Selamat Ribut Rukun: Belajar Dari Keluarga Kudus Nasareth (Luk. 2:22-20)

  • Whatsapp
banner 468x60

Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, (SMK Negeri 5 Manado)

Pernah ada kisah yang beredar tentang perkawinan di Afrika, yang diangkat oleh penulis bernama Sey Wave. Ia mengangkat cerita dongeng di daerahnya untuk memberi petunjuk ajaran bagi mereka yang sedang mempersiapkan diri menuju jenjang pernikahan. Di tengah gejala dimana banyak orang tua kurang berwenang dalam menenukan calon suami bagi para putrinya yang cantik. Nama putri cantik ini Naambooze. Ketika putri cantik ini berajank dewasa, banyak pemuda mulai tertarik ingin memperistrikan dia. Alasannya bermacam-macam. Yang jelas, setiap tawaran pasti ditolak. Menarik bahwa, suatu hari datanglah seorang pemuda ganteng dan kaya hendak melamar Naambooze. Putri cantik ini langsung jatuh cinta, meski orangtua dan keluarganya menolak karena identitas dan latar belakang pemuda ini tidak jelas. Maka pihak keluarga menganjurkan supaya pemuda ini datang bersama keluarganya untuk pembicaraan  bersama. Keluarga si putri ini pun berunding. Bibinya, seorang  ahli sihir mengatakan bahwa pria tadi bukanlah laki-laki normal karena setiap tempat di mana dia duduk, selalu ada bulu-bulu yang tertinggal melekat di tempat duduk. Namun kata orang umumnya, cinta itu memang buta membuat Naambooze tidak peduli dengan nasihat bibinya. Sebagai gantinya, dia malah mengancam akan bunuh diri dengan melompat ke dalam sumur jika selalu dilarang dan menolak lamaran si pemuda tadi. Seminggu kemudian pemuda itu datang lagi, namun tanpa bersama keluarganya. Apa mau dikata,kemauan si putri begitu tinggi dan harus dituruti. Pemuda itu membayar mas kawin, dua kali lipat dari yang disepakati, dan tanpa banyak upacara malam itu juga Naamboze segera dibawa ke tempat tinggal pemuda itu yang ternyata amat jauh.

Perjalanan panjang malam itu melewati hutan yang lebat. Naambooze sudah kelelahan dan tak dapat lagi meneruskan perjalanan. Namun dia teringat akan tekadnya bahwa demi cintanya, kemanapun pemuda itu pergi, bahkan di lubang batu sekalipun, dia akan tetap ikut bersama. Pada saat itu, pemuda itu melepaskan semua pakaiannya, dan betapa terkejutnya Naambooze karena suaminya ini adalah  seekor  cimpanse, kera besar, orang utan. Naambooze terpaksa ikut dan tinggal bersama  di sebuah pondok daun di tengah hutan rimba. Bibinya, ahli sihir itu tak habis akal meski terus gelisah. Dengan ilmu sihirnya, dia tahu bahwa Naambooze dalam bahaya. Dengan kekuatan ilmunya, dia mencari dan menemukan anaknya. Malam itu, orang utan itu datang dengan  telapak kaki berdarah kena duri. Bibi itu dengan dalih mengobati. Sambil memijat telapak kaki orang utan itu, dia membunuh dengan kekuatan magis. Lalu Naambooze pun dibawa pulang ke rumah mereka.

Kisah perkawinan  kilat ini hendak menegaskan kepada kita bahwa persiapan perkawinan merupakan hal mendasar untuk menguji dan memurnikan motivasi cinta sampai masuk ke jenjang perkawinan.  Kemudahan hidup sekarang ini membuat orang menikah pun terasa gampang tanpa dasar dan persiapan yang matang dan karenanya tak akan bertahan lama. Maka benarlah peribahasa ini, pernikahan itu  sama seperti liang tikus: yang berada di luar ingin masuk, tetapi yang berda di dalam ingin segera keluar.

