamaaan ajaran agama melainkan bergerak bersama keluar dari bingkai agama menuju misi yang sama. Kita memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada untuk memperbaiki situasi buruk yang panjang ini, tanpa niat buruk melawan berbagai upaya menciptakan pemulihan bersama. Ada berbagai elemen dan kekuatan di negeri ini yang bisa dipadukan untuk berperang bersama agar kita bisa menang melawan Covid 19.
Kesulitan besar yang terjadi dalam masyarakat kita, adalah bahwa pemerintah saja dilawan dan berbagai upaya baik untuk penanganan wabah diprotes, dicurigai, dihalangi bahkan dihancurkan. Di samping itu hambatan kerja sama kita sekarang adalah orang masih sibuk mencari pendasaran penanganan menurut identitas kelompoknya. Akibatnya, pemerintah seakan berjalan sendirian dengan susah payah untuk menyakinkan seluruh masyarakat bahwa Covid ini penyakit yang harus segera diatasi, jangan lagi menunda, jangan lagi berdebat dan beradu argumentasi politik atau keagamaman.
Omicron Varian Baru Covid 19: Tantangan Baru
Pada 26 November, Kelompok Penasihat Teknis WHO tentang Evolusi Virus SARS-CoV-2 (TAG-VE) menetapkan varian B.1.1.529, yang pertama kali dilaporkan oleh Afrika Selatan 2 hari sebelumnya, sebagai varian yang menjadi perhatian, bernama Omicron. Semakin banyak COVID-19 beredar, semakin banyak peluang yang dimiliki virus untuk berubah, dan semakin banyak mutasi baru yang dapat kita lihat; Delta dan Omicron adalah contohnya.
Omicron adalah varian yang menjadi perhatian karena memiliki lusinan mutasi yang dapat memengaruhi perilakunya. Karena profil mutasi ini, perlu diselidiki lebih lanjut secara ilmiah untuk dampak potensialnya.
Vaksin saat ini menawarkan perlindungan terhadap penyakit parah dan kematian akibat varian COVID-19, termasuk Delta. Sementara bukti masih muncul, kita berharap vaksin saat ini juga harus dapat melindungi terhadap penyakit parah dari varian Omicron.
Hal terpenting yang dapat dilakukan setiap orang adalah menghentikan virus dari sumbernya dengan menyelesaikan seri vaksin mereka sesegera mungkin dan terus melindungi diri mereka sendiri dengan semua tindakan pencegahan lain yang telah terbukti.
Namun nampaknya usaha membangun kesadaran dan penyadaran ini bagi semakin banyak mungkin orang tidak gampang, karena berkembang secara sempit sejumlah pemahaman di tengah masyarakat tentang dua hal.
Pertama, terkait vaksinasi. Ada yang masih beranggapan bahwa untuk apa harus menjalani vaksinasi, kalau toh ternyata tertular juga. Padahal di berbagai media dan amat banyak kesempatan selalu diingatkan bahwa meskipun sudah menerima vaksinasi yang lengkap sekalipun tetapi prokes tetaplah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar-tawar demi keselamatan diri dan orang lain. Juga secara sederhana memahami bahwa setiap saat kita akan berjumpa dengan banyak orang dari mana-mana dan termasuk di dalamnya orang yang tanpa gejala. Juga kita dapat dengan mudah menemukan bahwa melalui PCR ternyata ada yang dinyatakan positif padahal sudah lengkap vaksinnya.
Kedua, soal penegakan prokes. Sejak kasus pertama covid 19 sampai sekarang, banyak masyarakat sudah sangat lelah dan mengeluh harus memakai masker dan prokes lainnya karena toh sangat merepotkan dan mengganggu kenyamanan. Dimana-mana kita menjumpai banyak orang yang tidak pakai lagi masker, berkerumunan, tanpa jarak, abai mencuci tangan dan sebagainya. Masih banyak orang tidak peduli lagi dengan penegakan prokes, tanpa merasa malu, takut atau peduli dengan keselamatan diri dan sesamanya.
