Perempuan Memilih Panggung

  • Whatsapp
banner 468x60

Oleh: Dr. Lanny Isabela Dwisyahri Koroh, S. Pd., M. Hum (Dosen IAKN Kupang)

Mungkin ada benarnya pernyataan sang filsuf terkait masalah politik di era modern, seperti Mark Twin, secara praktis bahwa banyak yang masuk dalam arena politik tetapi hanya sedikit saja yang memahaminya.

Politik terkadang memantik kemanusiaan kita untuk melibatkan diri. Yah, benar apa yang dikatakan Plato bahwa politik itu adalah ilmu yang tertinggi dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya.

Hal inilah yang kemudian mendorong sebagian orang berani mengambil resiko dalam kehidupannya karena politik menggiringnya dalam frame praktik politik.

Di banyak kalangan perempuan hanya dipahami sekedar urusan rumah tangga, dapur dan kasur, mengasuh anak dan melayani suami, lebih dari itu perempuan terkungkung dengan adat istiadat serta pranata sosial lainnya.

Yah, inilah yang disebut sebagai patriarkisme. Tapi seiring dengan perkembangan zaman dengan saintek serta transformasi media sosial lainnya turut memberi pengaruh terhadap kehidupan manusia tak terkecuali bagi kehidupan perempuan.

Pergerakan kesetaraan gender bagi kaum perempuan telah membuka ruang bagi kaum hawa untuk “merebut ruang ekspektasi”.

Dalam perspektif sosial tentu ini menjadi perbincangan yang menarik mengingat posisi perempuan selalu menjadi nomor dua dari kaum lelaki. Perempuan selalu menjadi inferior bagi superioritas kaum pria.

Gerakan gender bukanlah satu gerakan yang utopis, sebab gerakan ini bukanlah gerakan “melawan takdir”, akan tetapi gerakan ini lebih pada rasa keadilan dan kemerdekaan bagi kaum perempuan dan kehidupan sosialnya.

Yah, begitu banyak persepsi terkait posisi perempuan baik dalam pandangan sosial maupun dalam pandangan agama. Bagi kaum konservatif membilangkan bahwa kalau melawan tradisi untuk dikatakan modern, maka aku memilih untuk tidak modern.

Perempuan yang dikenal tertutup, bukan hanya pada aspek pakaian, namun sikap, pribadi, perilaku, keseharian, adalah menjadi pertanda bahwa “perempuan berdiam diri” dalam mempertahankan dirinya dari lingkungan dimana ia melakukan proses kehidupan.

Tentu agama melihat demikian, bahwa seorang perempuan tidaklah keluar rumah tanpa seizin suaminya. Ruang sosial dengan perkembangan media sosial telah memaksa kaum perempuan “membuka dirinya” di hampir semua lingkungan kehidupannya. Mulai dari gaya hidup (style), pergaulan, perilaku serta sampai kepada ranah publik yang lebih luas.

Mitos perempuan sebagai pembuka pintu bagi suaminya mulai terkikis oleh zaman, gerakan gender telah memberi ruang bagi perempuan untuk mengambil posisi penting dalam kehidupan sosialnya.

Merespon hal tersebut, Huzaima bin Kaab di zaman Rasulullah telah berjuang walau ia terbunuh dengan 16 anak panah menancap di tubuhnya. Di tahun 1974 di era politik modern telah tampil Isabel Peron, presiden pertama wanita dari Argentina yang terlibat dalam gerakan melawan Juntah Militer yang menewaskan kurang lebih 30.000 warga Boaines Aires, diculik dan dibunuh.

Sederet nama seperti Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Theacher yang dikenal wanita bertangan besi, ada Benazir Butho di Pakistan, ada perdana menteri Singapore Salmah Yakub dan masih banyak yang lainnya.

Bagi konteks Indonesia tentu beberapa nama menjadi inspiring bagi kaum perempuan untuk hadir di panggung politik baik itu lokal maupun nasional.

Nama Cut Nyak Dien, RA Kartini, Cut Meutiah dan lain-lain, adalah secuil nama yang telah memberi warna perjuangan di republik ini.

Megawati Soekarno Puteri, puteri mendiang Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia tak dapat dipungkiri bahwa sosok Megawati adalah presiden wanita pertama di politik modern Indonesia.

Nah, sejalan dengan transformasi demokrasi di Indonesia kaum perempuan telah memilih panggung politik untuk sebuah jalan perjuangan. Makna panggung tidaklah sama dengan “panggung konser musik” dimana goyangan para penyanyinya terlihat molek dengan solek yang seronok. Tetapi panggung politik haruslah dipandang sebagai arena kontekstasi inferioritas merebut takdir kekuasaan. Walau undang-undang memberi ruang bagi kaum perempuan 30 persen keterwakilan politik diparlemen, walau kenyataannya baru mencapai 12 persen, ini tentu tidak sebanding dengan jumlah pemilih perempuan dibanding dengan pemilih kaum laki-laki.

Patriarkisme sesungguhnya telah “menghukum perempuan” pada ruang tertentu, sehingga keterwakilan politik menjadi ruang bagi skenario demokrasi agar perempuan tak lebih pada inferior dan streotipe (pelebelan).

Pilkada langsung beberapa saat lalu hingga saat ini, kaum perempuan juga hadir memberi ruang politik, walau yang terpilih jadi pemimpin di daerah masih minim.

Pernah ada Atut Gubernur Banten (sudah menjadi terpidana korupsi), ada Rita (Bupati Kukar) yang kemudian di OTT KPK, ada Risma (mantan walikota Surabaya), Indah (Bupati Luwu utara) dan lain-lain. Semua itu pertanda bahwa kaum perempuanpun mengambil peran di panggung politik dan kekuasaan.

Bahkan perempuan dalam wilayah tertentu tampil sebagai pejuang seperti Amrech di Euthopia, Malala di Afghanistan, perempuan kecil di film Kami Bersaudara di NTT, Ma Aleta Baun masih di NTT, bahkan Sumiati gadis sampan di Maros yang berjuang untuk mendapatkan keadilan pendidikan.

Tapi panggung politik bagi perempuan hanya terdapat segelintir perempuan yang berani memilih jalan terjal dalam panggung itu, politik. Ya dari dan di NTT sudah mulai muncul bbrapa nama, bilang saja Emi Nomleni, Inche Sayuna, An Kolin, dan beberapa lainnya.

Ada juga perempuan hanya “dipaksa” karena geneologi politik yang kebetulan suaminya berkuasa maka istrinyapun (perempuan) diproduksi untuk menjadi politisi walau sesungguhnya sejak awal sang istri hanya menjadi istri dan perawat bagi anak-anaknya.

Ada perempuan hadir dan memilih panggung politik untuk memperkukuh jati diri perempuan dan ada perempuan hadir di panggung politik hanya sekedar melanjutkan warisan kekuasaan atau bagian dari irisan politik sang suami.

Fenomena politik demikian masih sulit dihindarkan karena kepentingan politik perempuan hanya bersifat belas kasih yang oleh undang-undang mensyaratkan kouta 30 persen, bukan atas kesadaran sendiri.

Beberapa panggung yang menjadi pilihan perempuan dapat diterjemahkan apakah panggung yang hingar bingar seperti alunan musik dengan segala aroma estotik atau panggung ketegangan sebagaimana di pentas politik yang terjadi.

Kita tunggu bagaimana demokrasi menegasikan perempuan dalam politik.

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60