Injil pada Pesta Keluarga Kudus dalam liturgi Gereja Katolik hari ini mengetengahkan  kisah tentang suka-duka keluarga Kudus Nasareth, Yesus, Maria dan Josep. Ketika genap waktunya, untuk pentahiran menurut Hukum Musa, yang mengharuskan semua anak laki-laki dikuduskan bagi Allah, Maria dan Josep membawa si Bayi Yesus untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Sebagai pengganti si bayi, mereka membawa  sepasang burung tekukur. Di bait Allah, ada seorang bernama Simeon, seorang yang benar, yang menantikan  penebusan Israel. Roh Kudus ada di atasnya dan oleh Roh itu dinyatakan bahwa dia tidak akan mati sebelum melihat Mesias. Maka terdorong oleh Roh itu ia masuk ke Kenisah menyambut si Bayi yang dibawa masuk oleh kedua orangtuanya, dan ia berkata: “Tuhan,biarlah sekarang hambaMu ini pergi dalam damai sebab  mataku telah melihat keselamatan yang datang dari padaMu yang disediakan  di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menerangi para bangsa dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel”. Kepada kedua orangtua yang heran mendengar kata-katanya itu, ia berkata, dan lebih ditujukan kepada Maria: Bayi ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan menjadi tanda yang menimbulkan pertentangan dan suatu pedang akan menembus jiwamu. Ada juga seorang nabi perempuan bernama Hana,  anak Fanuel yang sudah lanjut usianya. Ia pernah menikah dan hidup bersama suaminya selama 7 tahun dan sekarang menjanda. Usianya sekitar 84 tahun. Ia tidak pernah meninggalkan  Kanisah, dan siang malam berdoa dan berpuasa. Ia juga turut menyaksikan upacara suci itu, mengucap syukur kepada Allah dan menceritakan soal bayi itu kepada semua orang yang menantikan pembebasan bagi Yerusalem. Setelah melaksanakan semuanya itu menurut hukum Tuhan, Maria dan Josep kembali ke Nasareth. Bayi itu bertambah  besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan cinta kasih Allah ada padanya.

Kisah ini hendak menampilkan bahwa  kesempurnaan hidup berkeluarga Nasareth pantas dijadikan model dan contoh bagi semua keluarga dan bahwa kehadiran Allah selalu mewarnai dan meresepi perjalanan hidup keluarga di tengah suka-dukanya. Kehadiran Allah itu tidak hanya dinantikan, tetapi terus menerus dicari lewat hukum Taurat yang mengatur tata cara hidup beriman. Apa yang dilakukan Maria dan Josep tampak biasa. Namun menjadi luar biasa karena Mesia Penyelamat itu ada bersama mereka dan mereka tak mau dikecualikan dari pemenuhan ketataan pada hukum. Mereka tetap mau melaksanakan kehendak Allah yang hendak dihadirkan melalui aturan hukum itu. Bahkan sejak awal kehadiran mereka, Allah telah hadir menjiwai mereka, terutama dalam hubungan Maria dan Josep. Cinta keduanya adalah cinta sejati yang menghendaki kebahagiaan pasangan, dan dalam cinta seperti itu kasih Allah dihadirkan. Cinta yang tulus murni seperti itu amat nampak dalam sikap Josep, yang dikenal juga dengan Yusuf. Penginjil Mateus mencatat: “Karena Yosep suaminya seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam””. Namun malaekat Tuhan menguatkan dan menjadikan dia mampu membaktikan seluruh cintanya kepada Maria dan juga kepada Yesus di tengah keluarga mereka. Yosep menjadi pribadi yang luar biasa dalam ketulusan cinta.

 

 

Belajar dari Santo Yosep/Yusuf, suami Maria

Pada tanggl 8 Desember 2020 (bertepatan dengan Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda), Paus Fransiskus mengeluarkan Surat Apostolik berjudul Patris Corde (Dengan Hati Seorang Bapa). Surat Apostolik ini sekaligus menandai mulainya Tahun Santo Yusuf yang berlangsung sampi 8 Desember 2021.

Penetapan tersebut menandai ulang tahun ke-150 penetapan Santo Yusuf sebagai Pelindung Gereja Universal oleh Beato Pius IX pada 8 Desember 1870. Figur Sentral Patris Corde ialah Santo Yusuf, suami Bunda Maria, ayah Yesus. Paus Pius XII telah menggelari St Yusuf sebagai pelindung para pekerja, dan Paus Yohanes Paulus II menghormatinya sebagai Penjaga Sang Penebus.

