Belajar Mengasihi Seperti Allah Bagi Manusia

  • Whatsapp

Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, SMK Negeri 5 Manado

PORTALNTT.COM – Kalau kita masuk jalan ramai atau ke pasar di kota dan di desa besar, sering kita lihat poster dan spanduk terpasang di kiri-kanan jalan. Ada yang bermaksud mengingatkan kita akan rupa-rupa hal. Misalnya, jagalah kebersihan lingkungan, warga negara yang baik  adalah warga yang taat hukum, saya warga yang taat membayar pajak, jadilah pelopor keselamatan berlalulintas.  Ada yang hendak mempromosikan produk dan layanan jasa tertentu. Di masa pandemi seperti sekarang ada berbagai poster, baliho dan gambar seputar  sikap tanggap terhadap virus corona. Antara lain dengan ajakan untuk selalu menjaga protokol kesehatan.

Di Kantor atau gedung sekolah kita bisa temui papan dengan tulisan tentang nilai moral dan karakter bangsa. Di rumah dan mobil sering ada tulisan, Aku ada dalam tanganMu Tuhan, Aku adalah milikMu, Tuhan Pelindungku. Di mobil juga sering ada tulisan Allah adalah Kasih.

Dalam injil hari di hari Minggu Paskah VI ini, kita  mendengarkan kembali pewartaan: Allah adalah Kasih. Yesus yang adalah pewahyuan diri Allah sendiri, menyatakan diriNya sebagai pewahyu, yang melalui seluruh hidup dan karyaNya  memperagakan sikap dasar dan hakikat  Allah bagi dunia dan manusia. Itu bukan saja isi pewartaan melainkan dibuktikan  dengan tindakan nyata, menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabatNya.

Bersama Paulus dalam surat kepada Umat di Roma, kita menyatakan: Allah menunjukkan kasihnya kepada kita,  karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih musuhnya dalam dosa”. Ketika kita masih menganggap Allah sebagai musuh kita, mungkin kita beranggapan bahwa  Allah pasti menghukum dan membinasakan kita karena dosa itu sehingga kita berada dalam kematian abadi. Yang terjadi justeru sebaliknya, di saat kita jatuh dalam dosa, Allah berusaha dan berulang kali meyakinkan kita bahwa Dia adalah sahabat yang sungguh iklas.

Melalui para tokoh suci sejak Perjanjian Lama, Allah mengajak kita kembali hidup dalam kasihNya. Ia tidak membinasakan kita melainkan justeru sebaliknya, Ia rela memberikan hidupNya sendiri, melalui sengsara, wafat dan kebangkitanNya agar kita hidup. Sungguh, hidupNya mengidupkan kita.

Inti pewartaan hari ini bahkan inti ajaran agama kita, ialah Injil, berita gembira, bahwa Allah  adalah kasih, bahwa Ia tak bersemayam di tahta kemuliaanNya mengatasi awan, hidup dalam kemuliaanNya, tanpa peduli pada sejarah penderitaan atau perjuangan manusia di atas dunia. Sejak dalam Perjanjian Lama, Allah memperkenalkan diriNya sebagai  Dia yang menaruh perhatian dan kasih yang besar terhadap manusia dan dunia ini. Ia terlibat dalam seluruh seluk beluk atau sejarah hidup manusia, agar kita manusia mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan (Yoh. 10:10).

Barang siapa memandang  Yesus dan melihatnya  dalam iman bagaimana Dia  berkeliling dan berbuat baik kepada semua orang dan meruntuhkan tembok-tembok pemisah, bagaimana Ia menolong, mengampuni, bagaimana Ia tidak membalas dendam kebencian dengan kebencian, bagaimana Ia menerima hukuman secara tak adil sampai Ia mengurbankan hidupNya sendiri, semuanya menjadi bukti pengungakapan diri Allah dalam bentuk seorang manusia, Yesus, sekaligus Putera Allah, dia harus mengakui pula, bahwa itulah bukti terbesar dari cinta kasih Allah kepada kita manusia.

Kasih yang dibicarakan Yesus dalam Injil hari ini, bukan satu tetapi banyak. Ia mulai dari kasih kepada Allah Bapa terhadap Kristus, dan kasih yang sama kemudian bergerak dari Yesus kepada sahabat-sahabatNya. Kasih Yesus ini lalu ditanggapi dalam ketaataan kasih para murid terhadap Kristus dan bersinar dalam kasih mereka satu sama lain. Kasih inilah yang akan menjadi sumber kegembiraan dan syarat mutlak aneka hubungan antarmanusia. Teladan kasih bagi pemuridan yang sejati ini, bersifat total dan tanpa batas. Karena, demi kasih itu Yesus rela memberikan hidupNya secaara total bagi sahabat-sahabatNya,  layaknya seorang Gembala yang baik. Itulah panggilan kita sebagai murid, mengasih Dia dan sesama dan terus menghasilkan buah.

Jadi dari Kitab Injil hari ini kita mendapatkan  pandangan universal Yesus tentang mengasihi sesama, bahwa sesama adalah semua orang, setiap orang, siapapun dia, bukan saja yang membutuhkan pertolongan seperti (dalam kisah Orang Samaria yang murah hati) melainkan juga orang yang sama seperti dia mengasihi sesama (contohnya wanita Siro Fenesia). Jadi tak  ada patokan untuk menentukan siapakah sesama itu.

Kebaruan ajaran Yesus mengenai kasih terletak pada aspek ini.  Kebaruannya begitu ditegaskan dalam Injil Yoh dan dijelaskan para sinoptik seperti dalam Injil  Markus: Yesus menggabungkan dan mempersatukan perintah kasih kepada Allah dengan perintah kasih kepada sesama, “Tak ada perintah lain yang lebih utama dari kedua perintah ini”, menyangkut keduanya sekaligus.

Ini tak berarti bahwa kasih kepada Allah berakhir dengan kasih kepada sesama. Namun tanpa mengasihi sesama, tak mungkin juga mengasihi Allah. Yang penting bagi kita orang Kristen ialah kenyataan bahwa perintah kedua tak dapat dipisahkan dari yang pertama.

Mengapa kasih kepada sesama tak mungkin jadi tanpa mengasihi sesama, dan mengapa kasih kepada sesama tak mungkin jadi tanpa  mengasihi Allah. Alasannya satu saja, yaitu Yesus, Dialah satu-satunya ukuran kasih timbal-balik para Sahabat dan pengikutNya. Ukuran itu dirumuskan oleh Yesus sendiri, seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh.15:12).

Bila demi mengikuti Yesus, orang harus meninggalkan segala sesuatu,lalu mengikuti Yesus saja, maka dengan sendirinya harus disimpulkan bahwa manusia tak dapat menjadikan dirinya ukuran kasih kasih kepada sesama, karena kita cenderung bersikap egois. Maka barangsiapa tidak mengasihi seperti Yesus, tak dapat menjadi pengikutNya yang sejati.

Inilah yang menjadi pokok ajaran Yesus, ajaran, sesuatu yang diajarkan, tetapi sekaligus  menjadi perintah, berarti harus dilakukan. Dimana kita harus mengajarkan ini? Mengasihi mungkin bisa diajarkan, tetapi terutama dengan pembiasaan.  Kita perlu belajar membiasakan diri!   Pertama-tama, keluarga menjadi sekolah cinta kasih, menjadi tempat dimana suami, isteri dan anak dan semua yang tergabung di dalamnya belajar memberi dan menerima kasih. Hanya karena dasar kasih itu, suami isteri saling mengingat diri dalam perkawinan, anak-anak dalam keluarga lahir dari kesatuan kasih suami-isteri.

Kasih itu perlu diwujudkan terus dan diperluas seiring dengan luas pergaulan dan pendidikan. Orang belajar menerima diri dan orang lain, belajar menghargai dan menerima setiap perbedaani, belajar melayani tanpa pandang bulu, belajar memaafkan dan meminta maaf, belajar berkorban. Lingkupnya dari keluarga lalu diperluas di tempat belajar, di sekolah, tempat kerja, tempat bergaul dan bermain, dengan siapa saja. Keluarga dan komnitas religious, Gereja dan masyarakat plural menjadi medan orang menghayati kasih itu.

Dan Yesus menghendaki supaya kehendak Allah, ajaran dan perintah kasihNya dihayati secara baru dan lain. Bagaimana kehendak itu harus dilaksanakan bukan hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan. Pengorbanan diriNya di salib adalah puncak kasih Allah kepada kita. Kita dipanggil untuk menghayatinya dalam hidup konkret, mulai dari hal-hal kecil dan biasa. Dari yang kecil dan biasa itu kalau menjadi kebiasaan yang baik maka akan menjadi luar biasa.

Ajaran Yesus mengenai kasih di atas sangat penting bagi kita. Nilai hidup kita, bobot hidup manusia ditentukan oleh adanya kasih atau tidak. Berbagai kejahatan yang terjadi dalam diri dan masyarakat kita terjadi karena orang kehilangan cinta dan belaskasihan kepada sesamanya. Kita semua mengakui mengasihi dan beriman kepada Allah. Mengapa kejahatan dilakukan oleh orang yang mengaku beragama itu?  

Jawabannya terletak pada keinsyafan bahwa Iman kita akan Allah diwujudkan dalam sikap dan perbuatan kasih kepada sesama. Kita perlu menghayati kasih dalam aneka tindakan konkret. Kalau demikian, kata Yesus, “engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah” mulai terwujud. Di saat pengadilan terakhir, ukuran kita lulus sebagai manusia (selamat) bukan berapa banyak kita berdoa dan memenuhi tuntutan praktek keagamaan. Bukan berarti berdoa, ibadah dan anaka praktek keagamaan tidak penting. Penting, tapi kita tidak boleh berhenti di sini. Ukurannya adalah ukuran kasih, apa saja yang kau lakukan atau tidak kau lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina, kamu telah melakukan atau tidak melakukannya  untuk aku. Yesus menyamakan diriNya dengan sesama kita.

Di akhir permenungan ini, saya ingin mengajak kita belajar dari kisah tentang kebesaran hati seorang soupir angkot di Manado. Pengalaman ini saya dapatkan waktu saya iseng bareng teman saya naik angkutan kota dari Paniki ke Paal dua, di masa sebelum pandemi virus Corona.
Pengemudi angkot itu seorang anak muda, di dalam angkot duduk 4 orang penumpang, termasuk kami.

Masih ada 4 kursi yang belum terisi, seperti biasa di tengah jalan, angkot-angkot saling menyalip untuk berebut penumpang. Namun ada pemandangan aneh, di depan angkot yang kami tumpangi ada seorang ibu dengan 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan.
Setiap ada angkot yang berhenti di hadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.

Kejadian ini terulang beberapa kali. Ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya: “Dik, lewat Terminal ya?”, supir tentu menjawab “ya”. Yang aneh si ibu tidak segera naik. Ia bilang “ Tapi saya dan ke 3 anak saya tidak punya ongkos.” Sambil tersenyum, supir itu menjawab “Tidak apa-apa bu, naik saja”, ketika si ibu tampak ragu2, supir mengulangi perkataannya “ayo bu, naik saja, Tidak apa-apa ..”

Saya terpesona dengan kebaikan Supir angkot yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang, tapi si Supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk si ibu dan anak-anaknya. Ketika sampai di terminal, 4 orang penumpang gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada Supir.
Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang rp. 20 ribu. Ketika supir hendak memberi kembalian Pria ini bilang ambil saja semuanya, uang itu untuk ongkos dirinya serta 4 orang penumpang gratisan tadi. “Terus jadi orang baik ya, Dik ”, kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu… Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat. Seorang Ibu miskin yang jujur, seorang sopir yang baik hati dan seorang penumpang yang budiman.

Mereka saling mendukung untuk kebaikan. Andai separuh saja Gereja dan bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita. Teruslah berbuat baik, sekecil apapun ketulusan yang kita perbuat tentunya sangat berarti untuk orang lain. Inilah wujud konkret kita belajar dari kasih Allah. (***)

Komentar Anda?

Related posts