Kalaupun itu dilakukan bukan karena kesadaran dan tanggungjawab moral dan sosial tetapi ikut saja. Hal ini bukan saja terjadi di masyarakat umum tetapi di lingkungan pendidikan. Banyak sekolah yang diizinkan menjalani tatap muka terbatas harus tutup lagi karena muncul kluster baru di sejumlah sekolah.
Pertanyaannya, begitu pentingkah kesadaran dan tanggungjawab prokes dan kesehatan lingkungan itu? Ibarat kesehatan baru terasa penting, justru pada saat orang merasa sakit, demikian halnya dengan lingkungan hidup. Pada saat orang mengalami banjir atau kesulitan mendapatkan air bersih, barulah orang sadar akan pentingnya hutan. Ketika orang mengalami lahan yang kritis karena kurang memberikan hasil, barulah orang sadar akan pentingnya tanah gembur. Begitu diri dan keluarganya terinveksi dan menjadi korban virus covid 19 baru orang sungguh sadar akan pentingnya vaksinasi dan penegakan prokes. Kesadaran dan tanggungjawab moral dan sosial begitu penting, seiring dengan munculnya varian baru covid 19.
Mengapa Omicron merupakan varian yang menjadi perhatian? Semua virus, termasuk virus COVID-19, berubah dari waktu ke waktu dan ini adalah fenomena alam. Namun, beberapa mutasi atau kombinasi mutasi dapat mengubah cara virus berperilaku. Omicron menjadi perhatian karena memiliki sejumlah besar mutasi, beberapa di antaranya telah dikaitkan dengan potensi peningkatan penularan dan kemungkinan lolos dari kekebalan, ada kemungkinan orang dapat terinfeksi olehnya bahkan jika mereka telah mengembangkan beberapa penyakit alami. kekebalan dari infeksi COVID-19 sebelumnya, atau setelah vaksinasi COVID-19. Pada saat yang sama, ada mutasi yang belum pernah didokumentasikan sebelumnya. Karena itu, varian Omicron perlu terus diselidiki agar kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang potensi dampaknya. Tentu soal penyelidikannya, kita serahkan kepada para ahli dan semua yang terlibat dalam penagangan virus ini secara teknis dan ilmiah. Namun sebagai warga masyarakat baiklah kita sadar bahwa mencengah itu lebih mudah dari pada mengobati, seperti kata pepatah bahasa Latin: “principiis obsta, sero medicina paratur”, cegahlah sejak dini, kalau tidak percumalah obat, sebab datangnya selalu terlambat!
Belajar dari Frateli Tutti
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Frateli Tutti mengawalinya pandangannya dengan melihat awan dunia yang tertutup. Menurut Paus, pandemi Corona membuka topeng ‘kemajuan global’. Dunia terkoneksi, namun orang mengalami kesepian, tak bersaudara satu sama lain. “Di tengah kemajuan teknologi informasi, dunia justru menjadi tuli: orang tidak saling mendengarkan…”.
Paus menempatkan kisah seorang Samaria dalam Injil Lukas sebagai teman bagi orang asing yang sedang di jalan. Paus menulis: “Yesus menceriterakan kisah seseorang yang dirampok oleh para penyamun dan tergeletak penuh luka di pinggiran jalan. Beberapa orang melewati jalan itu, namun tidak berhenti. Mereka itu adalah orang-orang yang memegang posisi sosial penting, namun kehilangan kepedulian nyata bagi kepentingan bersama. Mereka tidak mau meluangkan waktu sejenak merawat orang yang terluka atau bahkan meminta bantuan. Hanya satu orang yang berhenti, mendekati orang itu dan merawatnya sendiri, bahkan mengeluarkan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan perawatan itu. ….. Walau tidak mengenal orang yang terluka itu, dia memandangnya layak mendapatkan waktu dan perhatiannya”, (FT. 63)
Namun persoalannya adalah bahwa bukan karena Orang Samaria itu murah hati melainkan kesadarannya sebagai manusia bahwa kejahatan dan situasi buruk apapun yang sedang terjadi di depan mata, itu juga menjadi tanggungjawabnya. Situasi buruk itu menuntut kepedulian saya atas dasar persaudaraan dan solidaritas kemanusiaan. Pesannya bagi kita adalah bahwa menghadapi Covid 19, bukan soal agama saya apa, dan penangannya atas cara ini cocok dengan pandangan dan identitas saya atau tidak, melainkan kenyataan bahwa Covid 19 telah menjadi penyakit bersama, maka kita semua cepat bergerak serentak, mendukung, terlibat dan berdoa bersama atas nama persaudaraan agar penyakit ini cepat berlalu.
Aplikasinya di bidang Pendidikan
Dampak Covid 19 tidak saja dirasakan di tengah masyarakat tetapi juga di bidang pendidikan. Covid 19 membawa perubahan pada perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Aktivitas belajar tidak lagi dilaksanakan terbatas pada pembelajaran tatap muka seperti dulu, kini berkembang model pembelajaran blended learning, secara online maupun ofline baik syncronus maupun asyncronus. Meskipun demikian pengalaman membuktikan ada begitu banyak kesulitan dengan model baru ini, baik karena belum tersedianya sarana yang memadai atau SDM guru dan siswa yang terbatas. Bagaimanapun juga banyak orang tua dan siswa stress karenanya dan merindukan kembali belajar di sekolah. Ini hanya mungkin kalau di sekolah pun aspek solidaritas dan tanggungjawab tetap ditumbuhkan di antara para warga sekolah.
Prokes 5 M yang diterapkan juga untuk masyarakat kiranya wajib ditumbuhkan dan dikontrol dengan tegas di sekolah: memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan membatasi aktivitas di luar rumah. Pembelajaran tatap muka terbatas yang mulai diterapkan kiranya tetap memperhatikan juga secara serius hal-hal ini. Ini untuk menghindari the lost generation, Dengan demikian tanggungjawab dan solidaritas sosial kiranya berawal dari keluarga, ditumbuhkan di sekolah dan berpengaruh pada kehidupan sosial. Di sini peran para guru dan sekolah menjadi tak tergantikan, dan para guru agama mendapatkan peranannya yang khas dan strategis.
Paus Fransiskus mengingatkan: “Benar, tragedi yang melanda seluruh dunia seperti pandemi covid-19 seketika menumbuhkan kembali perasaan bahwa kita ini merupakan komunitas global, yang berada dalam perahu yang sama, dan persoalan satu orang menjadi persoalan semua. Sekali lagi kita menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang selamat sendiri; kita hanya dapat diselamatkan bersama karena kita adalah bagian keluarga, kita semua saudara dan saudari satu sama lain” (FT 32)
Penutup
Covid 19 bukan sekedar masalah kesehatan tapi sudah berkembang menjadi masalah kemanusiaan dalam semua aspeknya. Serentak menjadi kesempatan/panggilan untuk bertanggung jawab bersama terhadap alam, diri sendiri dan sesama manusia menuju keberlanjutan ekologis dan sosial yang lebih lestari”. Ia telah memakan banyak korban. Saya yakin, kita tak tega membiarkan lagi korban berjatuhan, dan dunia ini berjalan mundur atau semua usaha dan pengorbanan para pahlawan sejauh ini menjadi sia-sia. Perubahan ke arah pemulihan keadaan di era new normal menuntut kesadaran, kepedulian dan gerakan moral konkret bersama. Bahwa pandemi ini adalah penyakit kita bersama dan karena itu kita semua dipanggil dan diinspirasi oleh spiritualitas keagamaan menuju suatu spiritualitas sosial. Iman dalam agama kita masing-masing hendaknya diwujudkan dalam gerakan tanggungjawab bersama untuk aktif mendukung semua upaya pemerintah dan masyarakat dengan keyakinan bahwa bersama kita pasti bisa menang.
Mungkin saat ini badai sedang melanda, namun hujan tidak akan berlangsung selamanya.. Melampaui spiritualitas keagamaan dan membangun persaudaraan lintas agama memang jalan sempit tapi bisa memberikan harapan bahwa bersama kita bisa atas dasar solidaritas di tengah badai kita. Virus baru adalah tantangan baru dan menggugah kesadaran dan tanggungjawab pribadi saya. Inilah kiranya jalan sempit demi tetap membangun dan menjaga rumah kita bersama dan semua usaha pemulihan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat terbuka jalannya. (***)