Mengapa St. Yusuf? Bagi Paus Fransiskus, Santo Yusuf adalah figur yang cocok bagi Gereja dan Dunia, yaitu sebagai model orang yang bekerja di belakang layar demi kepentingan dan keselamatan umat manusia. Di masa pandemi korona ini, orang-orang biasa seperti dokter, perawat, guru, pekerja publik, dan para relawan, mendedikasikan hidupnya bagi keselamatan umat manusia.

Mereka itu tidak menjadi headline berita di media, namun tulus mengabdi dan melayani. Itulah contoh aktual figur St. Yusuf: Ia seorang ayah dan pekerja yang tulus. Ia melindungi Maria dan Yesus demi keselamatan umat manusia. Tanpa banyak tampil, ia turut dalam karya keselamatan Allah. Krisis karena pademi korona menantang kita berbela rasa seperti Yusuf yang saleh.

Paus merefleksikan tujuh kualitas yang dimiliki oleh St. Yusuf. Pertama, Yusuf adalah seorang  bapa penuh kasih. Ia suami Maria, ayah Yesus. Ia mendedikasikan status dan hidupnya demi Keluarga Kudus. Seluruh hidupnya adalah pelayanan bagi Tuhan. Kedua, Yusuf juga adalah seorang bapa yang lembut dan penuh cinta. Ia menyaksikan Yesus yang tumbuh penuh kebijaksanaan. Sebagai ayah ia melindungi anaknya dengan penuh kasih dan kehangatan.

Ketiga, kualitas lain pada Yusuf ialah sebagai bapa yang taat. Penginjil Matius melukiskan empat mimpi Yusuf yang ditandai sikap taatnya pada kehendak Allah. Pertama, ketika ia mengetahui bahwa Maria tunangannya telah mengandung dari Roh Kudus, Yusuf ‘tidak mau mencemarkan nama Maria di muka umum’ (Mat 1: 19). Ia taat menjalankan kata-kata Malaikat dalam mimpinya: ‘janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus’ (1: 20). Yusuf bangun dan melakukan apa yang dikatakan Malaikat itu (1: 24).

Mimpi kedua, Yusuf taat pada perintah Tuhan untuk mengungsikan anaknya ke Mesir karena ancaman Herodes (Mat 2: 13-15); ketiga, kembali dari Mesir ke tanah Israel (Mat 2: 19-20); dan keempat, mengungsi ke Galilea untuk menetap di kota Nazaret (Mat 2: 22-23).

Paus mengajak kita merefleksikan bahwa selain viat Maria, ada pula ‘viat Yusuf’. Ia taat pada kehendak Tuhan. Maria telah mengatakan janji kesetiaanya pada Tuhan: terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Demikian pula Yusuf memperlihatkan viatnya sebagai ayah Yesus. Dan Yesus sendiri pada saatnya di taman Getsemani, menyatakan viat-Nya kepada Allah Bapa: ‘bukan kehendak-Ku melainkan kehedak-Mu lah yang terjadi. Yusuf mendidik Yesus dengan contoh sikap taat.

Keempat, Yusuf adalah seorang bapa yang siap menerima. Ia menerima Maria dengan tulus hati. Ia percaya pada kata-kata Malaikat Tuhan. Ia figur seorang pria yang menghormati perempuan. Ia tak mau mempermalukan Maria. Ia pria yang bukan hanya berpikir logis, tetapi terutama bertindak sensitif. Yusuf memberi teladan bagi kita untuk melawan kekerasan bagi perempuan. Kelima, Yusuf digambarkan pula sebagai  bapa yang berani dan kreatif. Yusuf tidak lari dari kesulitan. Dalam situasi sulit, ia berani memilih tindakan yang bukan menurut pilihannya sendiri. Dalam situasi dilematis ia menjadi ‘mukjizat’ bagi keselamatan Maria dan anak Yesus. Ketika tidak ada tempat bagi Maria di Betlehem, Yusuf menyediakan palungan yang nyaman. Ketika harus mengungsi dari ancaman Herodes, ia tegar melindungi dan menyelematkan keluarga. Ia percaya tangan Tuhan.

Keenam, Paus juga menghormati Santo Yusuf sebagai figur seorang bapa pekerja. Yusuf adalah seorang tukang kayu. Ia bekerja keras menghidupi Keluarga Kudus. Ia adalah pelindung para pekerja. Paus Leo XIII dalam Ensiklik Rerum Novarum merefleksikan peran Yusuf sebagai pekerja. Yesus belajar bekerja dan melayani dari sang ayah, Yusuf. Di Tahun Santo Yusuf ini kita patut berdoa dan menghormati para pekerja yang mendedikasikan hidupnya bagi umat manusia.

Akhirnya Paus Fransiskus menggambarkan figur Yusuf sebagai bapa tersembunyi (a father in the shadows). Figur Yusuf sebenarnya menampilkan sifat Allah Bapa sendiri yang selalu mengasihi Anak-Nya. Relasi Yesus dan Yusuf adalah bayangan dari relasi Yesus dengan Bapa-Nya di surga. Yusuf adalah figur penyertaan Bapa dalam seluruh hidup Yesus Putra-Nya di dunia.

Bagi Paus Fransiskus, orang menjadi ayah bukan hanya karena status menikah dan memiliki anak. Semua orang menjadi ayah ketika memberikan hidupnya demi hidup orang lain. Dari Yusuf, kita belajar mengasihi dan melindungi anak-anak dengan hati seorang ayah. Dengan cara itu kita menjadi tanda kehadiran Bapa di sorga ‘yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar’ (Mat 5: 45).

Selamat Ribut-rukun

 

Akhirnya, apa makna perayaan Pesta Keluarga kudus bagi keluarga kristiani dalam dunia kita di zaman ini? Di samping belajar membangun cinta yang tulus murni sebagai dasar keluarga, kita pun belajar bagaimana komunikasi menjadi sarana mengatasi setiap konflik dalam perjalanan hidup keluarga. Keluarga yang selalu diwarnai suasana hidup ribut dan rukun. Maka untuk semua keluarga yang merayakan Pesta Keluarga kudus, diucapkan selamat merayakan ribut rukun.

Di sini dengan sengaja ribut-rukun digandengkan, sebab bukankah sebetulnya hidup keluarga itu ditandai oleh suasana ribut dan suasana rukun? Biar bagaimanapun rukunnya suatu keluarga, bukankah dalam kenyayaannya terjadi juga keributan? Mana ada suami-isteri yang tak pernah ribut, atau adik kakak yang tidak saling bertengkar? Atau anak dan orang tua tidak pernah bertikai. Lebih baik kita bersikap realistis dengan hidup dan mengakui bahwa  ribut dan rukun memang saling bergandengan dalam hidup bersama dalam realitas setiap keluarga.

Mengapa anggota-anggota satu keluarga yang rukun dan saling mencintai dapat juga bertengkar? Sebabnya tentu bervariasi. Namun secara umum, penyebab hakekatnya adalah karena mereka saling mencintai. Di sini terdapat paradoks (dua hal yang saling bertentangan dan kausalitas (dua hal yang saling menyebabkan). Anggota satu keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita. Meraka yang paling kita andalkan. Karena itu kita punya ekspetasi, harapan yg mengandung tuntutan dari mereka. Tetapi sebagai orang dekat mereka jugalah yang paling membuat kita marah, kecewa, kesal dsbnya. Kalaupun mereka kesal dan marah, ya karena saya juga. Sebagai orang dekat kita sering mengecam, dan itu mendatangkan keributan. Di sinilah paradoksnya, kita kesal atau benci padahal kita mencintai, itulah kausalitasnya. Itulah sebabnya, di syair lagu Obbie Mesakh dulu, ada singkatan, benci, benar-benar cinta….

Jadi ribut-rukun adalah irama dan warna dasar setiap keluarga. Mengapa ada keluarga yang tetap bertahan di tengah konflik dan ada yang retak dan hancur berantakan? Sebabnya utamanya, terletak pada kemampuan membangun komunikasi mengatasi dan mengelolah konflik. Banyak konflik keluarga diwarnai dengan upaya mencari benar dan salah, yang menang dan kalah. Padahal hakekat komunikasi dalam keluarga adalah agar relasi cinta yang retak karena emosi dan egoisme dibangun kembali dan cinta yang tulus dan rela memaatkan dipulihkan kembali. Dalam setiap konflik kita perlu bertanya, apa kehendak Tuhan bagi saya dan keluargaku dalam konflik ini? Itulah sikap iman dan kasih yang dipetik dari semangat keluarga Kudus Nasareth. (***)

 

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60