Opini: Fr. Yudel Neno
Situasi politik NTT sekarang ini membutuhkan tajamnya sikap kritis. Para paslon terbakar semangat untuk memperoleh simpatisan dan bukan tidak mungkin bahwa kehadiran mereka di setiap daerah merupakan suatu momen atau peluang yang mesti dimanfaatkan untuk mendapatkan sumbangan dana. Entah disadari atau tidak, terlepas dari kesungguhan sebagai simpatisan politik terhadap para paslon gubernur, di satu sisi momen ini melancarkan pula perputaran uang dan tenaga yang tidak sedikit serta pula mental untuk saling memanfaatkan pun tak kalah saingnya.
Para paslon karena ingin mendapatkan simpatisan, apa saja permintaan simpatisan dapat dipenuhi walaupun tidak semuanya. Para simpatisan pun seringkali memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan segala bantuan dengan janji kepastian suara pada pemilu. Tak disadari, fenomen seperti ini sebenarnya telah menampakkan praktek politik uang namun saja bahwa wajahnya masih sangat mulus untuk harus diketahui oleh publik dan oleh hukum.
Oleh berbagai paslon pun mengabiskan sejumlah uang untuk menarik perhatian simpatisan dengan menghadirkan para penyanyi dalam pemusik skala nasional. Terhadap kehadiran mereka ini tentu tidak sedikit biayanya. Terkesan pula bahwa massa dengan sengaja dikerahkan untuk mendapatkan pengakuan publik sambil yang pada satu sisi sangat mempengaruhi prediksi kemenangan paslon oleh publik.
Para paslon menggunakan jasa para penyanyi dengan tujuan menarik perhatian simpatisan. Sementara para penyanyi dan pemusik melayani permintaan paslon dengan tujuan memperoleh dana. Para simpatisan pun bisa saja menghadiri setiap promosi politik dengan motif demi hiburan musik. Artinya bisa saja komitmen politiknya lemah.
Berbedanya setiap kepentingan ini menandaskan secara jelas adanya sikap saling memanfaatkan. Sikap saling memanfaatkan ini jika bersamaan dengan lemahnya komitmen moral, inilah fenomen pragmatisme dalam politik. Pragmatisme politik berarti setiap orang yang terlibatnya di dalamnya, terlibat dengan sistem perhitungan untuk menggaruk keuntungan semata. Fenomen seperti ini biasanya mudah balik stir jika tidak lagi menguntungkan.
Fenomen pragmatisme seperti ini mesti dikaji secara kritis dan jika benar ditemukan adanya, fenomen ini mesti dihindari jauh-jauh. Sebab bahayanya dalam politik adalah kelak sistem kebijakan dan sistem konsentrasi politik hanya berurusan dengan sesuatu yang menguntungkan sementara kalau menoreh kembali pada cita rasa kesejahteraan umum, justru membutuhkan pengorbanan sebesar-besarnya yang terkadang merugikan demi kepentingan publik.
Menguatnya pragmatisme politik yang telah tertanam kuat semasa sebagai paslon akan berimbas pula pada segala kebijakan yang sifatnya transaksional kelak setelah terpilih. Sebagai akibatnya, sesuatu yang tidak menguntungkan akan diusahakan untuk dihindari jauh-jauh.
Persoalannya adalah bagaimana dengan rakyat kecil terpinggirkan yang secara sosial dan ekonomis justru mereka tidak menguntungkan.
Mari kita bermenung bersama dan berembug bersama untuk menemukan dan menentukan strategi yang tepat dan terbaik sambil menyumbangkan tenaga dan suara kita secara kondusif dan produktif untuk mendapatkan pemimpin NTT. Mengutip bahasa Rm. Magnis Suseno, Ia mengatakan bahwa pemilu sebenarnya bukan untuk memilih yang terbaik melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa.