Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, (Guru SMK Negeri 5 Manado)
Pendahuluan
Selama berabad-abad sebagai manusia kita telah memanfaatkan sumber alam yang tersedia di bumi ini untuk memenuhi aneka kebutuhan hidup. Pada pertengahan abad 20, orang mulai sadar bahwa bumi tidak lagi merupakan tempat tinggal yang nyaman dan sumber-sumber alam yang dulu tersedia itu ada yang tergantikan lagi. Mengapa demikian, ini menjadi akibat kerusakan ekologis yang telah dibuat manusia sendiri.
Industrialisasi dan peperangan dengan nuklirnya telah membuat bumi kita tak lagi menjadi tempat teduh yang aman, ia telah menjadi babak belur dan mengalami begitu banyak kehancuran. Pencemaran air, tanah, udara, penggundulan hutan, penebangan pohon secara liar terjadi atas nama pertembuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Konsumerisme telah merasuk di semua bidang kehidupan masyarakat kita tanpa ampun. Keserakahan dan main kuasa segelintir orang, baik yang berkuasa maupun yang mengganggap dirinya berkuasa atau tidak telah membawa dunia kita ke gerbang kehancuran. Maka kerusakan bumi dan lingkungan kita ini ibarat menggali kubur untuk kita manusia sendiri.
Hari-hari ini kita masih diperhadapkan pada aneka bencana panjang di berbagai daerah kita, melanjutkan daftar panjang nan memilukan yang terjadi sebelumnya. Yang amat menarik perhatian pribadi dan naluriku adalah banjir bandang dan badai yang mengantam NTT dan NTB sejak akhir Maret dan memasuki April 2021. Apakah kita akan berdiam diri dan menantikan kehancuran total itu yang terus datang menghantam kita? Atau apakah Tuhan sudah mulai bosan dengan tingkah kita sehingga rentetan bencana panjang ini adalah teguran buat kita?.
Apakah ini semua perilaku kita atas alam dapat kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan, Pencipta dan Pemelihara hidup kita? Apakah kita tetap hidup dalam etika lingkungan hidup yang menghantar kita kepada kehancuran ini? Ataukah kita memerlukan suatu etika lingkungan yang baru, suatu moralitas lingkungan yang baru agar kita tetap dapat mengabdi Allah dan menjadi saudara bagi manusia sekarang dan terutama yang akan datang? Apakah kita tetap hidup dalam konsep alam sebagai obyek yang dapat diperas sampai menganga, ataukah kita memperlakukannya sebagai saudara yang layak dicintai?
“Tuhan telah memberikan kepada kita sebagian pemahaman Ilahi dan daya. Tuhan cukup rendah hati dan berani menawarkan kepada kita tugas menguasai alam dan menyelamatkan dunia ciptaanNya setelah Ia menciptakan dan memberikan pelbagai kemungkinan yang potensial. Kalau begitu, apakah kita berhak mencemarkan alam, merusakkannya dan meghambur-hambur bahan mentah yang tak dapat kita ganti, seperti awal adanya? Kita harus belajar dari Tuhan untuk menciptakan dan bukan untuk merusakkan. Penghancuran itu tidak pantas bagi Pencipta, lebih lagi bagi kita Co-Penciptanya. Hal inilah yang mempersulait kehidupan sosial-ekonomis kita dan tak sesuai dengan tuntutan alam ini”.
Kehidupan manusia di bumi tidak bisa dilepaskan dari lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Bahwa manusia adalah makluk sosial dan tak bisa hidup sendirian tanpa ketergantungan dengan orang lain, dan manusia itu juga berada dan hidup di atas alam, dan karena itu merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan. Realitas ini tak terpungkiri siapa pun, karena itu sudah merupakan sesuatu yang kodrati, yang menyatu dengan eksistensinya dengan manusia.
Alam, misalnya merupakan tempat tinggal manusia, suatu lingkungan di mana manusia berada untuk hidup, exist to live. Alam sekitar manusia menyediakan segala kebutuhan mentah manusia sedangkan dari manusia dituntut suatu sikap inisiatif untuk menggarapnya. Dari kodratnya pula, manusia juga berada sebagai makluk pribadi dan social.
Pribadi seorang manusia tak tergantikan dengan orang lain, namun ia tak mungkin dan tak ingin hidup sendirian. Karena itu ia hidup berkelompok atau hidup bersama, itulah letak lingkungan sosialnya. Lingkungan itu terbentuk berkat adanya relasi dan interaksi antarpribadi manusia. Karena kompleks dan rumitnya kehidupan mereka, maka dalam karya tulis ini saya ingin membatasi diri dan menarik perhatian kita akan usaha melestarikan lingkungan hidup: antara panggilan dan tuntutan alam.
Dewasa ini manusia kian dirundung kecemasan dan keprihatinan akan keadaan lingkungannya. Pengrusakan lingkungan hidup besar-besaran sedang terjadi di dunia dan di negeri kita dewasa ini. Sekedar contoh dapat disebut antara lain:
– Penebangan dan pembarakan hutan yang tidak bertanggungjawab dan tidak disertai menanam kembali
– Pencemaran laut dan sungai-sungai oleh sampah penduduk dan dari limbah industri dan kapal-kapal
– Pencemaran udara oleh asap kotor dari kendaraan bermotor dan dari pipa-pipa industri
– Pembantaian satwa oleh para pemburu satwa demi alasan perdagangan, rekreasi, kebutuhan akan protein dll.
Akibat dari pencemaran lingkungan itu mulai kita rasakan, misalnya:
– Mengeringnya banyak mata air dan menurunnya debit air di sungai-sungai
– Mengurusnya tanah-tanah oleh erosi dan terjadinya pelbagai bencana banjir bandang dan tanah longsor.
– Menghilangnya banyak margasatwa sebab tiadanya hutan tempat bernaung.
– Meningginya suhu udara dan mengurangnya curah hujan, dsb.
Semua akibat tindakan manusia di atas akhirnya sangat merugikan manusia dan merupakan bencana yang juga akan ditanggung oleh anak cucu kita yang tidak bersalah? Ini sungguh merupakan tindakan kejahatan dan perbuatan dosa.
Manusia, yang menemukan kemampuannya untuk mengubah dalam arti tertentu menciptakan dunia dengan usahanya sendiri, lupa bahwa semua adalah karya rahmat Allah bagi kita dan anak cucu kita yang bukan saja dapat digunakan, tetapi juga harus dilestarikan.
Manusia mengira bahwa ia dapat memanfaatkan dunia semaunya denga mengeksploitasinya tanpa batas; seolah-olah tidak ada syarat-syarat tertentu dan tujuan yang oleh Tuhan sendiri diletakkan di dalamnya. Memang tidak dapat disangkal bahwa manusia mampu mengembangkan dunia, tetapi ia tidak mau memainkan peranannya dengan bekerja sama dengan Allah. Ia mau menduduki tempat Allah sendiri sehingga justru menimbulkan semacam pemberontakan dari pihak alam. Alam bukannya diatur tetapi dirusak. Dengan demikian, keutuhan ciptaan terganggu. Dapatkah kejadian ini dibiarkan terus berlangsung? Penemuan kembali keseimbangan dengan lingkungan hanya dapat terjadi kalau manusia mau kembali kepada pemahaman yang benar mengenai kuasa manusia atas alam.
Pentingya Perhatian pada Kepunahan alam dan Kerusakan Lingkungan
Hormat dan pengembangan lingkungan hidup terasa semakin penting. Kepedulian akan lingkungan lahir dari proses sejarah peradaban manusia. Sama seperti deklarasi HAM baru lahir setelah ada kesadaran umum bahwa manusia seluruhnya tak boleh dibuat sengsara, tak boleh ditindas dan dijajah. Hal yang sama untuk demokratisasi.
Tuntutan demokratisasi di mana-mana seperti sekarang ini merupakan buah kesdaran historis manusia. Kesadaran akan lingkungan pun demikian.
Begitu pentingkah lingkungan hidup? Ibarat kesehatan baru terasa penting, justru pada saat orang merasa sakit, demikian halnya dengan lingkungan hidup. Pada saat orang mengalami banjir atau kesulitan mendapatkan air bersih, barulah orang sadar akan pentingnya hutan. Ketika orang mengalami lahan yang kritis karena kurang memberikan hasil, barulah orang sadar akan pentingnya tanah gembur.
Kesadaran akan lingkungan muncul terutama karena fakta bahwa alam ini adalah alam yang telah dipercayakan Allah dengan kualitas baik adanya telah semakin rusak seperti yang disebutkan di atas. Juga lapisan ozon kita bolong menganga. Manusia mulai sadar bahwa hidupnya yang layak secara manusiawi tak mungkin tanpa keutuhan alam ini. Manusia yang utuh berarti menjadi bagian dari alam dan nilai hidup ini saling terpaut secara timbal-balik. Kepedulian akan lingkungan hidup biasanya lahir dari kesadaran semacam ini, biarpun lahir setelah mengalami problem bagi dirinya dan orang lain.
Lalu muncul pertanyaan, “apakah orang harus merasa sakit atau mengalami bencana dahulu agar dapat tumbuh motivasi dan kesadaran dalam dirinya untuk memelihara dan menata lingkungan hidupnya”? Kiranya cara penyadaran ini terlalu riskan dan sangat mahal. Ada banyak pengalaman di sekitar kita yang menjadi pelajaran dan guru bagi kita: tanah longsor, banjir, pencemaran udara, terbakarnya hutan dan sebagainya. Sebenarnya tidak perlu terjadi demikian bila orang mengalami, menghargai dan mengembangkan lingkungan hidup secara tepat guna.
Suatu gejala umum: Orang tak peduli pada pencemaran lingkungan seperti dicatat oleh K. Bertens. Agaknya orang makin hari makin tidak peduli lagi akan lingkungan hidup. Beberapa gejala berikut diangkat untuk mempertegas.
Perusakan tanah. Tanah, sang ibu bumi yang melahirkan kehidupan bagi banyak jenis makluk hidup sudah lama mengalami proses penggusuran. Berjuta-juta hektar tanah setiap tahunnya digusur ke laut karena tidak ditata. Hutan yang menahan dan menyuburkannya dibabat dan dibakar oleh tangan-tangan manusia durhaka. Lalu berapa banyak orang yang akhirnya mengalami kelaparan karena ladang mereka tak cukup untuk memberikan hasil? Berapa banyak keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi karena tanaman penghasil uang tidak dapat lagi mendatangkan uang?
Pencemaran Air. Air di daratan maupun di lautan kita pun sudah begitu tercemar. Sungai yang dulunya bening, tempat mandi dan cuci, serta mengambil air minum, telah menjadi pembuangan sampah. Bahkan tak jarang dikotori oleh sampah dari dalam tubuh manusia sendiri. Orang toh merasa tidak apa-apa kalau sesamanya menderita disentri, penyakit kulit dan sebagainya.
Orang lain yang mengalami kesulitan mengambil air minum. Air yang memberi kehidupan dan kesegaran itu telah dicemari oleh bahan kimia pabrik beracun dengan detergent dari rumah-rumah penduduk yang seenaknya tak dialirkan ke pembuangan dan dibiarkan tergenang.
Pencemaran air terutama berasal dari limbah industri. Industri kimia telah membuang limbahnya ke dalam sungai atau laut. Akibatnya antara lain, ikan sudah semakin tak layak konsumsi karena kadar mercuri atau bahan beracun lain di dalamnya terlalu tinggi. Senada dengan ini, Antonius A. Gea dan Antonia Wulandari melukiskannya demikian juga:
“Air tanah dicemari sehingga semakin tak layak diminum karena bahan kimia yang dibuang telah merembes dan bercampur dengan air. Pestisida yang dipakai untuk meningkatkan produksi pangan, telah masuk ke dalam rantai produksi pangan, sampai ke ASI yang diminum bayi.
Beberapa herbisida seperti silvex, diketahui mengandung dioksin, yang merupakan racun kuat dan dapat mengakibakan kanker”, .
Di samping itu, menurut keduanya, fosfat dari deterjen cuci membuat alga dalam air bertambah banyak dan oksigen berkurang, sehingga memusnahkan bentuk hidup di dalam air. Banyak pula jenis plastic yang dipakai sebagai kemasan atau penyimpan barang belanjaan, sulit hancur secara alami, sehingga setelah dibuang untuk periode lama sekali akan membebani lingkungan. Kalau sekarang pemerintah mengeluarkan kebijakan tas plastik pra bayar, toh akan tak banyak membantu karena bagaiamana pun juga manusia akan mencari segi praktisnya ketika berbelanja.
Hal ini menggambarkan air kita banyak tercemar bahan beracun. Sebagain dari limbah itu diserap oleh berbagai bakteri, yang kemudian mengurangi kadar oksigen dari air. Berkurangnya oksigen dalam air itulah yang membahayakan kesehatan dan hidup ikan-ikan dan makluk-makluk lain yang hidup di dalam air.
Purwhadiwardoyo menggambarkan dengan ngeri kepritinannya akan pencemaran air kita. Menurutnya, pada tahun 1970 para ahli sudah menemukan cukup banyak limbah radioaktif pada air lautan. Ia mencatat bahwa air lautan sudah tercemar oleh limbah PAH (polycyclic-aromatic-hydricarbon) yang timbul dari bahan bakar minyak dan limbah PCB (ply-clorinated-biphenyl), yang timbul dari limbah cairan yang dipakai instalasi pembangkit tenaga listrik). Limbah PAH menimbulkan mutasi genetik dan kanker pada makluk-makluk hidup di laut, sedang PCB menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia maupun makluk hidup lainnya”.
Pengotoran Udara. Pengotoran udara dari tiap kendaraan bermotor telah menjadi pemandangan umum yang tak asing. Orang tidak melihatnya sebagai masalah, seakan tidak mempengaruhi kesehatan manusia dan dunia melainkan sebagai hal biasa. Ini suatu kekebalan? Padahal udara kita sudah lama dicemari oleh karbondioksida yang dimuntahkan oleh asap kendaraan bermotor, pabrik dan hutan yang terbakar. Dampak negatifnya yang langsung terasa adalah berkurangnya tingkat kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Pencemaran itu juga merusak logam maupun bangunan dan batu-batuan. Di samping itu, telah dimulainya proses pemanasan global. Sebabnya adalah karena lapisan CO2 bertahan pada lapisan atmosfer dalam jangka waktu yang panjang. Lapisan itu memantulkan panas dari bumi, sehingga panas itu tetap menyelimuti bumi dan membuat bumi kita semakin panas. Para ahli menduga, pada abad yang akan datang, bumi kita akan mencapai sekitar 1,5 sampai 4,5 derajat Celcius lebih panas dari suhu bumi sekarang. Hal itu juga memperluas gurun pasir, mencairkan sebagian besar es di kedua kutup, menaikkan permukaan air laut dan banjir pada pantai.
Apakah gambaran yang ngeri ini tak mencemaskan kita? Ataukah mulai tumpul kepekaan akan kebutuhan udara bersih dan sehat. Pengotoran akan semakin menjadi bila orang tidak lagi menyadarinya sebagai masalah. Belum lagi udara kita yang sudah tercemar juga CFC (clorofluorocarbon), yakni limbah dari gas CFC yang berasal dari lemari es di rumah, AC, dan beberapa industri kimia.
Limbah gas tersebut bertahan pada lapisan atmosfer dan menyebabkan ternyadinya lubang ozon. Akibat lanjutnya, adalah tak adanya lagi penyaringan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, yang pasti berbahaya bagi kesehatan manusia dan makluk hidup lainnya di bumi. Menurut para ahli, limbah gas CFC yang dilepaskan dari bumi akan sampai di atmosfer sekitar 7-10 tahun kemudian. Di sana, gas itu akan merusak molekul-molekul ozon dan bertahan pada stratosfer selama 75-125 tahun sambil terus-menerus merusak ozon.
Negara-negara modern sejak revolusi industry telah menyadari dampak negative polusi udara dari dari pabrik dan kereta api. Sebenarnya Negara kita boleh belajar banyak teknik penangnan polusi udara dari negara-negara modern yang sudah jauh lebih maju.
Perusakan flora dan hutan pada umumnya. Perusakan lingkungan hidup, misalnya melalui pembakaran hutan dan padang di daerah tertentu, baik untuk membuka kebun atau penebangan pohon di walayah luas, terjadi bukan saja pada pasa lampau tetapi terus berlangsung sampai saat ini dan seolah-olah menjadi tradisi. Penebangan luas di wilayah Amazon dan wilayah hutan tropis lainnya, tidak hanya merupakan ancaman bagi iklim di Negara yang bersangkutan, tetapi di seluruh dunia. Berbagai upaya dan larangan telah dikeluarkan, akan tetapi pembakran dan penebangan hutan tetap terjadi, bahkan secara besar-besaran (seperti illegal logging).
Pembakran yang jelas-jelas merupakan pengrusakan itu bukan saja ditolerir, mengingat banyak orang bodoh membakarnya, melainkan juga dibenarkan dengan alasan akan tumbuh tunas baru di kala hujan buat makan ternak. Bagaimana dapat membendung pengrusakan oleh pembakaran itu bila semakin banyak orang disesatkan oleh alasan sesat itu? Belum lagi, yang lebih parahnya, kegiatan penebangan liar ini diamankan (backing) oleh para petugas dan aparat yang semestinya menjadi penjaga, yang sudah pasti karena dari pembiaran atau kerja sama itu mereka ikut menikmati hasilnya, mesksipun secara terselubung.
K. Bertens mengungkapkan pula keprihatinannya tentang hilangnya 7 (tujuh) pulau kecil di Kalimantan. Ia menulis: “Corak tanah air kita sebagai Negara kepulauan dulu dianggap terutama oleh penebangan hutan bakau yang secara alamiah melindungi keutuhan pantai di belakangnya. Tetapi kini kita menyadari bahwa ada sebab lebih dasyat lagi, yaitu pengerukan pasir laut yang menghilangkan ratusan hektar tanah dari tujuh pulau kecil di Kalimantan dan merusak seluruh ekosistem di sekitarnya sehingga para nelayan pun banyak dirugikan, karena menangkap ikan semakin sulit”
Syukurlah, bahwa ada yang melegahkan hati kita, meski cuma sesaat, bahwa sebagian dari kasus illegal logging itu terungkap dan tertangkap dan diproses secara hukum dengan benar dan adil. Meskipun demikian tetap menjadi tanggungjawab bersama kita sebagai masyarakat bersama aparat di baris depannya untuk menjaga agar setiap bentuk penyelewengan sekecil apapun mesti diproses secara hukum.
Punahnya fauna. Banyak hewan mulai punah perlahan-lahan, seperti burung, rusa, landak dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh kegemaran manusia yang katanya, pencinta alam. Ikan, bunga dan rumput laut pun kian punah. Banyak jenis binatang liar di Afrika, Asia, kedua bagian Amerika, dan seluruh dunia, terutama di negeri kita sangat terancam punah. Karl-Heinz memberi contoh jelas, kebiasaan menangkap ikan di lautan luas dengan sarana canggih dan akibat polusi air dengan berbagai racun, menyebabkan jumlah ikan berkurang drastic. 60 tahun lalu masih ada 200.000 ekor ikan paus jenis blue whale yang hidup di samudera, sementara dewasa ini jumlahnya diperkirakan sekitar 2000 ekor saja. Sudah di kemanakan jumlah yang besar itu?
Beberapa gejala yang disebutkan di atas menyangkut alam dan isinya itu dapat menjadi contoh untuk membuka pikiran kita. Dari gejala di atas nampak pula bahwa yang menjadi penyebab dari semuanya itu selalu manusia sendiri. Dan karena itu manusia jugalah yang menuai hasilnya.
Efek Rumah Kaca. Hal lain yang sangat mengkuatirkan manusia sekarang ini adalah naiknya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh greenhouse effect, yang sering disebut efek rumah kaca. Kaca pada dinding dan atap rumah kaca dapat berfungsi memerangkap gelombang panas agar tetap di dalam ruangan sehingga budidaya tanaman tetap dapat dilakukan sepanjang tahun.
Secara global, terdapat berbagai gas polutan karbondioksida (CO2) yang berada di atmosfer. Umumnya, gas-gas ini berasal dari bahan bakar fosil, seperti minyak dan batu bara yang digunakan pada industri dan kendaraan bermotor akan menghalangi pantulan gelombang panas oleh bumi ke antariksa. Gas yang disebut rumah kaca memerangkap gelombang panas di dalam atmosfer bumi. Akibatnya adalah terjadinya peningkatan suhu secaa global.
Menurut prakiraan para ahli, setiap tahun dilemparkan lima milyard ton karbondioksida ke atmasfer. Akibatnya adalah mencairnya es dan salju di kutup utara dan selatan. Diperkirakan juga bahwa di tahun 2100 permukaan air laut akan naik sampai 2,2 meter. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi bencara serius bagi manusia, seperti kota dan pemukiman di pinggir laut akan tenggelam dan mungkin juga akan hilang dari permukaan dunia.
Perusakan Lapisan Ozon. Bumi kita dikelilingi oleh lapisan ozzon (O3), yang sangat penting untuk melindungi kehidupan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, dimamna 80 % darinya disaring oleh lapisan ini. Sebab kerusakan lapisan ini bervariasi, tetapi sebab yang paling berpengaruh menurut para ahli adalah pelepasan bahan CFC (klorofuorokarbon) ke dalam udara.
Kerusakan lapisan ini mengakibatkan terjadinya radiasi ultraviolet dari sinar matahari bisa mencapai permukaan bumi, yang akan membawa pengaruh buruk bagi kesehatan manusia dan kehidupan pada umumnya. Beberapa masalah yang dapat ditimbulkan oleh radiasi itu antara lain, penyakit kanker kulit, penyakit katarak mata, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh serta kerusakan bentuk hidup biota laut dan tanaman di darat.
Pemanasan Global. Pemanasan global atau global warming menyebabkan the great warming dalam hampir semua bidang kehidupan dan sudah terjadi dari abab ke abad. William Chang memberi contoh, mialnya Pueblo Bonito adalah sebuah tempat sacral di Chaco Canyon Mexico baru, pernah menampilkan tari-tarian menyolok pada titik balik matahari di musim panas. Para pengunjung dari daerah-daerah berkumpul di temoat ini.
Tahun 1130, musim kemarau melanda daerah ini selama setengah abad. Kebun jagung hancur. Dalam tempo beberapa tahun, daerah ini kosong. Setengah abad silam, daerah ini menggurun. Beberapa abad kemudian, penduduk setempat pindah ke kawasan lain yang lebih hijau dan sejuk. Pemanasan global melanda hampir di seluruh dunia dari waktu ke waktu. Mungkin sejak satu millennium silam, manusia hidup keadaan suhu yang dramatis, suhu udara global yang terus meningkat dan diikuti dengan berbagai bencana alam mengerikan.
Dunia kita saat ini sedang sakit dan tersiksa. Misalnya, keadaan cuaca sulit diprediksi karena dapat berubah seketika. Mutu air minum kita juga memburuk. Ini tentunya amat mempengaruhi mutu kesehatan manusia pada umumnya. Belum lagi biaya hidup manusia modern pun cenderung meningkat karena penggunaan perabot teknologi modern.
Pemanasan global ini mengacaukan seluruh sistem hidup manusia dan makluk ciptaan lain. Karena itu tanpa kesadaran kita akan proses global warming ini, ketahan hidup kita sebagai manusia dan makluk lain terancam. Hal ini menuntut tanggung jawab pribadi dan bersama agar bumi kita terhindar dari malapetaka kosmik yang sewaktu-waktu menyengsarakan manusia.
Ulah Manusia. Sebagian besar penduduk kita hidup di kota-kota. Sementara itu sarana dan prasarana hidup: angkutan, rekreasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan terkadang terasa kurang. Sebaliknya sebagian prasarana hidup telah menjadi boomerang bagi manusia sendiri. Kebersikan suara radio dan TV, pengeras suara di pusat keramaian, deru mobil di jalan-jalan raya terasa memekakkan telinga.
Dulu orang sudah tahu bahwa kehadiran sesama harus dihormati dan tak boleh diganggu gugat. Kini semakin sedikit orang yang sadar bahwa pembakaran sampah di halaman rumahnya bisa mengganggu rumah tetangga, bahwa bau tai ayam dan babi di kandang belakang rumahnya bisa menimbulkan rasa tak sedap pada orang lain, bahkan kaleng dan kertas yang dibuang di sungai atau jalan umum bisa membahayakan pemakai jalan umum itu, bahwa bunyi keras yang disiarkan lewat loudspeaker mungkin berkenan di hati Tuhan tetapi sangat menjengkelkan orang yang tinggal dekat tempat suci itu.
Kerusakan Lingkungan : Kubur alami manusia
Kerusakan alam lingkungan seperti yang dijelaskan di atas diakibatkan oleh kelalaian manusia sendiri. Kita perlu membedakan antara kelalaian karena kerakusan materialistis dan kealpaan karena ketidaktahuan. Ada orang yang merusak lingkungan hidup karena secara rakus mengeruk alam ini secara egosentris. Misalnya pohon-pohon di hutan ditebang seenaknya tanpa menanam kembali atau membuang sampah tanpa memperhitungkan keterbatasan daya air membersihkan dirinya sendiri. Atau lagi orang mendirikan bangunan-bangunan perumahan dan pabrik tanpa studi kelayakan. Kelalaian semacam inilah yang sebenarnya paling buruk. Orang tahu bahwa tindakannya berefek merusak lingkungan tapi ia maju terus.
Ada lagi yang tak peduli akan lingkungan hidup karena memang tak tahu menahu tentang efek-efek sosiologis. Misalnya, para petani yang menggunakan pembasmi hama pestisida tanpa penjelasan lebih dahulu tentang efek zat kimia ini. Atau orang berlomba-lomba menggunakan hair spray dan minyak wangi tapi banyak yang tak tahu bahwa alat ini mengandung zat kimiawi chocorofluokarbon (CFC), yang kalau mengudara akan berubah menjadi Clorin Monoksida (C10) yang merusak ozon. Semuanya menjelaskan bahwa apa pun tindakan manusia kalau tidak diperhitungkan dengan bijaksana akan merubah keutuhan alam ini.
Di atas sudah ditegaskan bahwa alam ini adalah tempat hidup bagi manusia. Hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan yang tak terputuskan. Maka kerusakannya akan dialami juga oleh manusia. Kerusakan hutan, misalnya akan dialami paling intens oleh mereka yang sehari-hari bergaul dengan hutan dan sebagainya. Atau kedekatan seorang petani dengan tanah atau hutan, nelayan dengan laut dan sebagainya. Pengalaman konkret manusia dengan alam ini hendaknya diangkat terus ke permukaan untuk menumbuhkan kesadaran manuisia. Semakin seorang hidup tanpa hubungan dengan alam semakin sulit menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup merupakan lubang kubur alami bagi manusia sendiri.
Alam adalah locus (tempat) hidup bagi manusia. Rupanya alam dapat tanpa manusia tetapi tak mungkin manusia dapat hidup tanpa alam. Kitab Kejadian menceritakan bahwa alam terlebih dahulu diciptakan oleh Allah mendahului manusia. Tetapi persoalannya, bagaimana kenyataan primordial ini menjadi isi kesadaran dan motif manusia bagi tindakan sadarnya.
Alam memang menyediakan perbagai sumber bagi kemudahan hidup manusia. Akan tetapi alam tidak boleh dilihat sebagai sumber bagi hidup manusia saja. Manusia hanyalah salah satu penghuni jagat ini. Selain manusia ada alam ragawi belaka, alam nabati dan alam hewani. Alam menjadi sumber untuk semua makluk itu. Nah, kalau manusia mengklaim diri sebagai penguasa atau raja atas sumber daya alam ini, tentu saja alam berakibat fatal., tidak saja untuk manusia kini dan genarasinya tetapi juga untuk makluk-makluk lain dalam alam.
Karena manusia sebagai makluk berakal budi harus bertindak bijaksana.
Keunggulan akal budi manusia tidak melegitimasikan kekusaan manusia atas alam. Dengan akal budinya manusia harus menempatkan dirinya sebagai pemelihara dan penjaga yang bertanggungjawab atas kelestarian alam dan kestabilannya. Alam ini bukan milik manusia tetapi milik Sang Pencipta. Manusia ditempatkan dalam dunia justru untuk menjaga “Khalifah” Allah yang merawat-lanjut alam ini. Sikap arogan manusia kalau ia menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak atas alam ini.
Sikap egois manusias sudah muncul sejak kisah manusia pertama di taman Eden, ketika mereka melanggar tatanan hukum alam dan ingin merebut kekusaan tertinggi. Dalam konteks kristen, gambaran bahwa manusia adalah raja atas alam ini bersumber pada tafsiran sabda Allah: “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1:28).
Ayat di atas ditafsirkan secara klasik sebagai ayat pemberian kekuasaan untuk raja dan penguasa atas ciptaan ini. Dan berdasarkan legitimasi itu pula manuisia bertindak sewenang-wenang terhadap alam lingkungannya. Pada hal kalau kita beranjak sedikit ke Kej. 2: 19-20, maka pemahaman lain justru akan ditampilkan. Di sana dikatakan bahwa Tuhan menyerahkan bumi ini dan segala isinya kepada manusia agar manusia “memberi nama” pada makluk lain itu. Memberikan nama berarti menciptakan keteraturan dengan memberikan identitas, juga mempuyai arti menjaga, memelihara, turut bertanggungjawab atas hidupnya.
Jadi sebagai makluk berakal budi manusia juga harus memahami bagaimana manusia dipanggil dan diangkat oleh Allah menjadi pemelihara alam semesta ini yang telah diciptakan oleh Allah baik adanya. Intinya, kita perlu mengubah visi tentang kedudukan dan peran kita dalam alam. Manusia bukanlah milik absolut tetapi hanya pemelihara alam ini dan hidup dan bergantung darinya.
Di Indonesia perhatian terhadap lingkungan hidup nampak dengan adanya Kementrian Lingkungan Hidup di beberapa kabinet, dan berbagai gerakan untuk memberi perhatian pada keutuhan dan kelestarian lingkungan. Namun kekuatiran tetap melanda manusia zaman ini. Kantor Berita Reuter memperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk dunia akan mencapai 8,3 miliar jiwa, dua pertiga darinya akan menempati kota yang padat penduduknya. Dari hasil dai berbagai riset patut membuat manusia merasa cemas sebab lingkungan dunia akan memburuk. Polusi udara akan makin parah, remisi gas yang dihasilkan pabrik-pabrik akan menyebabkan meningkatnya suhu bumi 30 sampai 40 % pada tahun 2010. Dan kita mengalami sungguh bahwa sejak tahun 2010 itu dunia kita menjadi amat panas dan memuncak pada 2013-2015. Kita sepertinya hidup dalam dunia yang sedang terbakar.
Keretakan hubungan alam dan manusia akibat eksploitasi manusia terhadap alam itu diinspirasikan oleh Kitab Kejadian yang diimani Orang Yahudi dan Kristen. “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej. 1:28). Hal ini sejajar dengan pendapat sejarawan Amerika Lynn White, bahwa akar krisis ekologi ini adalah antropcentrisme yang diajarkan Kitab Kejadian sebab menurut Kej. 1-2 manusia adalah pusat dan raja ciptaan sehingga ciptaan lain dianggap hanya untuk kepentingan manusia. Senada dengan pandangan Dr. Yong Ohoitimur, Teologi Kitab Kejadian itu secara jelas menjadikan atau menempatkan manusia sebagai raja dan penguasa tertinggi dalam ciptaan.
Meskipun demikian, Pidyarto yakin bahwa bisa jadi mayoritas orang yang menjadi biang keladi krisis ekologi adalah orang-orang yang percaya kepada Kitab Kejadian, akan tetapi Alkitab sendiri tidak mengajarkan suatu antroposentrisme yang mutlak, suatu antroposentrisme yang dilepaskan dari teosentrisme. Ia menulis: “Menurut pendapat banyak orang, sumber krisis ekologi adalah egoismme manusia yang ingin mencari keuntungan diri sendiri, lepas dari kehendak Sang Pencipta dan tanpa menghiraukan orang lain.
Alkitab tidak pernah menganjurkan eksploitasi bumi hingga taraf yang membahayakan hidup manusia sendiri. Sebaliknya, Alkitab mengajarkan agar manusia menjadi pengelola dan penjaga bumi yang bertanggungjawab”
Hal ini senada dengan pendapat Sony Keraf, bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun nasional, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia. Ia menulis: “Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan”.
Meskipun Alkitab sendiri tidak mengajarkan untuk mengeksploitasi alam secara mutlak tetapi perilaku egoisme manusialah yang menyebabkan kerusakan alam, maka kini saatnya pemikiran sempit manusia dan pemahaman Teologi yang sempit itu direfleksikan kembali. Tujuannya adalah agar manusia lebih merendah dalam relasinya dengan elemen-elemen lain pembentuk jaringan organisme. Menurut Ohoitimur, manusia bukanlah raja untuk menguasai atau merusak alam tetapi untuk melindungi dan menjaga alam semesta yang diciptakan Tuhan dan dipercayakan kepada manusia itu. Maka diperlukan suatu refleksi untuk mengubah orientasi pandangan tentang manusia dan kedudukannya di samping alam ciptaan lain.
Sebab Keperihatinan akan Kerusakan Alam lingkungan
Pertumbuhan Penduduk. Sudah berabad-abad lamanya, kita sadar bahwa penduduk dunia sedang berkembang pesat. Akan tetapi sesudah PD II, percepatan angka pertumbuhan penduduk itu dapat disimak dengan jelas, dan akibat fatal eksploitasi populasi yang tak terkendali dapat diperkirakan. Stott membeberkan data pertumbuhan itu bagi kita: “Pada tahun 1800 terdapat kira-kira 1.000 juta manusia di atas bumi. Pada tahun 1900, jumlahnya berlipat ganda menjadi 4000 juta jiwa, sedangkan menjelang tahun 2000, diperkirakan bahwa jumlah populasi dunia akan melampaui 6000 juta. Jika tahun 1980, dengan jumlah penghuni dunia 4000 juta orang, dimana 1/5-nya hidup melarat, maka dipertanyakan bagaimana caranya memberi makan lebih 6000 juta manusia 20 tahun kemudian?”
Lajunya pertumbuhan penduduk tak seimbang dengan tersedianya aneka kebutuhan hidupnya. Padahal tambahan penduduk ini memerlukan tambahan produksi pangan, energy, rumah hunian dan aneka kebutuhan lain.. ironisnya, sebagian Negara sedang berkembang dan Negara-negara miskin, yang tak mampu mendukung kehidupan mereka sendiri. Akibatnya, terjadilah kerusakan lingkungan hidup. Di banyak Negara miskin, utang luar negeri diusahakan dibayar dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Menipisnya Sumber Daya Alam
Adalah lazim disebut Klub Roma yang dalam tahun 1972 menunjukkan perhatian dunia pada sifat terbatas sumber daya bumi. Karena sumber daya bumi/sumber daya alam kita bukannya tanpa batas dan tak kunjung habis. Sebelumnya tanpa was-was para pemimpin barat memperkirakan angka pertumbuhan tahunan 4%. Namun ternyata kita disadarkan bahwa pertumbuhan itu terus-menerus dan sumber daya yang terbatas itu adalah dua hal yang tak terserasikan. Stott memberi contoh, bahwa modal alami ini adalah bahan bakar fosil. “Bahan bakar fosil bukanlah buatan manusia, bahan ini tak dapat dimanfaatkan ulang. Sekali sudah dipakai akan hilang selamanya”.
Stott mengingatkan kita tentang pemborosan sumber-sumber alam. Ia menulis: “Alam yang hidup (plankton di lautan, permukaan hijau bumi, udara bersih dan sebagainya, yang sebagian besar sudah rusak oleh polusi. Jika kita boros dengan bahan bakar fosil kita, peradaban manusia terancam punah, jika kita boros dengan modal yang terkandung dalam alam hidup sekitar kita, kehidupan itu sendiri terancam punah”.
Kebodohan sistem industri modern menurut Stott ialah bahwa sistem itu sendiri menguras tempat ia berpijak. Atau dalam bahasa ekonomi, sistem hidup dari dunia modal yang tak tergantikan, yang dengan gembira ria ia lakukan sebagai pendapatan.
Daya regenerasi alam kita tak dapat berkembang sewajarnya karena tak mampu mengimbangi eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Dan lama kelamaan daya dukung bumi mengalami kejenuhan akibat terus dikuras di luar batas kewajaran. Dengan demikian manusia menciptakan neraka bagii dirinya dan menggali kubur untuk aneka makluk lain yang merelakan hidupnya bagi kelangsungan manusia sendiri. Ironisnya, pratek tak etis terhadap alam ini dilakukan sebagian manusia saja.
Krisis minyak pada tahun 70-an sampai saat ini mengarahkan perhatian seluruh dunia pada kenyataan tak terbantahkan yang sudah lama diingatkan para ahli: bahwa sumber alam ini terbatas, di antaranya minyak bumi, namun juga banyak bahan baku lain.
Teknologi yang dikendalikan lagi
Revolusi teknologi modern ( yang dimulai dengan revolusi agraris dan revolusi industri), menurut bahasa Alvin Toffler, The Third Wave, bisa saja kedatangannya pada waktunya tepat untuk menyelamatkan kita dari bencana. Akan tetapi teknologi modern, meski di satu pihak membantu hidup manusia, adalah luar biasa rakusnya dalam melalap bahan bakar. Dialah sebenarnya biang keladi krisis energy yang sampai saat ini mekanda masyarakat kita. “Industri modern itu kadang-kadang ibarat monster yang, jika tak terkendalikan akan membinasakan penciptanya. Sebab kita telah menyaksikan sendiri betapa pekanya keseimbangan alam itu, dan betapa mudah jungkir-baliknya akibat ulah manusia”
Inilah faktor-faktor yang kalau digabungkan dengan permasalahan persediaan makanan, penambahan modal dan polusi, serta seluk-beluk interaksinya yang serba pelik mendatangkan problem yang tak kunjung henti dan menempatkan kita dalam dunia yang terancam punah.
Pola Pendekatan yang merusak alam lingkungan
Sikap teknokratis. Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Dalam model sikap ini, manusia melihat alam lebih sebagai obyek semata, karena dianggap sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap sebagai tambang kekayaan yang dapat dieksploitasi dan dimanfaatkan, dirampas dan dibuang sehabis dipakai.
Sikap Manusia Terhadap Lingkungan. Sikap dasar teknokratis di atas mewujud dalam sikap manusia terhadap lingkungan, baik sikap manusia orang per orang dalam hidup sehari-hari maupun dalam sistem ekonomi modern. Ohoitimur menjelaskan: “Dalam ekonomi kapitalisme tujuan produksi adalah laba dan karena itu biaya produksi ditekan sebisa mungkin. Akibatnya, ekonomi modern cendrung mengeksploitasi kekayaan alam semurah mungkin. … Begitu pula asap, berbagai substansi kimiawi yang beracun dan segala bentuk sampah lain dibuang semurah mungkin, dibuang ke tempat pembuangan sampah, dialirkan ke dalam aliran sungai, dihembuskan melalui cerobong ke atmosfer. Karena kalau dikelelolah secara manusiawi akan menambah biaya”.
Dibandingkan dengan pola pikir kapitalisme, pola ekonomi dalam sosialisme lebih parah. Dibandingkan dengan kapitalisme yang hidup dalam alam demokrasi dan karenanya harus memperhatikan tuntutan masyarakat, sosialisme tidak mempedulikan tuntutan masyarakat karena cenderung diktator dan tanpa peduli pada tuntutan masyarakat.
Dampak dari Pola Perilaku itu. Ciri khas kehidupan di bumi ini, di laut, dekat pantai, di sungai, danau, hutan, di udara atau pegunungan dan sebagainya ada dalam suatu lapisan kehidupan yang disebut biosfer . Cirinya adalah terdiri dari serangkaian ekosistem yang tak terhitung jumlahnya. Organisme sebuah lingkungan merupakan suatu sistem dan saling mempengaruhi atau saling tergantung. Ciri khas setiap system adalah keseimbangannya. Maka alam sebagai suatu ekosistem hanya aka lestari kalau kita menjaga keseimbangan antara kekuatan yang merusak dan yang saling membaharui, antara kematian dan munculnya organisme baru.
Keseimbangan itulah diganggu atau dirusak oleh campur tangan kasar manusia. Suatu kerusakan pada biosfer tak terbatas hanya pada tempat kerusakan itu. Kerusakan itu menggangu keseimabangan sistem setempat, dan karena ekosistem setempat merupakan unsur dalam ekosistem dunia, maka kerusakan itu memperlemah daya tahan alam seluruhnya. Kekuatan alam sebagai ekosistem yang paling penting bagi manusia adalah kemampuannya untuk membersihkan diri untuk memulihkan kembali bagian yang rusak.
Di samping berdampak pada ekosistem setempat, kerusakan lingkungan berdampak pada hidup manusia sekarang dan terutama bagi generasi yang akan datang. Setiap kerusakan dan peracunan yang tak dapat dipulihkan kembali, berarti menggerogoti dasar-dasar alamiah kehidupan generasi yang akan datang.
Maka perhatian menyeluruh atas kerusakan alam dan lingkungan yang disebabkan oleh manusia sendiri merupakan suatu proyek besar yang tak pernah selesai. Ia membutuhkan suatu gerakan moral bersama dan diperlukan suatu habitus baru. Habitus baru yang dimaksud mestinya berangkat dari perubahan paradigma kepemilikan bumi dan segala isinya. Mungkin orang secara sempit mengira bahwa karena hanya manusia yang berakal budi maka hanya manusia pula yang berhak atas alam. Apalagi menganggap karena telah menerima kuasa atas alam dari Tuhan sendiri.
Dua hal perlu diperhatikan. Pertama, kuasa yang diterima dari Tuhan bukan untuk menguasai dan menghancurkan melainkan untuk merawat, menjaga dan melestarikan. Kedua. Siapakah pemilik atas alam ini dan seluruh kekayaannya. Pemiliknya adalah Tuhan sendiri. Tuhan yang adalah pemilik hidup dan hak atas alam ini mempercayakan kepada anak cucu kita. Jadi bukan kepada kita anak cucu kitalah meminjamkannya kepada kita generasi sekarang.
Tugas kita adalah menggunakannya secara bertanggungjawab sebagai pinjaman dan akan mengembalikan kepada pemiliknya pada waktunya. Kalau dua hal ini kita abaikan, maka kita yang sekarang menggali lubang kubur untuk kita sendiri dan untuk anak cucu kita.